Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bocah Penipu
Kaivorn melirik Calista dari sudut matanya, memperhatikan tawa kecil yang berusaha disembunyikan di balik tangan mungilnya.
Senyum di wajahnya begitu manis, namun kilatan nakal di matanya membuat Kaivorn sedikit khawatir.
"Dia tidak sedang dalam kepribadian keduanya, kan…?" pikirnya dengan hati-hati. Meskipun begitu, dia tetap diam, memilih untuk tidak mempermasalahkan hal itu sekarang.
Ketiganya melanjutkan perjalanan mereka melalui hutan yang mulai terlihat semakin terbuka.
Langit di atas mereka berwarna oranye samar, tanda senja mulai merayap di cakrawala.
Mereka sedang menuju kota di wilayah Count Valmont, tempat peristirahatan mereka berikutnya.
Sepanjang jalan, Raivan tetap dengan langkahnya yang ringan dan santai, sementara Kaivorn terus berjaga-jaga di depan.
Namun, di tengah keheningan perjalanan itu, Kaivorn sesekali mencuri pandang ke arah Calista.
Dia terlihat tenang, bahkan sesekali berbicara ringan dengan Raivan tentang hal-hal yang tidak terlalu penting.
Tapi ada sesuatu yang tidak sepenuhnya terlihat benar—gerakan tubuhnya sedikit tertahan, langkahnya lebih lambat dari biasanya.
Mata Kaivorn sempat menangkap ekspresi aneh di wajahnya saat mereka mendekati tebing kecil.
Saat Calista berusaha naik, tangannya tiba-tiba bergetar halus, seakan-akan otot-ototnya menolak bergerak dengan benar.
Dia cepat-cepat menyembunyikan hal itu dengan tersenyum pada Raivan yang sedang menggoda dengan kalimat lelucon.
"Hanya sedikit kejang otot mungkin," Kaivorn membatin, namun jauh di dalam pikirannya, dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam.
Dia memilih untuk tidak mengatakan apapun sekarang.
Ini bukan waktu yang tepat untuk mengonfrontasi Calista soal kondisi kesehatannya, terutama di tengah perjalanan berbahaya ini.
Raivan, yang tampaknya tidak menyadari suasana tegang yang mulai terbentuk di antara Kaivorn dan Calista.
"Kalau kita beruntung, kita mungkin bisa sampai sebelum malam benar-benar jatuh." katanya, terdengar sangat santai. "Tidak enak rasanya bermalam di hutan seperti ini."
"Kalau tidak beruntung?" tanya Kaivorn, separuh menyindir.
Raivan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, "Kita akan berkemah, tentu saja. Dan mungkin harus menghadapi lebih banyak orc?"
Kaivorn mengembuskan napas panjang, lalu berkata. "Kau benar..."
Sementara itu, Calista tetap diam, matanya sekali-sekali menatap tanah seakan mengukur jarak langkahnya dengan hati-hati.
Malam telah benar-benar jatuh ketika mereka mendekati kota di wilayah Count Valmont.
Gerbang besar yang menjulang di hadapan mereka terlihat usang dan kasar, dihiasi lumut yang tumbuh liar di sisi-sisinya.
Lampu-lampu obor di sepanjang dinding tembok kota berkerlip, memberikan nuansa misterius dalam gelap.
Kota ini tampak sepi, tak banyak lalu lintas atau keramaian seperti biasanya di malam hari.
"Tenang sekali, ya?" gumam Kaivorn, matanya menyisir sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan di balik kegelapan.
"Aku tak suka tempat yang terlalu tenang seperti ini," sahut Raivan ringan, meski nada suaranya lebih rendah dari biasanya, seakan ia juga mulai waspada.
Mereka berjalan mendekat ke gerbang, namun sebelum mereka sempat mengetuk atau mencari penjaga, seorang anak kecil muncul entah dari mana, berdiri di hadapan mereka dengan senyum licik di wajahnya.
Anak itu tak lebih dari sepuluh tahun, dengan rambut kotor yang tampak acak-acakan dan pakaian yang compang-camping.
Matanya yang bulat besar menatap mereka penuh semangat.
"Kalau kalian mau masuk dengan aman, aku bisa tunjukkan jalan yang lebih cepat ke penginapan," katanya dengan suara yang terdengar manis, namun di balik itu terasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar niat baik. "Tapi aku butuh bayaran dulu, sebelum aku tunjukkan jalan."
Kaivorn berhenti sejenak, melirik Raivan dan Calista.
Raivan, seperti biasa, hanya tersenyum tipis, matanya berkilat penuh pengertian.
Sejak pertama melihat anak itu, Kaivorn sudah merasa ada yang aneh, tapi dia tetap tenang, tak ingin membuat keputusan tergesa-gesa.
Calista, di sisi lain, sedikit lebih skeptis. Matanya menyipit curiga, namun tangannya gemetar halus, mungkin karena kelelahan atau kekhawatiran yang menumpuk sejak perjalanan mereka.
"Kau mau bayaran dulu sebelum menuntun kami?" tanya Kaivorn dengan suara rendah, menekankan kalimatnya seolah-olah sedang menguji anak tersebut.
Anak kecil itu mengangguk mantap, tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda ragu.
"Tentu saja, ini kota besar, banyak orang yang bisa membuat kalian tersesat di malam hari," katanya sambil tersenyum penuh kepastian. "Jalan yang aman itu mahal."
Raivan, yang dari tadi hanya memperhatikan dengan sikap santainya, melirik Kaivorn sejenak.
Tanpa berkata apa-apa, dia mengangkat bahu, seolah memberi isyarat bahwa ini hanyalah masalah sepele.
"Aku rasa tidak ada salahnya mencoba, kan?" Raivan akhirnya angkat bicara dengan nada bercanda, namun tatapannya masih terfokus pada anak itu. "Berapa yang kau minta?"
Anak itu berpikir sejenak, kemudian mengacungkan tangannya. "Lima koin perak," katanya, suaranya penuh percaya diri, seolah-olah itu jumlah yang sangat wajar.
Calista langsung membulatkan mata, hampir terkejut mendengar harga yang diminta.
Namun sebelum dia sempat memprotes, Kaivorn mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tenang.
"Baiklah," kata Kaivorn dengan nada yang tenang, meskipun dia tahu permintaan itu terlalu tinggi.
Namun, ada sesuatu dalam cara anak ini bertindak yang membuatnya tertarik untuk melihat ke mana arahnya.
Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga koin perak, meletakkannya di tangan anak itu.
Senyum lebar langsung menghiasi wajah anak itu saat dia menerima koin-koin perak tersebut.
Tapi, sebelum ada yang sempat berbicara lebih jauh, anak itu tiba-tiba berbalik dan mulai berlari dengan cepat, menjauh dari mereka.
Dia tidak menuju ke arah kota atau jalan penginapan, melainkan melesat ke arah gang gelap di sebelah gerbang.
Calista langsung panik, matanya melebar. "Dia menipu kita!" teriaknya, kaget dan tidak percaya.
Namun, alih-alih ikut panik, Kaivorn dan Raivan hanya tertawa ringan.
Kaivorn menyilangkan lengannya di dada, menatap punggung anak itu yang semakin menjauh.
"Aku sudah menduganya," gumam Kaivorn dengan senyum kecil, matanya masih memandang ke arah gang gelap di mana anak itu berlari. "Aku ingin melihat seberapa jauh dia bisa pergi."
Raivan tertawa kecil, langkahnya tetap ringan dan penuh percaya diri.
"Kau terlalu baik, Tuan Muda Kaivorn," katanya santai.
Namun tiba-tiba, tubuh Raivan lenyap dari tempatnya berdiri, hanya menyisakan angin yang berdesir pelan.
Dalam sekejap mata, Raivan sudah berada di depan anak itu, berdiri di ujung gang, menghadang dengan senyum tipis di wajahnya.
Anak itu berhenti mendadak, terkejut bukan main.
Napasnya terengah-engah saat dia menatap Raivan, matanya terbuka lebar penuh ketakutan.
Dia sama sekali tidak menyangka ada yang bisa bergerak secepat itu, apalagi tanpa membuat suara sama sekali.
Raivan bersandar santai pada dinding batu di sebelahnya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku, seakan tidak ada hal serius yang terjadi.
"Jadi," katanya dengan nada ringan, "kau mau ke mana dengan uang itu?"
Anak itu gemetar, tidak bisa menjawab.
Dia mencoba mundur, tapi kakinya gemetar dan tubuhnya seolah terkunci di tempat.
Raivan melirik Kaivorn dan Calista yang kini sudah mulai mendekat dengan santai.
"Kita sudah membayarmu," lanjut Raivan, "Jadi, bagaimana kalau kau penuhi janjimu?"
Anak itu menelan ludah, jelas bingung dan ketakutan.
Tapi saat Kaivorn dan Calista tiba di samping Raivan, dia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan mereka.
"Aku... Aku tidak bermaksud apa-apa..." suaranya kini berubah lemah, nyaris seperti anak kecil yang memohon ampun.
Kaivorn melangkah maju, menatap anak itu dengan ekspresi datar.
"Tidak apa-apa. Kau hanya mencoba mencari kesempatan di malam hari. Tapi, kita tak punya banyak waktu untuk permainan." ujarnya santai. "Jadi, bagaimana kalau kau benar-benar menunjukkan kami jalan seperti yang kau katakan?"
Anak itu tampak bingung sesaat, tapi kemudian dia mengangguk cepat. "Baik, baik! Aku akan menunjukkan kalian jalannya... Aku janji!"
Raivan tertawa kecil dan menepuk kepala anak itu dengan lembut. "Nah, begitu lebih baik. Jangan buang waktuku lagi."
Mereka akhirnya mengikuti anak itu melewati lorong-lorong sempit di sekitar kota, yang hanya bisa ditemukan oleh seseorang yang mengenal tempat itu dengan baik.
Kota itu tampak lebih hidup di beberapa bagian, meski sebagian besar masih diselimuti keheningan malam.
Toko-toko sudah tutup, dan hanya beberapa orang yang tampak lalu-lalang di jalanan.
Anak itu terus berjalan di depan mereka dengan langkah yang cepat, kini lebih patuh setelah diberi peringatan.
Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di depan sebuah penginapan kecil di ujung jalan yang tampak tenang.
Anak itu berhenti dan menunjuk ke arah pintu besar penginapan.
"Inilah tempatnya," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Kaivorn mengangguk. "Baik. Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih."
Anak itu langsung berbalik dan berlari cepat, meninggalkan mereka bertiga di depan penginapan.
Saat dia menghilang di tikungan, Calista akhirnya mengembuskan napas lega.
"Aku kira kita benar-benar akan kehilangan tiga koin perak tadi," katanya sambil tersenyum lemah, meskipun masih ada sisa-sisa ketegangan di wajahnya.
"Tidak usah sekhawatir itu," jawab Kaivorn santai, "Tiga koin perak itu bukan apa-apa."
Raivan hanya tertawa ringan dan menggeleng. "Tiga koin perak banyak loh, Tuan Muda Kaivorn."
Kaivorn tertawa kecil, melirik Calista yang kini tampak sedikit lebih rileks.