"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PELEPASAN
S elang beberapa lama,Dengan napas yang dalam, Zilfi menatap gulungan kertas itu, ragu apakah ia benar-benar ingin membukanya. Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Ayah berdiri di sampingnya, memberikan anggukan kecil seolah memberi izin, meski raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Perlahan, Zilfi membuka gulungan itu. Kertasnya tua dan rapuh, dengan tulisan tangan yang tampak akrab, mungkin milik ibunya. Ada sederet instruksi yang jelas namun singkat, dengan peringatan di bagian bawah:
"Pengorbanan darah hanya menunda, bukan mengakhiri. Untuk benar-benar memutus ikatan ini, pewaris harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga."
Zilfi menatap baris terakhir itu, lalu berpaling ke arah wanita tua tersebut. "Apa maksudnya? Apa yang harus aku korbankan?"
Wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh belas kasih. “Ikatan ini berasal dari kesepakatan lama, Zilfi. Setiap pewaris dalam keluargamu membawa warisan ini, tetapi hanya sedikit yang bisa memutusnya. Yang paling berharga tidak selalu materi; ini bisa menjadi sesuatu yang dekat dengan jiwa, sesuatu yang kau cintai.”
Ayah tampak semakin cemas. "Apa itu berarti… Zilfi harus kehilangan sesuatu atau seseorang yang ia sayangi?"
Wanita itu hanya menunduk, tak memberikan jawaban langsung. Tapi dari ekspresinya, Zilfi tahu jawabannya. Sejenak ia berpikir, memikirkan apa yang paling berarti baginya. Perlahan-lahan, ia menunduk dan menggenggam liontin di lehernya, benda terakhir yang menghubungkannya dengan ibunya.
“Apakah ini cukup?” tanyanya lirih.
Wanita itu mengangguk. “Liontin itu mengandung jejak energi leluhurmu, jejak darah yang membawa warisan ini. Jika kau melepaskannya dan menguburnya di tanah suci leluhur, ikatan itu akan benar-benar terputus. Namun… kau tidak akan lagi bisa menghubungkan dirimu dengan leluhurmu atau menerima kekuatan mereka.”
Zilfi merasa sesak. Liontin itu adalah satu-satunya peninggalan terakhir ibunya, dan juga satu-satunya benda yang memberinya keberanian saat menghadapi bayangan dan ketakutan. Tapi, ia tahu bahwa inilah kesempatan untuk membebaskan keluarganya dari kutukan itu.
“Aku akan melakukannya,” katanya mantap. Ayah menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluknya erat, mendukung pilihan putrinya meski dengan berat hati.
Wanita tua itu tersenyum kecil. “Keputusan yang bijak. Di balik pegunungan ada sebuah lembah yang pernah menjadi tempat ibumu pertama kali memanggil kekuatan itu. Di situlah kau harus mengubur liontin ini.”
---
Beberapa hari kemudian, Zilfi dan ayahnya pergi ke lembah itu, membawa liontin yang telah lama menjadi bagian dari keluarganya. Dengan rasa haru, Zilfi menggali tanah, menempatkan liontin di dalamnya. Sebelum menutupnya dengan tanah, ia berbisik pelan, "Selamat tinggal, Ibu. Aku akan menjaga keluarga ini dengan caraku sendiri."
Saat liontin itu terkubur, sebuah energi hangat menyelimuti Zilfi. Ia merasakan beban yang lama melonggar dari pundaknya, dan untuk pertama kalinya, bayangan-bayangan itu benar-benar menghilang.
Ia tahu bahwa keluarganya kini bebas dari kutukan. Meski kehilangan ikatan dengan masa lalu, Zilfi merasa ia telah menemukan jalannya sendiri menuju masa depan yang bebas dari bayang-bayang gelap leluhurnya.
Setelah ritual penguburan itu selesai, Zilfi dan ayahnya duduk di tepi lembah, memandangi matahari yang perlahan terbenam di balik pegunungan. Udara terasa lebih segar, dan beban yang selama ini menghantui mereka terasa perlahan terangkat, seolah kehidupan baru terbentang di hadapan mereka.
"Kita sudah melalui begitu banyak hal," gumam Zilfi, memandang horizon dengan tatapan penuh arti. "Sekarang kita bisa benar-benar memulai hidup tanpa ketakutan."
Ayahnya menepuk pundaknya lembut. "Kamu benar. Ini adalah awal yang baru, untuk kita dan keluarga kita. Ibumu pasti bangga padamu, Zilfi."
Namun, meskipun ia merasa lega, Zilfi menyadari ada kekosongan yang tertinggal di dalam hatinya, kehilangan kehadiran tak kasatmata yang selama ini terikat dalam liontin itu. Ia tidak lagi bisa merasakan energi ibunya, kekuatan yang dahulu memberinya dorongan saat merasa lemah. Akan tetapi, ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil untuk memastikan keluarganya hidup bebas dari bayang-bayang kutukan yang selama ini menghantui mereka.
---
Beberapa bulan berlalu, dan kehidupan Zilfi serta ayahnya perlahan-lahan kembali normal. Tanpa beban kutukan keluarga, mereka mulai menemukan kedamaian dalam keseharian. Zilfi kini menghabiskan waktunya mengurus rumah dan mencoba mengejar impian-impian kecil yang sempat terabaikan selama ini.
Namun suatu malam, ketika Zilfi duduk di kamarnya, ia mendapati sebuah kejadian aneh. Di sudut ruangan, ada cahaya lembut berkilauan, hampir tidak terlihat. Cahaya itu bergerak perlahan, membentuk bayangan yang samar, seolah mengingatkan pada sosok ibunya. Zilfi terdiam, merasa seolah-olah ibunya masih ada di sekitarnya, walaupun tak lagi terikat dalam bentuk fisik apa pun.
"Terima kasih, Bu," bisik Zilfi, air mata mengalir di pipinya. "Aku harap kau tenang di sana."
Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Zilfi dalam kedamaian yang mendalam. Ia tahu kini, walaupun kutukan telah terputus, ikatan cinta keluarganya akan selalu ada dalam dirinya, menyertai langkah-langkahnya di masa depan.
Dan untuk pertama kalinya, Zilfi merasa seluruh keluarganya—baik yang hidup maupun yang telah tiada benar-benar bebas.