Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hate Side Story 005
...***...
Kaal terkadang merasa dirinya adalah penangkal hujan.
Walaupun langit terlukis dalam warna abu-abu gelap, guntur terdengar setiap beberapa menit sekali, bahkan hingga rintik gerimis mulai turun, ia idak pernah menemukan dirinya pulang dalam keadaan basah kuyup.
Jadi, saat mendengar peramal cuaca mengatakan bahwa hujan deras akan mengguyur hari ini, Kaal hanya mendengus.
Namun sepertinya ia tidak bisa membanggakan keberuntungannya terlalu lama.
Segera setelah memastikan Melody masuk ke rumahnya, hujan turun dengan lebat. Tiap tetes air sebesar kacang polong yang jatuh ke tubuh Kaal seakan sedang mengajaknya berlomba.
Kaal berjalan cepat, memanfaatkan sweater seragamnya sebagai pelindung kepala. Ia mengumpat kasar ketika tidak sengaja menginjak genangan air hingga celana seragamnya bernoda lumpur.
Ia terlalu malas untuk mencari tempat berteduh. Kaal lebih memilih melawan hujan daripada menunggu. Kesabarannya diciptakan bukan untuk hal semacam itu.
"Kaal..."
Di antara telinganya yang terisi oleh suara hujan beradu dengan aspal, sayup-sayup Kaal mendengar seseorang memanggil namanya.
Alis Kaal bertaut selagi ia menoleh mencari tahu siapa yang bisa mengenalinya di cuaca seperti ini.
"Kaal!"
Mulut Kaal segera menganga mendapati Melody tengah berlari ke arahnya. Gadis mungil itu masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan ransel dan payung yang membuatnya terhindar dari basah.
"Apa yang kau lakukan bodoh?!" teriak Kaal marah, meski ia tidak tahu apa alasan yang membuatnya marah.
Melody mengatur nafas sejenak.
"Ini. Aku membawakanmu payung." Gadis itu menyerahkan gagang payung yang sedang ia gunakan.
"Aku tidak menemukan payung lain. Kau bisa membawanya."
Kaal benar-benar ingin mengutuk kebodohan gadis itu. Melody Senja pasti sudah kehilangan akal sehat sampai berbuat hal konyol seperti sekarang.
Seakan menangkap raut kemarahan Kaal, Melody dengan cepat menambahkan.
"Aku takut kau terserang flu."
Kaal melepas sweater yang menutup kepalanya. "Lalu kau akan berlari pulang di tengah hujan seperti ini?"
Melody mengangguk kaku.
"Lalu? Kau ini benar-benar bodoh, dan kau orang yang akan kema flu satu-satunya disini?" teriak Kaal frustasi.
Genggaman Melody ke payungnya mengerat sedangkan kepala gadis itu menunduk.
Kaal menggertakkan gigi. Ia tidak berniat berteriak kepada seseorang yang sedang mencoba menawarkan bantuan. Kaal hanya tidak suka gadis itu menyusulnya saat hujan lebat seperti ini.
Ia tidak suka Melody mengalah hanya untuk dirinya. Ia tidak suka membayangkan Melody jatuh sakit karena masalah sepele, apalagi karena dirinya.
Tetapi Melody terus memandang Kaal penuh harap, dengan kilatan sendu yang melumpuhkan logikanya.
"Oh, sial." Kaal meraih gagang payung Melody kemudian berdiri di samping gadis itu.
"Aku akan mengantarkanmu ke rumah, setelah itu aku akan membawa payungmu pulang kurasa hanya itu ide bagus yang terlintas dari pikiranku sekarang. Kau puas?"
Melody mendongak menatapnya kemudian tersenyum kecil.
"Ya."
Keduanya akhirnya berjalan berdampingan, dengan iringan rinai yang mengetuk payung Melody, serta gerutu pelan dari mulut Kaal yang belum juga hilang.
Melody sengaja memberi jarak di antara lengan mereka, membiarkan hujan bersahabat dengan bahunya.
Menyadari itu, Kaal mendesah panjang.
"Mendekatlah."
"Hm?"Melody berkedip bingung
"Mendekat padaku Melody"
"T-Tapi...."
Lalu Kaal akhirnya berteriak
"Just come closer!"
Tanpa banyak bicara, Melody menipiskan jarak di antara mereka. Kaal membuang muka saat hangat tubuh gadis itu merambat di lengannya.
"Kau bodoh." Kaal mengumpat keras.
"Kau benar-benar bodoh."
"Kaal bisakah kau berhenti memanggilku bodoh?" Pinta Melody lirih.
Kaal memandang Melody tajam.
"Dan apa menurutmu aku akan peduli dengan apa yang kau katakan?"
Melody hanya tertunduk tidak membalas. Gadis itu seolah menghindari pandangannya dengan sengaja menunduk, memperhatikan langkah sepatu mereka.
"Huh... dasar sensitive" Kaal menghela nafas. Ia sungguh muak ketika dirinya merasa bersalah hanya karena beberapa perubahan mimik Melody.
Namun Kaal sadar, perkara utama yang membuat emosinya membumbung mengacaukan segala kosakata yang ia keluarkan saat ini bukanlah hal itu. Ia melirik Melody sejenak.
Kelopak gadis itu tergantung rendah menutupi matanya sementara jajaran gigi Melody tenggelam ke bibir bawahnya sendiri.
"Kau seharusnya membenciku Melody." Tutur Kaal pelan, sedikit lega karena akhirnya ia dapat mengemukakan apa yang mengganjal di hatinya.
"Ketika kau menemukan seseorang yang menyakitimu terjebak hujan, kau seharusnya berharap agar orang itu jatuh sakit, atau ada mobil yang tergelincir lalu menabraknya hingga mati. Bukan justru menawarkannya payung, bodoh."
Kaal menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi. Perihal tentang Melody Senja yang benar-benar membuat kepalanya penuh.
Ia khawatir pemikiran bodoh Melody dapat menjebak gadis itu dalam situasi yang tidak menguntungkan nantinya.
"Kau ingin aku marah padamu?" tanya Melody sedikit gugup.
Kaal berdecak jengkel. "Itu bukan sesuatu yang bisa kau tanyakan kepada seseorang."
"Aku serius Kaal." Sergah Melody.
"Jika aku marah kepadamu apa kau akan berhenti membenciku?"
"Aku tidak membenc—"
"Kaal Vairav, kau brengsek."
Kaal melongo di tempat. Ia melihat Melody yang sedang berupaya menampakkan raut gusar. Tetapi usaha gadis itu jelas gagal. Karena detik berikutnya, Kaal justru tergelak geli.
"Oh, tuhan. Kau benar-benar buruk dalam hal ini." Ungkap Kaal sambil sedikit menggelengkan kepala.
Melody Senja menampakkan ekspresi kosong, tatapannya tertuju lurus ke arah Kaal.
Blush!
Sejumput semu mewarnai pipi Melody sebelum senyum gadis itu tiba-tiba mengembang, menghasilkan kerutan di sekitar pelupuk matanya.
"Aku senang bisa membuatmu tertawa Kaal." Ucap Melody samar.
Tawa Kaal meredup tetapi bukan karena kalimat Melody. Senyum gadis itu merupakan hal paling indah yang pernah Kaal saksikan.
Sorot mata Kaal berubah menjadi kekaguman terhadap gadis mungil di sebelahnya.
Bibirnya mendadak kering dan ia menemukan penglihatannya membelot untuk berpindah dari Melody.
Tidak ada kata yang tertukar setelahnya. Keduanya berjalan lambat, merasakan kesunyian membelai mereka seperti senandung yang melenakan.
Pandangan Kaal terus focus mengikuti Melody, menghafal tiap gerakan kecil gadis itu.
Melody Senja yang tersenyum
Melody Senja yang sedikit menggigil
Melody Senja yang melompat ketika petir menyambar, dan Melody yang meliriknya malu-malu,
MelodySenjaMelodySenjaMelodySenjaMelodySenja hingga nama itu menjadi tak berhingga di otaknya.
Walaupun Kaal telah melakukan beragam cara untuk membuat perjalanan ini sedikit lebih panjang, ia tetap tidak rela ketika melihat pagar rumah gadis itu sudah berada di depan mata.
Melody berbalik menghadapnya, dengan senyum lebih lebar. Menelantarkan nalar Kaal dalam kabut pekat yang menghapus isi kepalanya seketika.
Apa yang tersisa dari pikirannya hanyalah; hujan, halilintar dan bibir Melody Senja.
"Jangan terserang flu." Melody menggumam, merah muda di wajah gadis itu kembali mendominasi.
Hujan, halilintar dan lengkung bibir Melody.
"Kaal?" Melody menatapnya heran—mungkin bingung kenapa ia tetap bergeming seperti patung.
Kaal terkesiap. Kesadarannya pulih hanya untuk dihantam dengan kenyataan bahwa jarak antara ia dan Melody sedang tidak berlaku adil untuk kewarasannya.
Keduanya bersitatap. Melody berkedip pelan, membuat ujung jari Kaal gemetar tetapi bukan karena dingin udara yang merayap saat itu.
Hujan, halilintar dan bibir Melody Senja yang mendekat.
Mata Kaal terpejam seraya membungkukkan badan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun firasatnya mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang baik.
Hujan, halilintar dan bibir Melody Senja di pipinya.
Nafas Kaal tercekat cepat. Ia membuka mata sementara Melody masih belum menjauh dari wajahnya.
Kaal mendengar Melody berdehem kecil diiringi sebuah bisikan dengan suara dalam, parau, yang menggelitik telinga.
"Sampai bertemu besok, Kaal."
Kemudian gadis mungil itu melangkah mundur, memasuki pekarangan rumahnya terburu-buru. Meninggalkan Kaal sendiri untuk mengatasi kontradiksi yang terjadi dalam hatinya.
Karena meskipun hujan belum juga reda, Kaal merasakan matahari telah bersinar terang di dunianya.
Hari itu, ia memutuskan bahwa jatuh cinta bukanlah hal yang buruk. Mungkin tidak masalah membiarkan dirinya sedikit jatuh.
Just a little. Batin Kaal. Yeah, maybe just a little.
Tetapi warna cairan yang ia muntahkan malam itu mengatakan sebaliknya.... Ia benar-benar telah jatuh pada gadis itu
...****...