NovelToon NovelToon
Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Aku Cinta Kamu, Dia, Dan Mereka

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Dikelilingi wanita cantik / Pelakor / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi
Popularitas:231
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Ibadurahman

Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.

Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.

Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21.

Ruangan rumah sakit terasa sunyi, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan, seolah menghitung detik demi detik kesadaran Yuki yang masih tertidur. Di sisi tempat tidur, Ayaka tetap duduk di kursinya. Matanya yang biasanya tajam kini tampak sayu, menyimpan kelelahan yang tidak hanya berasal dari tubuhnya, tapi juga dari pikirannya.

Ketika dokter masuk untuk memeriksa Yuki, Ayaka langsung menegakkan punggungnya. "Bagaimana kondisinya, Dok?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.

Dokter memandangnya sejenak sebelum bertanya, "Apakah Anda kerabat pasien?"

Tanpa ragu, Ayaka menjawab, "Saya kakaknya." Ia senghaja berbohong, agar dokter memberi tahu kondisi Yuki padanya.

Dokter mengangguk, lalu membuka catatan medisnya. "Secara fisik, kondisi pasien cukup baik. Namun, ada pendarahan di otaknya akibat benturan keras. Itu bisa menyebabkan kehilangan ingatan, tapi jangan hawatir, ini tidak permanen."

Jantung Ayaka mencelos. "Hilang ingatan?"

Dokter mengangguk lagi. "Kami sudah ingin menyampaikan ini setelah operasinya selesai, tapi saat itu tidak ada keluarga pasien, hanya ada dua orang temannya."

Ayaka mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan emosi yang meluap. Pikirannya langsung tertuju pada Nana. "Tega sekali lu, Nana, telah membuat Yuki seperti ini." gumamnya dalam hati.

"Kapan dia akan siuman dok?" tanyanya lagi, meski suara yang keluar hampir tidak terdengar.

"Setelah efek obat biusnya habis, dia akan sadar," jawab dokter. "Tapi tolong jangan dipaksa untuk mengingat sesuatu terlalu cepat. Itu bisa membebani otaknya dan memperparah kondisinya."

Ayaka mengangguk lemah. Setelah dokter pergi, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Dia menyandarkan kepalanya ke tepi tempat tidur, masih menggenggam tangan Yuki. "Yuki,, gua di sini," bisiknya pelan. "Gua bakal jagain lu."

Sampai akhirnya, tanpa sadar, dia tertidur di sampingnya.

Waktu berlalu tanpa terasa. Sebuah gerakan halus membuat Ayaka terbangun. Dia membuka matanya perlahan, dan begitu melihat jari Yuki yang sedikit bergerak, jantungnya berdegup kencang. "Yuki...?"

Kelopak mata Yuki bergetar sebelum perlahan terbuka. Pandangannya kosong, seolah mencoba memahami di mana dia berada. Lalu, dia melirik ke samping, melihat Ayaka yang kini menatapnya dengan penuh harap.

Namun, sesuatu terasa aneh. Tatapan Yuki tidak menunjukkan kehangatan yang biasa ia miliki. Tidak ada pengakuan dalam sorot matanya. Dan ketika dia akhirnya bersuara "Yuki?".

"Iya, namamu yuki" ucap Ayaka.

Yuki mengerutkan kening, lalu dengan suara lemah, dia bertanya, "Kamu siapa?"

Dunia Ayaka runtuh dalam sekejap. Napasnya tercekat, jari-jarinya yang masih menggenggam tangan Yuki sedikit gemetar. "Apa?" suaranya serak.

"Gua,,, maksudku, aku Ayaka,,, pacarmu," ucapnya cepat, iya senghaja mengaku pacarnya.

Yuki menatapnya dengan bingung. Tangannya terangkat perlahan, mencoba mengingat sesuatu, sesuatu yang seharusnya ada di dalam kepalanya, tapi sekarang hanya kehampaan. Dia mengerang pelan saat rasa sakit menyengat kepalanya.

"Sayang, jangan dipaksakan," Ayaka buru-buru menahannya. "Kata dokter ini cuma sementara, Kamu gak akan mengingat apa-apa untuk sementara waktu. Tapi aku janji, aku bakal selalu ada buat kamu."

Yuki memejamkan matanya lagi. Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi lain.

Ayaka hanya bisa duduk di sana, menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk, merasa lega karena Yuki masih hidup, tapi hancur karena Yuki tidak lagi mengingatnya.

Tiba-tiba sebuah ide licik terpikirkan, Jika Yuki tidak ingat apa-apa, maka ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk membuatnya tetap berada di sisinya.

Ayaka menggenggam tangannya lebih erat. "Gue gak akan biarin lu kembali pada Nana atau Yuna."

**

Pagi harinya, dokter datang lagi untuk memeriksa Yuki. Ayaka sudah lebih tenang, meskipun di dalam dirinya ada badai yang belum mereda.

"Bagaimana kondisinya, Dok? Apa sudah bisa dibawa pulang?" tanyanya.

Dokter menghela napas. "Secara fisik, dia sudah bisa keluar. Tapi tubuhnya masih lemah, dia butuh asupan gizi dan perawatan yang cukup. Kami sarankan tetap dirawat di sini sampai kondisinya lebih stabil."

Tapi Ayaka Sudah tidak sabar ingin membawanya pergi, karna hawatir Nana atau Yuna, maupun yang lainnya datang untuk menjenguk Yuki, jika itu sampai terjadi, maka rencana untuk menjatuhkan Yuki dari Nana dan Yuna akan gagal. Karna pasti ketika Nana Atau Yuna datang, itu akan mempengaruhi pikiran Yuki yang kini masih kosong, karna itu Ayaka mencoba bertanya pada dokter. "Apa bisa dirawat di rumah saja dok?"tanyanya cepat.

Dokter menatapnya dengan ragu. "Bisa, tapi pasien harus tetap diinfus dan dipantau secara ketat."

Ayaka tersenyum tipis. "Tidak masalah, aku akan merawatnya dengan baik."

Dokter akhirnya menyetujuinya. Setelah urusan administrasi selesai, Yuki sudah bisa duduk meski tubuhnya masih terlihat lemah.

Ayaka membantunya berdiri, menyampirkan lengannya ke bahu Yuki untuk membantunya berjalan. "Sayang, kita pulang sekarang."

Yuki hanya mengangguk pelan. Dan tanpa ada yang tahu, Ayaka membawanya pergi. Bukan ke apartemennya sendiri yang ada di Tokyo. Tapi ke tempat yang jauh dari semua orang, yaitu rumahnya yang berada di Yokohama. tempat di mana jauh dari Nana. Tempat di mana tidak ada siapa pun yang bisa mengambil Yuki darinya.

**

Sementara itu di kontrakan, Nana duduk di tepi kasur, masih dalam seragam sekolah, tapi tubuhnya terasa kosong, pikirannya seakan tersedot ke dalam pusaran rasa bersalah yang tak berujung. Dia tidak berbicara, tidak bergerak, hanya diam dengan tatapan kosong ke lantai. Yuna bersandar di dinding, mengawasinya dalam diam. Dari caranya menatap Nana, jelas dia tahu bahwa sahabatnya itu belum benar-benar ada di sini, pikirannya masih tertahan di rumah sakit, di ruangan Yuki, di tempat di mana kesalahannya terasa begitu nyata. Yuna menghela napas, berusaha mencari cara untuk membawanya kembali.

"Gue gak bakal maksa lu berangkat sekolah." Suara Yuna datar, tapi penuh perhatian. "Kita bolos aja."

Tapi tanpa mengangkat wajahnya, Nana berbisik pelan. "Kita ke rumah sakit."

Yuna menegang. Ini yang dia takutkan. Dia bisa membayangkan betapa buruknya situasi di sana. Ayaka pasti masih di sana, menjaga Yuki. Jika Nana melihat itu, keadaannya bisa makin memburuk. Dia harus mencegahnya. "Sebaiknya jangan sekarang," ucap Yuna mencoba menahan.

Namun, Nana akhirnya berdiri. Meski tubuhnya masih lemah, ada ketegasan dalam langkahnya. "Kalau lu gak mau ikut, gue sendiri yang pergi."

Yuna mendengus pelan, menatap Nana yang sudah melangkah menuju pintu. Dia tahu tidak ada gunanya membujuk atau menahan Nana dengan kata-kata. Kalau dia benar-benar pergi sendiri, keadaan bisa makin kacau. Maka, dengan berat hati, Yuna akhirnya bangkit dan berjalan di belakangnya. "Baiklah, ayo kita pergi bersama."

Begitu tiba, Nana langsung menghampiri meja resepsionis. Yuna berdiri di belakangnya, matanya tetap mengamati sekitar, mencari tanda-tanda keberadaan Ayaka.

"Permisi, pasien atas nama Yuki Kaze, ruangan berapa?" suara Nana terdengar tegang, penuh harapan.

Namun, kata-kata yang keluar dari mulut resepsionis itu seakan merobohkan dinding terakhir yang menahan tubuh Nana tetap tegak. "Maaf, pasien tersebut sudah dibawa pulang oleh keluarganya."

Detik itu juga, dunia Nana terasa runtuh. Tubuhnya kehilangan tenaga, lututnya hampir goyah. Jika Yuna tidak segera menangkapnya, dia pasti sudah terjatuh. Dengan cepat, Yuna menuntunnya ke bangku tunggu, membiarkannya duduk sebelum tubuhnya benar-benar tumbang. Nana menunduk, bahunya bergetar. "Ini semua salah gue." Tangannya mengepal di pangkuannya, kukunya hampir menancap ke kulitnya sendiri. "Gue yang nyakitin dia, gue yang buat dia kayak gini, Gue,,,"

Air mata mengalir tanpa suara, tapi isakan tertahan itu justru terasa lebih menyakitkan.

Yuna duduk di sampingnya, mengulurkan tangan dan mengusap punggungnya pelan. Dia tidak bicara, karena dia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menghapus luka di hati Nana. Yang bisa dia lakukan hanyalah berada di sampingnya.

Setelah beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang penuh emosi, Nana akhirnya bersuara lagi. "Apa lu tau keluarga Yuki ada di mana?"

Yuna menghela napas. "Lu yang paling dekat sama dia, Nana. Kalau lu aja gak tau, apalagi gue?"

Nana tidak menjawab. Tapi dia menggigit bibirnya, menahan sesuatu di dalam dirinya.

Yuna menggenggam tangannya lebih erat. "Ayo kita pulang."

Sepanjang perjalanan, Yuna tidak bisa berhenti berpikir. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Setahunya, hanya Ayaka yang menjaga Yuki selama ini. Jika Yuki sudah dipulangkan, maka hanya ada satu kemungkinan, Ayaka yang membawanya. "Brengsek," ucapnya dalam hati. Dia mencengkeram roknya sendiri, menahan dorongan amarah yang mulai memenuhi dadanya. Ayaka tidak mungkin membawa Yuki hanya untuk merawatnya. Ada sesuatu di balik ini semua. Sesuatu yang tidak bisa Yuna abaikan begitu saja.

Namun, di tengah kekacauan pikirannya, suara Nana terdengar pelan. "Gue mau pulang ke rumah."

Yuna menoleh. 'Rumah? Kediaman Hayashi Aoi?'

Nana hampir tidak pernah kembali ke sana kecuali benar-benar terpaksa. Tapi kali ini, Dia yang memintanya sendiri. Yuna tidak bertanya. Tidak berkomentar. Dia hanya meminta sopir untuk mengubah arah.

Ketika akhirnya sampai di depan gerbang besar kediaman keluarga Hayashi, Nana turun tanpa berkata apa-apa. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada lambaian tangan. Dia hanya berjalan masuk, membiarkan gerbang besi itu menutup di belakangnya.

Yuna mengamatinya sampai sosoknya menghilang di balik dinding tinggi. Namun, dia tidak pulang ke kontrakan. Sebaliknya, Dia kembali ke rumah sakit.

Kali ini, Yuna tidak main-main. Dia berjalan ke meja resepsionis dengan langkah cepat dan ekspresi dingin. "Saya mau tanya sekali lagi."

Resepsionis menoleh, sedikit terkejut dengan nada suaranya. "Siapa yang membawa Yuki pulang?"

Jawaban yang ia dengar membuatnya hampir membanting meja.

"Pasien dibawa pulang oleh keluarganya, atas nama Ayaka Kaze."

'Ayaka Kaze?'. Yuna mencengkeram sisi meja lebih erat. "Brengsek... Pake nama keluarga orang seenaknya, Lu kan Ayaka Ito!" Gumamnya dalam hati.

Namun, kejutan itu belum selesai.

"Sebenarnya, pasien masih harus dirawat. Menurut diagnosa dokter, ada pendarahan di otaknya dan kemungkinan mengalami kehilangan ingatan. Tapi keluarganya memaksa untuk pulang."

Seluruh tubuh Yuna membeku. 'Pendarahan otak?' 'Hilang ingatan?', Lalu 'Ayaka yang memaksa membawanya pulang?'

Tangannya mengepal begitu keras sampai kukunya hampir menembus telapak tangannya sendiri.ia menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendidih di dadanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan keluar rumah sakit. Setiap langkahnya berat. Setiap tarikan napasnya penuh amarah.

Begitu sampai di luar, ia mendongak ke langit, menarik napas panjang. Namun, amarah itu tidak mereda. Mata Yuna menyala. "Ayaka brengsek." "Lu mau manfaatin Yuki, ya?" "Gue gak bakal diem aja." Teriak Yuna mencoba melepaskan amarahnya.

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!