Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK PEDULI PADA OMONGAN KOSONG MEREKA
Bagaimana pun berita tentang Adira yang mendorong Gia hingga harus dirawat dirumah sakit sudah menyebar diseluruh penjuru pondok pesantren ini, dan Adira merasa berkecil hati? Owhhh tentu saja tidak kawan, dia adalah termasuk anak yang tidak peduli pada omongan orang-orang yang hanya bisa menilai dari satu sisi saja.
Saat ini Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara menikmati makan siang mereka di kantin asrama. Setelah melewati masah sulit tadi akhirnya mereka bisa menghirup udara kantin dengan khas bau makanan yang nikmatnya tiada tandingan ini.
“Aku sebenarnya tidak sudi, tapi apalah daya kita.” Ucap Aruna di sela-sela menguyah makanannya.
Yang lainnya mengangguk setuju. “Ckkk, ini untuk pertama dan terakhir kalinya kita minta maaf ke si nenek lampir itu.” Ujar Ayyara. Ia benar-benar muak dengan Gia.
Adira yang beberapa menit lalu telah menghabiskan makanannya menatap ketiga temannya dengan tatapan menyesal. “Harusnya aku ajah yang minta maaf, bukan kalian juga. Kenapa tadi ikut…,”
“Huuussstttt… diam Adira, kita mana mungkin biarin kamu sendiri. Masalahnya kita juga ada malam itu, dan lagian ini namanya solid. Kita mana mungkin ninggalin teman dalam masah sulit, iyakan?” Jelas Almaira dengan sok bijaknya.
“Benar, ini bukan cuman masalah kamu. Ini masalah kita semua, walau ogah si sebenarnya minta maaf duluan tapi apa boleh buat. Uang diatas segalanya.” Tutur Ayyara.
“Bahkan uang bisa beli hukum, saking dipujanya tuh uang.” Lanjut Aruna.
Adira selalu bersyukur karena mereka selalu seperti ini, tidak meninggalkan teman dalam keadaan sulit dan selalu saling mendukung. “Ihhh jadi terharu deh…,”
Mereka memang memutuskan untuk meminta maaf kepada Gia, sebenarnya ayah dari Gia Antoni begitu memaksa kepada kiyai Aldan perihal ini jika kiyai Aldan tidak menuruti maka Antoni bersikeras akan membawa kejalur hukum. Dan tentu saja Kiyai Aldan tidak ingin anak-anak didiknya berurusan dengan hukum.
“Nih pada orang-orang sibuk benar deh, kalau tidak tahu apa-apa itu harusnya diam ajah.” Kesal Aruna. Bagaimana tidak kesal jika kanan kiri mereka sibuk mengurusi hidup orang.
Adira bahkan tidak peduli. “Aku tidak apa-apa jadi bahan omongan seperti itu, selagi itu tidak benar maka aku diam ajah, malas buang-buang tenaga balas mereka satu-satu.” Jelasnya.
Prokkk, prokkk, prokkk…,
“Ini nih baru yang namanya teman kita, benar. Biarin ajah mereka mau ngomong apapun sampai tuh mulut mereka berbusa juga tidak masalah.” Ayyara merangkul Adira. “Kita selalu ada.” Bisiknya.
Adira mengangguk dengan senyum manis miliknya. “Terharu lagi aku.”
“Hihih, biasa ajah Dir.” Kekeh Almaira. “Bes…,”
“Owhhh jadi ini santri yang caper ke ustadz baru itu? Kalian juga ya yang dorong Gia sampai masuk rumah sakit? Emang tuh kalian cocoknya dikeluarin dari pondok, kelakuan kalian tuh bikin malu.”
Adira dkk melihat segerombolan santri putri yang mengelilingi meja mereka, lalu kemudian menghela napas secara bersamaan. Apa lagi ini batin mereka.
“Kenapa diam ajah? Jadi benar dong berita lo pada caper ke ustadz baru itu? Di bayar berapa lo pada? Rendahan banget sampai caper kaya gitu.” Lanjutnya lagi.
Ayyara yang memang pada dasarnya adalah yang paling tua dan tidak suka diusik menatap tajam semua santri yang mengelilingi mereka. “Eh dengarnya lo pada, rendahan mana kita atau lo yang bisa-bisanya nuduh tanpa bukti?”
“Hallahhh kita mana mau nuduh tanpa bukti Ayyara, lo pada emang jelas-jelas caper ke ustadz Agra dan teman-temannya. Buat apa sih lo pada caper ke mereka?”
“Gue malahan kasian si sama lo! Udah sok tahu, sok paling benar. Lo ngak malu nuduh kita kaya gitu padahal kelakuan lo ajah lebih rendah dari pada anjing asal lo tahu.”
Wow! Tajam sekali mulut Ayyara ini.
Adira, Almaira dan Aruna jelas tahu yang dimaksud oleh teman mereka. Mereka lupa jika mereka ini bisa lebih jago dari pada intel.
Wajah dari lawannya pun panic, sepertinya ada yang tidak beras disini.
“Lo samain gue dengan anjing? Tahu apa lo tentang gue ha?” Tanyanya panic. Walau mencoba tenang namun sia-sia karena semua mata malah tertuju padanya.
“Hahah, kamu tuh tidak ada bedanya sam si Gia. Udah deh jangan kaya orang yang paling benar ajah, tuh uang orang tua kamu malah di pake biayain cowok upsss… heheh.” Kata Adira dengan sengaja. Mana terkekeh dengan wajah puasnya menatap lawannya.
“Ini maksudnya apa sih?” Tanya salah seorang santri diantara mereka yang tidak mengerti arah pembicaraan.
“Iya, ini maksud kalian…,” Lanjut yang lainnya.
Adira segera berdiri. “Udah… tidak ada apa-apa. Lain kali kalau mau nuduh orang itu cari tahu dulu dari akarnya sampai pucuknya baru kalian boleh menyimpulkan sesuka hati, kiyai Aldan tidak pernah mengajar kita menyimpulkan sesuatu dengan cepat. Udah bubar, bubar lanjut kegiatan kalian.”
“Udah bubar ya ukti-ukti cantik, nih kita sesak dari tadi dikerumuni kalian.” Lanjut Aruna. Tida bisa melanjutkan acara makannya lagi karena situasi yang tidak mengenakkan ini.
“Yahhh, padahal mau liat drama.”
“Yaelah.”
“Tuhu begini mendingan tadi lanjut makan.”
“Udah paling benar tuh ngak ikut campur urusan orang.”
Mereka membubarkan diri masing-masing, kembali keaktivitas masing-masing yang sempat tertunda akibat santri putri yang sok tahu ini.
“Lo ngapain masih disitu?” Tanya Ayyara kepada perempuan ini. “Bubar lo.” Lanjutnya lagi.
“Ckkk! Awas ajah lo!” Katanya berlalu pergi dengan wajah kesalnya.
xxx
“Ana ajah tidak percaya kalau mereka, ah bukan Adira mendorong Gia itu. Ya walaupun mereka ini nakal tapi rasanya mereka tidak akan melakukannya.” Ujar Bima.
Mereka saat ini berada dalam kamar pembina Agra, setelah shalat zduhur dan makan siang mereka bukannya beristirahan dikamar masing-masing malah memutuskan untuk berkumpul dikamar Agra.
“Hm, ente benar. Sangat tidak mungkin mereka melakukannya dan tadi ana lihat Ayyara menjelaskannya dengan jujur tanpa ada yang dia tutupi atau sekedar mengarang, ana percaya dengan mereka.” Timpal Abraham. Laki-laki itu hanya mengenakan tanktop putih serta sarung putih polos.
“Benar, tapi kenapa Gia ingin mencelakai Adira?” Tanya Bima. Masih tidak paham rupanya ustadz muda ini.
Agra dan Abyan hanya jadi pendengar, yang dikatakan kedua temannya mereka setuju. Melihat kelakuan Adira dkk yang kelewatan aktif itu bukan berarti mereka memiliki niat untuk dengan sengaja melukai Gia, itu sangatlah tidak mungkin terjadi.
“Emmm, kata kiyai Aldan tadi sih mereka udah lama musuhan. Maksudnya tidak pernah akur dan cocok.” Jawab Abraham. Kiyai Aldan yang mengatakan seperti itu.
Bima mengangguk paham. “Owhhh, ana malahan kesal ke pak Antoni. Nih ya bukan apa-apa nih, cuman nih orang tua dari dulu kayanya jaman kita sekolah di sini apa-apa itu pasti diancam. Ingatkan anaknya yang setingkat dengan kita, si titan itu. Nakalnya sampai bikin kiyai sakit kepala.”
Prokkk…,
“Lahhh iya, lupa kalau dia punya putra yang nakal juga. Si titan anak cowok yang selalu andelin kekuasaan bapaknya.” Jelas Abraham. Mengingat kembali masa dimana putra Antoni itu.
Agra menggeleng. “Tito, bukan titan.” Koreksi Agra fokus memainkan rubiknya.
“Sama saja Agra, mau Tito, titan, titi atau tete kah terserah deh.” Ucap Bima menatap Agra.
Agra merasa seseorang tengah menatapnya, benar saja Abyan yang duduk didepannya menatap bak seolah ingin menanyakan sesuatu.
“Kau bersamanya semalam?” Tanya Abyan tiba-tiba. Abraham dan Bima menghentikan aktivitasnya.
“Hm.” Jawabnya dengan santai. Kembali bermain rubik tidak peduli wajah keduanya yang menatapnya dengan penasaran.
“Jadi payung itu untuknya?” Tanya Abyan lagi. Lagi-lagi membuat Abraham dan Bima tidak paham arah pembicaraan kedua manusia kaku ini.
Agra menghela napasnya. “Hm.”
“Ckkk, jika aku tahu lebih baik aku tidak meminjamkannya pada mu.” Ucap Abyan.
Dia mengingat semalam jika Agra meminjam payungnya untuk mengambil sesuatu di masjid, katanya sebentar namun Abyan menunggu cukup lama dan mengharuskan dirinya menerobos hujan. Namun, pada saat dalam perjalanannya dia malah melihat Agra mengantar seorang santri putri yang diyakininya itu adalah Adira.
“Aku memang melupakan jam tangan ku di tempat whuduh, setelah aku mengambilnya aku melihatnya dan ya…,” Jelas Agra.
“Tunggu. Ini kalian bahas apa? Kok kita tidak di ajak?” Tanya Abraham dengan wajah nelangsanya.
“Benar, kalian bahas apa sih?” Lajut Bima.
“Tidak!” Jawab keduanya.
“Yaelah, ngak setia kawan!”
semangat 💪👍