NovelToon NovelToon
Menjadi Mata Untuk Suamiku

Menjadi Mata Untuk Suamiku

Status: tamat
Genre:Tamat / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Angst
Popularitas:6.4M
Nilai: 4.8
Nama Author: Yutantia 10

Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.

Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.

Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Hari ini White dan Airi pindah rumah. Bukan kerumah yang besar dan mewah, melainkah pindah kerumah kecil satu lantai dengan 2 kamar yang berada dikompleks perumahan kelas menengah.

Mereka memilih rumah itu dengan pertimbangan kondisi White. Rumah yang kecil akan lebih memudahkan White menghafal bagian-bagiannya, selain itu, saat dia butuh sesuatu, taklah sulit saat memanggil Airi karena ukuran rumah yang kecil.

"Kamu yakin gak butuh art, Ai?" tanya Mama Nuri.

"Tidak perlu Mah," White yang menjawab. Semalam dia sudah menekankan pada Airi jika dia harus menolak jika Mama Nuri menawarkan art.

"Tapi bagaimana kalau Airi kerepotan karena harus mengerjakan urusan rumah tangga sekaligus merawatmu?" Mama Nuri menggenggam tangan White yang saat ini duduk disebelahnya.

"White bukan bayi yang akan selalu merepotkannya. Lagian White butuh privasi, White ingin tinggal berdua saja." Sebenarnya hanya alasan, karena yang sesungguhnya, dia tak mau Airi keenakan karena adanya art.

Mama Nuri tampak khawatir, tapi Airi segera meyakinkannya. "Airi bisa kok Mah tanpa art. Ai sudah biasa masak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Jadi Mama gak usah khawatir." Mama Nuri tahu itu jika Airi mampu, tapi tetap saja, dia kasihan kalau Airi harus mengerjakan semua sendiri.

"Sudahlah Mah, ini rumah tangga mereka, biar mereka sendiri yang menentukan," Papa Sabda ikut menimpali.

"Baiklah kalau begitu," Mama Nuri menghela nafas berat. Dia lalu memeluk White yang duduk disebelahnya. "Jaga diri baik-baik," Air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya luruh. Jujur, dia berat sekali pisah dengan White, putra satu satunya. "Kalau ada apa-apa, segera telepon Mamah."

Jangan dikira karena buta, White tak pegang smartphone, dia masih mengunakan benda tersebut tapi yang sudah diseting untuk pengguna tuna netra.

White melepaskan pelukan mamanya. Mencoba meraba wajah untuk menyeka air matanya. "White akan baik-baik saja. Bukankah Mama sangat percaya pada Airi? Bahkan selalu membanggakannya jika dia itu wanita yang sangat hebat."

"Lagian Mama apa-apaan sih, cuma pindah rumah saja, gak usah terlalu melow, kalau kangen bisa datang berkunjung," ujar Papa Sabda yang langsung mendapat pelototan tajam dari istrinya.

"Papa itu laki-laki, mana paham perasaan perempuan," sewot Mama Nuri.

White langsung tergelak. "Pah, ingat, Mama selalu benar." Slogan yang selalu diucapkan oleh White dan papanya.

Airi menutup mulutnya agar suara tawanya tak terdengar. Ternyata meski White sering kasar padanya, pria itu sangat menyayangi mamanya.

Papa Sabda menghela nafas. "Kau benar, bahkan 2+2 hasilnya 5, tetaplah benar jika itu jawaban mama kamu."

"Terus, terus saja kalian keroyok aku," Mama Nuri menatap tajam suami dan anaknya bergantian.

Baik White maupun Papa Sabda, mereka langsung tertawa dan memeluk Mama Nuri yang duduk ditengah, diantara keduanya. Airi tersenyum melihat keluarga yang hangat itu. Merasa bersyukur karena dia berada ditengah tengah orang-orang baik.

Setelah Mama Nuri dan Papa Sabda pulang, Airi membawa White ke kamar untuk istirahat. Rencananya, nanti sore baru dia akan mengajari White untuk mengenali satu persatu ruangan dirumah ini.

"Aku ingin kita tidur dikamar terpisah," ujar White.

"Itu tidak mungkin," sahut Airi.

"Kenapa tidak mungkin?"

"Mama menyuruhku selalu ada disisimu."

"Tapi disini tidak ada Mama."

"Tapi aku harus menjaga amanah dari beliau."

White berdecak sebal, ternyata Airi tak selemah perkiraannya. Sepertinya, akan sulit untuk menindasnya.

"Dikamar ini tak ada sofanya bukan?" Tadi White sudah ditunjukkan apa saja yang ada dikamar ini oleh Mama Nuri. Beliau juga menunjukkan letak kamar mandi dan bagaimana caranya agar White bisa mencapai tempat itu.

"Aku bisa tidur dilantai. Aku akan menggunakan kasur lipat sebagai alas," sahut Airi enteng.

"Ck, ternyata kau lebih suka menderita daripada tidur nyenyak dikamar lain," cibir White.

"Siapa bilang aku menderita? Diluar sana masih banyak yang tidur tanpa alas. Sedangkan aku, bukankah masih beruntung karena tidur beralaskan kasur."

White mengehela nafas berat. Ternyata selain tak mudah ditindas, Airi juga pandai menjawab kata-katanya. Benar kata mamanya, Airi memang cerdas.

Airi membenarkan letak bantal lalu mengatur suhu AC. "Tidurlah, aku mau masak."

"Tidak perlu, aku yakin masakanmu tak akan bisa memuaskan lidahku."

"Simpan komentarmu untuk nanti. Karena sebelum merasakan masakanku, jangan dulu berkomentar. Aku tak tega jika kau harus menjilat ludah sendiri." Selama seminggu tinggal dirumah mertua, Airi memang belum pernah memasak.

"Ish," White kesal mendengar ucapan Airi barusan. Tapi Airi, dia justru menahan tawa melihat ekspresi kekesalan White. Setelah White naik keatas ranjang dan bersiap tidur, Airi keluar dari kamar. Sengaja dia tidak menutup rapat pintu kamar agar bisa mendengar saat White memanggilnya.

Airi kedapur untuk memasak. Hari ini, tak hanya barang-barangnya dan White saja yang dipindahkan kesini. Mama Nuri juga mengisi kulkas dengan bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Mertuanya itu juga memberinya kartu debit yang bisa dia gunakan untuk membeli keperluan. Isinya memang tak banyak, tapi akan ditransfer setiap bulan oleh Papa Sabda.

Selesai masak, Airi mengatur tata letak barang-barang dirumah barunya. Dia ingin menciptakan rumah yang sesuai impiannya. Ngomong soal rumah impian, Airi jadi teringat Ryu.

"Aku ingin rumah sederhana dengan halaman yang luas. Rumah dengan 1 lantai tapi ada mezaninnya."

Ryu tampak berfikir, membayangkan bentukan rumah yang diimpikan Airi.

"Hanya rumah sederhana, tapi gaya berfikir Abang kayak aku minta penthouse 3M aja," Airi menyebikkan bibir.

"Aku hanya sedang membayangkan rumah masa depan kita nanti, bukan perfikir keras."

"Bagaimana jika mulai sekarang, kita nabung jadi satu, untuk beli rumah saat kita sudah nikah nanti," usul Airi.

Ryu langsung menggeleng. "Itu urusanku, biar aku yang mencari uang untuk mewujudkan rumah impianmu itu."

Airi tak kuasa menahan air matanya. Dia merindukan Ryu, karena semakin berusaha melupakannya, dia semakin merindukannya.

Bang Ryu, maafin Ai.

Dada Airi semakin sesak. Dia merasa bersalah pada pria itu.

"Ai."

"Iya Bang," sahut Airi saat mendengar White memanggilnya.

"Bang?" White yang ternyata sudah berdiri diambang pintu terlihat terkejut.

Airi merutuki dirinya sendiri, karena memikirkan Ryu, dia sampai salah sebut. Lupa jika saat ini, White yang memanggilnya bukan Ryu.

"Kau memanggilku bang? Jangan-jangan kau sedang memikirkan orang lain yang kau panggil bang itu?" White tersenyum mengejek.

"A- aku tidak memikirkan siapa-siapa."

"Ck, pembohong. Kalau memang tidak, mana mungkin suaramu terdengar gugup. Aku hanya buta, tapi tidak tuli."

Airi menyeka air matanya lalu menghampiri White. "Ayo kita makan," dia memegang lengan White.

"Ck, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau memikirkan pacarmu? Kau punya pacar? Apa dia yang biasa kau panggil bang?" Airi mendesis pelan mendengar pertanyaan yang beruntun tersebut. "Kenapa diam? tebakanku benarkan, kau sedang memikirkan si bang itu?"

"Itu tidak benar," sahut Airi. "Aku memang mau memanggilmu bang, bukan sedang memikirkan orang lain." White tidak perlu tahu tentang masa lalunya. Bagi Airi, sekarang White adalah suaminya, dan apa yang terjadi dimasa lalu, biarlah dia simpan sendiri. "Apa aku tidak boleh memanggilmu bang? Bukankah sangat wajar jika seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan seperti itu?"

"Terserah," sahut White malas.

Airi lalu menuntun sebelah lengan White, dan sebelah lainnya, dia suruh untuk merasa dinding. Dia mengajari White cara untuk menuju meja makan. "Jalan ikut tembok itu sambil hitung langkahnya." White melakukan apa yang disuruh Airi. Dia terus menghitung sampai Airi bilang stop. "14 langkah. Jadi setelah 14 langkah, belok kiri, tidak ada tembok lagi, jadi usahakan jalan lurus sambil meraba, hingga ka, Abang." Airi terpaksa mengubah panggilannya gara-gara salah sebut tadi. "Hingga Abang bisa menyentuh kursi. Disinilah letak meja makan."

1
Cucu Nurjanah
bagus ini
Fida
Luar biasa
Lina Suwanti
Semoga Airi n White tetap kuat mempertahankan pernikahan,,betul kata Airi ga usah pedulikan omongan orang
almeera
bg Ryu mau nggak SM anak gadis ku, tp nunggu 10thn lg y bg🤭
Neti Herawati
Luar biasa
mujari lamongan jatim
wah. menjiwai tunanetra rupanya ya. hehehe.
Susanti Susanti
Luar biasa
Shee
bikin melow
/Whimper//Whimper/
Shee
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai
Shee
Lumayan
Eni Sunarheni
nyesek/Sob/
Darmaliah
bagus ceritanya lanjut tor
Anonymous
keren
Ema Jason Ema
alhamdulillah akhir cerita yg bahagia🥰
Ema Jason Ema
huh hampir lemas aku kirain Airi donorin matanya
Ema Jason Ema
waduh ko jd tegang gini ya jangan Airi yg donorkan mata nya
Ema Jason Ema
terharu banget salut sama airi
milkymilkjh
😭😭awww aku pas baca nama nya White jadi keingat lagu ini, lagu favoy banget ternyata emng dari sini yaaaa inspirasi namanya heheh lucu bangett
Dg Singara
Luar biasa
Tiur Lina
jadi baper😅😅
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!