NovelToon NovelToon
Between Hate And Love

Between Hate And Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lucky One

Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.

Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyesalan

Levin berdiri di dekat jendela, matanya menatap keluar dengan tatapan penuh kekhawatiran. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan amarah yang terus berkecamuk di dadanya. Sementara itu, Dira duduk di sisi ranjang Vanya, memegang tangan adiknya yang gemetar.

“Vanya,” ujar Dira dengan suara yang lebih lembut, “kamu nggak boleh ngelakuin hal itu lagi, ya. Kita nggak bisa kehilangan kamu. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu pikir, dan Bagas... dia bukan siapa-siapa buat kamu. Dia nggak pantas buat air mata kamu, apalagi sampai nyerahin hidupmu.”

Vanya menunduk, suaranya pelan saat berbicara, hampir seperti bisikan. “Tapi, Kak... kalau foto-foto itu sampai tersebar, aku nggak tahu harus gimana. Aku bisa hancur. Mamah... Mamah pasti kecewa berat. Aku nggak mau bikin dia malu.”

Dira menggenggam tangan Vanya lebih erat, memberikan rasa nyaman di tengah ketakutannya. “Udah, nggak usah mikirin hal itu lagi. Aku udah ngehapus semuanya dari ponselnya Bagas. Aku juga udah masuk ke akun gdrive-nya dan ngapus semua file yang ada di sana. Kita udah cek semua kemungkinan yang bisa kita lacak. Kita berdoa aja dia nggak punya salinan di perangkat lain.”

Vanya mengangkat kepalanya, matanya penuh harapan meski masih ada sedikit ketakutan yang tertinggal. “Beneran, Kak? Gimana kamu bisa ngehapus semuanya?”

Dira tersenyum tipis, meski terlihat jelas bahwa situasi ini juga berat baginya. “Aku punya temen yang paham soal teknologi, dia bantuin aku ngelacak semua file di ponsel dan akun-akun Bagas. Kita berhasil masuk ke penyimpanannya tanpa dia sadari dan langsung hapus semuanya. Setidaknya, sekarang udah nggak ada jejak digital yang kelihatan."

Levin menatap adiknya dengan tatapan serius namun penuh kasih. “Vanya, ada satu hal lagi yang harus kamu tepati. Kamu harus janji sama kakak. Sebelum kamu lulus SMA, kamu tidak boleh berpacaran dengan siapapun. Ini terakhir kalinya kamu pacaran, dan kamu harus menjauhi si Bagas brengsek itu. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam masalah yang sama lagi.”

Vanya menunduk, menahan isak tangis yang hampir tak tertahan. “Iya, Kak,” jawabnya dengan nada pasrah. “Vanya janji, Vanya bakal nurut sama kakak. Vanya benar-benar menyesal tidak dengerin kakak sejak dulu.”

Dira mengusap punggung adiknya dengan lembut, mencoba memberikan rasa tenang di tengah amarah dan ketidakpastian. “Kita semua bikin kesalahan, Van. Yang penting sekarang adalah belajar dari kesalahan itu dan maju ke depan. Kamu sudah buat langkah besar dengan mendengarkan kami dan berjanji untuk berubah.”

Levin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya setelah seluruh emosi yang tertahan. “Kamu harus tahu, kami bukan melarangmu karena kami benci kamu atau ingin mengendalikan hidupmu. Kami cuma ingin kamu bahagia dan aman. Dan kita semua tahu bagaimana sulitnya membuat keputusan saat merasa tertekan. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik untukmu.”

Vanya mengangguk, air mata masih menggenang di matanya. “Vanya ngerti, Kak. Vanya akan coba sebaik mungkin untuk mematuhi janji ini. Aku benar-benar minta maaf.”Dira dan Levin saling berpandang, saling memahami bahwa langkah selanjutnya adalah mendukung Vanya dengan sepenuh hati. Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka siap untuk bersama-sama melewati setiap tantangan yang akan datang.

“Bagus,” kata Levin akhirnya, suaranya penuh harapan. “Sekarang istirahatlah. Kita akan menghadapi semua ini bersama. Ingat, kamu tidak sendirian.Vanya memeluk kakaknya erat, merasakan kehangatan dan dukungan yang sangat dibutuhkan saat itu. Dalam pelukan itu, dia mulai merasakan harapan baru dan tekad untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak.

***

Dira berdiri di sudut ruangan, mengamati momen kekeluargaan yang penuh kasih di depannya. Melihat pelukan penuh rasa yang terjadi antara Levin dan Vanya membuat hatinya merasa berat. Di satu sisi, dia merasa senang melihat Vanya yang sudah di anggap adiknya, mendapatkan dukungan dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan, namun di sisi lain, perasaan iri mulai mengusik dirinya.

Sejak kecil, Dira menjalani hidup yang jauh berbeda. Orang tuanya sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing-masing, sering kali tidak memperhatikan kesejahteraan emosional dan psikologisnya. Kehidupan Dira seringkali terasa seperti berjalan di jalur yang bebas dan tanpa arah, di mana pembantu rumah tangga yang seharusnya bisa menjaga dan membimbingnya lebih fokus pada tugas-tugas rumah tangga daripada memperhatikan kehidupannya yang lebih dalam. Meskipun mereka peduli, mereka tidak benar-benar memahami kerumitan dan kesulitan yang Dira hadapi di luar rumah.

Dira merasakan kesepian yang mendalam. Dia tidak pernah mendapatkan kehangatan dan perhatian yang sama seperti Vanya. Teman-temannya di sekolah dan kehidupan sosialnya terasa dangkal, sering kali berakhir dengan kekecewaan karena kurangnya kedekatan emosional yang sebenarnya.

Dalam kesendirian malam itu, Dira mengingat masa-masa sulit yang telah dia lalui tanpa ada sosok yang bisa benar-benar mengerti dan mendukungnya. Dia berusaha keras untuk tampil kuat dan mandiri, namun rasa kosong di dalam hatinya tak pernah sepenuhnya terisi.

Dia membayangkan seandainya dia mendapatkan dukungan seperti itu dari keluarganya, mungkin hidupnya akan berbeda. Namun, Dira tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus membandingkan hidupnya dengan orang lain. Setiap orang punya perjuangannya sendiri, dan dia harus belajar untuk menemukan cara agar bisa menyembuhkan dirinya sendiri dan mencari cara untuk mendapatkan kebahagiaan.

Dalam keremangan malam, Dira menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin, dia belum sepenuhnya mengetahui cara untuk mendapatkan kehangatan dan dukungan yang dia inginkan, tetapi dia tahu satu hal dia harus terus berjuang untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya sendiri.

"Ah, sudahlah. Gue harus tidur. Besok masih ada masalah yang mesti gue selesaikan," gumam Dira pelan. Pikirannya masih bergelut dengan urusan Gerry yang tak kunjung beres, meski matanya mulai terasa berat. Ia menarik selimut, berharap rasa lelah bisa membawanya terlelap.

Pagi datang dengan cepat, sinar matahari merayap masuk melalui celah tirai, membangunkan Dira yang terpaksa harus beranjak lebih awal dari biasanya. Dengan langkah malas, ia menuju dapur. Ingatan tentang janjinya untuk memasak mengganggu benaknya. Sudah beberapa hari berlalu, dan ia terus menunda. Hari ini, ia tak punya pilihan selain menepatinya.

"Sial, gimana caranya ini?" Dira memandangi bahan-bahan di depannya, wajahnya penuh kebingungan. Sudah berkali-kali ia mencoba, tapi hasilnya selalu jauh dari ekspektasi.

Matanya kembali fokus pada layar ponsel yang menampilkan video tutorial masak. "Liat dari video tetep aja gak enak," keluhnya pelan. Tangannya sedikit gemetar saat mulai memotong sayuran, meski hati kecilnya sudah merasa ragu “Tak, tak, tak,” suara langkah kaki terdengar dari tangga, menandakan seseorang baru saja turun dari lantai dua. Dira menoleh dan melihat Levin, rambutnya masih sedikit berantakan dan matanya tampak sedikit sayu. Meski baru bangun tidur, pesona Levin tetap terlihat jelas—sesuatu yang membuat Dira sejenak kehilangan fokus pada apa yang sedang ia lakukan.

"Levin?" Dira mengerjap, sedikit terkejut melihatnya di dapur sepagi ini. Levin berjalan mendekat, matanya menyapu pemandangan dapur dengan sedikit keheranan. "Lagi ngapain lo?" tanyanya, suaranya serak namun tetap terdengar lembut. Tatapan tajam Levin tertuju pada Dira yang berdiri canggung di depan kompor, sibuk memotong sayuran yang bentuknya tak beraturan.

Levin tertawa kecil, suaranya dalam namun hangat, membuat suasana yang canggung berubah lebih ringan. "Well, gue penasaran sih sama hasilnya kali ini. Tapi kalo lo butuh bantuan, bilang aja. Gue nggak jago masak, tapi at least gue bisa bedain mana yang harus digoreng, mana yang harus direbus," katanya sambil melirik bahan-bahan di meja

1
and_waeyo
Semangatt nulisnya kak, jan sampai kendor❤️‍🔥
Lucky One: makasih udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!