Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.
Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.
Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkarnya Sebuah Rahasia
Aku berlari mencari Satria, yang akhirnya kutemukan tengah nongkrong di tepi telaga—di dekat tempat aku dan Kevin berbincang pada malam sebelumnya. Spot tersebut memang area ternyaman yang paling dekat dengan penginapan.
Tentu saja aku menemukan dia bukan secara kebetulan. Ronald yang memberitahu ketika dengan panik aku menanyakan keberadaan cowok itu ke semua orang.
“Kenapa nyari Satria?” Raga sempat bertanya keheranan, tapi tidak mendapat jawaban. Aku keburu melesat keluar. Seruannya sebagai usaha menghentikan langkahku pun tak aku gubris.
Ketika berhasil menemukan cowok kekar itu, leganya bukan main. Rasanya seperti menemukan harta karun yang terpendam ribuan tahun. Kalau saja tidak tahu apa itu malu, sudah aku tubruk dan peluk erat tuh cowok.
“Ada apa?” Satria menyambut kedatanganku yang terengah-engah karena setengah lari di sepanjang jalan.
“Bentar dulu, Sat.” Aku membungkuk seraya berpegangan pada besi penahan yang dipasang di tepi telaga. Sebelah tanganku melingkar memegangi perut yang rasanya seperti keram. Nafasku masih tersengal-sengal. “Aku... kasih aku waktu untuk bernafas dulu.”
“Iya deh... iya!” Satria menahan tawa melihat keadaanku.
Aku mengatur nafas sejenak. Setelah lumayan tenang, barulah mulai bertutur tentang kejadian yang sempat kucuri dengar di teras belakang. Lengkap selengkap-lengkapnya, tanpa tercecer secuil pun.
“Kamu kasih tahu Mas Raga, ya?” tuduhku serta merta setelah selesai bercerita.
Memangnya siapa lagi yang dapat aku dakwa? Kisah mengenai Kevin aku tutup rapat dari siapapun. Jangankan manusia, seonggok diari saja tidak aku beritahu.
“Kenapa bisa kebongkar?”
“Demi Allah, Nad! Aku nggak bilang ke siapa-siapa. Jangankan Raga, Kevin saja tidak kuberitahu.” Satria mengelak dengan wajah serius—setengah ketakutan. “Emangnya aku gila apa. Itu sama aja adu domba. Bisa perang dunia keempat kalau sampai masalah tersebut ketahuan mereka.”
“Sudah... tadi sudah terjadi. Nyaris perang dunia kelima.” Kuhela napas dengan ekspresi letih.
Sejujurnya aku percaya kepada Satria. Tak ada sedikitpun keraguan terhadap pernyataan cowok itu. Tidak ada alasan untuk tak percaya kepadanya. Aku tahu Satria orangnya bagaimana. Penyimpan rahasia paling hebat yang pernah kukenal.
“Jadi? Mereka berantem... lagi?” Satria balik tanya dengan nada cemas.
Aku buru-buru menggeleng. “Mas Raga malah ngotot, nyuruh Kevin jadian dengan aku.”
Satria tergelak lirih. “Edan,” ujarnya di antara tawa.
“Jangan diketawain!” hardikku kesal.
“Sorry!” Satria menghentikan tawa. Tatapannya beralih, lurus jauh ke telaga yang membentang di hadapan kami. “Terus Sinyo jawab apa, Nad?”
“Ya nolak, lah! Gila aja kalau sampai mau!”
“Emang kenapa?”
“Mana mungkin cowok kayak dia mau sama aku,” gumamku.
“Kayak dia gimana maksudnya?”
“Y-yaaa, cakep gitu.” Aku menunduk sembari berujar lirih.
Tiba-tiba Satria berdehem lirih, membuatku menoleh ke arahnya. Wajah cowok berperawakan tinggi besar itu terlihat serius.
“Sinyo itu nggak enak sama Sipit. Aslinya, ya mau banget dia itu. Mana ada kucing yang menolak ditawari ikan asin.”
“Maksud kamu?” Aku merasa sedikit tersinggung. Pepatah di ujung kalimat, kurasa memiliki konotasi yang agak ‘jorok’.
“Kamu sadar nggak, kalau selama ini mereka saingan?”
“Saingan apa? Nggak paham.” Keningku berkerut.
“Gini ya, berhubung rahasia kamu sudah terbongkar, nggak adil kalau kamu nggak tahu rahasia Kevin yang ini.”
“Jangan berbelit-belit deh, Sat. Kuceburin ke Telaga loh kamu nanti,” ujarku sewot yang ditimpali oleh gelak tawa cowok di sebelahku tersebut.
“Sinyo itu suka sama kamu.”
“Ha ha ha....” Aku tertawa mengolok, hanya sekian detik, lalu kembali ke wajah serius dalam waktu cepat. “Bercanda, ‘kan?”
“Apa aku kelihatan kayak orang lagi bercanda?” Satria menatapku lurus. Seketika aku membeku, seluruh tubuh terasa seperti patung. “Selama ini Kevin hanya berusaha menjaga perasaan Raga, dan memegang janjinya. Kasihan dia itu. Tertekan.”
“Tertekan kenapa?”
“Keadaan, keluarga, perasaan, banyak hal yang tidak semua orang tahu.”
“Apa hubungannya dengan aku?”
“Karena di antara semua masalah yang dia hadapi, masih ada janji yang ikut menekannya juga.”
“Janji apa?”
“Kamu ingat peristiwa di Unmer?”
“Yang mana?”
“Setahun lalu.”
“Yang mereka berantem?”
Satria mengangguk.
“Hari itu Kevin berjanji buat ngejauhin kamu.”
“Mas Raga yang minta?”
“Inisiatif Kevin sendiri demi meredakan emosi Raga. Dia merasa bersalah, merasa sudah berkhianat, jadi berjanji akan menjaga jarak dengan kamu.”
Kalimat Satria membuatku terkesiap. Antara percaya dan tidak, tapi itu yang kudengar. Dan jika aku ingat-ingat, lalu merunut lagi peristiwa demi peristiwa pada waktu itu, memang seperti ada kesinambungan antara cerita Satria dengan rentetan sikap aneh Kevin, di mana dia menjauh dari aku semenjak peristiwa di Kampus Unmer tersebut.
“Aku harus gimana ya, Sat?” tanyaku dengan ekspresi gegana (gelisah, galau, merana).
Satria menghela napas panjang, menatapku dengan ekspresi kocak seraya tersenyum samar dan mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Ikuti kata hati, Nad. Dia yang paling jujur dan paling tahu apa yang kamu inginkan,” ujarnya kemudian.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Otakku seakan hang. Menurutkan emosi atau mengikuti nurani? Memilih untuk mengejar cinta yang mungkin hanya sesaat dan—mungkin—akan berdampak kehancuran pada hubungan baik kami semua, ataukah memilih persahabatan dan membiarkan perasaanku terhadap Kevin menguap begitu saja?
Bagi seorang remaja 17 tahun, memutuskan satu di antara dua itu sesuatu yang lumayan sukar. Apalagi dua-duanya sama baik, berada dalam satu circle yang sama, bersahabat akrab pula.
🍁🍁
Karena keasyikan menyimak cerita Satria, aku tidak menyadari ada sosok lain yang sejak tadi memperhatikan kami dari jarak lumayan dekat. Satria pun sepertinya juga tidak tahu. Dia terus saja berceloteh menceritakan tentang curahan hati Kevin kepadanya.
Hingga,
“Ehm....” Sebuah deheman membuat kami berdua kompak menoleh. Saat itu juga, aku bagai tersengat listrik tegangan tinggi. Kagetnya bukan kaleng-kaleng, sebab tidak menyangka dia akan berada di situ. “Aku dengar semuanya.”
“Sejak kapan Mas Raga di situ?” tanyaku seperti orang bego.
“Sejak awal.”
Mati aku!
“Mas Raga melihat Adek berlari keluar mencari Satria. Karena penasaran, Mas ikuti.”
“Jangan salah paham dulu, Ga. Aku nggak ada maksud apa-apa.”
Tentu saja Satria panik, merasa telah berbuat salah. Secara diam-diam dirinya menampung tiga perasaan yang sebetulnya tak bisa disatukan. Padahal, Raga biasa saja. Dia berjalan mendekati kami dengan senyum tersungging di wajah tampannya.
“Bukan salah kamu, Sat,” sahutnya kalem, “aku yang terlalu egois. Memaksakan keinginan, tanpa peduli kalau orang lain juga punya perasaan.”
“Nggak, Mas! Bukan begitu!” Gantian aku yang panik. Aku tahu betul, Raga bukan orang seegois itu. Rasanya berdosa sekali sudah membuat dia berpikir demikian.
“Adek nggak perlu merasa bersalah. Nggak usah berusaha menghibur Mas Raga. I'm really fine.”
Aku dan Satria terdiam, menunduk seperti anak sedang dimarahi orang tuanya. Berbagai rasa berkecamuk menjadi satu. Mungkin Satria sama-sama gelisah seperti aku, sama-sama merasa bersalah seperti aku. Kami berdua sangat paham kepribadian Raga. Andai sejak awal dia tahu perasaanku, andai sejak awal aku tidak menutupi semuanya, andai sejak awal aku jujur kepada dia, aku yakin endingnya tidak akan sekacau ini.
“Aku mulai menyadari hal itu sejak kejadian di Unmer. Kevin adalah sahabatku sejak kecil. Meski pernah tinggal berjauhan cukup lama, aku hafal dengan sifatnya. Aku paham semua gelagat dia,” ucap Raga kemudian, mengawali penuturan panjang.
Aku dan Satria bergeming pada posisi semula, tak berani gerak sama sekali.
“Awalnya aku juga sakit. Tapi kupikir Nada beda. Entah kenapa, aku naif sekali merasa optimis bahwa yang dia suka adalah aku. Walaupun kadang merasa aneh, kenapa dia seperti kurang hepi setiap kali ngumpul rame-rame tanpa Kevin. Kenapa setiap kita datang, yang dia tanyakan Kevin duluan?”
Aku memberanikan diri mengangkat muka. Kupandangi wajah ganteng di hadapanku. Air mata sudah mengembang, tinggal tunggu gong untuk runtuh.
Pelan, kugelengkan kepala sembari berkata lirih, “nggak Mas Raga, nggak begitu. Jangan salah paham.”
Apa yang aku ekspresikan saat itu adalah akumulasi dari semua sedih yang kutahan bertahun-tahun lamanya. Gundah, bingung, dilema, semua... tumpah menjadi satu dalam buliran air mata.
Ya Tuhan... aku sayang Mas Raga! Sumpah, ini nggak bohong! Aku sayang banget sama dia. Dan jika ditanya, siapkah kehilangan dia? Maka aku akan menjawab dengan yakin dan pasti, bahwa aku tidak siap! Tidak akan pernah siap. Raga satu-satunya cowok yang bisa membuatku nyaman, tanpa harus menjadi pribadi berbeda.
“Aku nggak mau kehilangan Mas Raga,” ucapku tiba-tiba dengan sebuah kenekatan yang tak kusangka-sangka.
Raga tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh ujung mataku, menyeka air mata yang menggantung di sana.
“Mas Raga nggak akan hilang, nggak akan ke mana-mana, akan tetap begini. Mas tetep sayang sama Adek, jagain Adek, dan akan selalu ada buat Adek. Tapi, Adek nggak perlu membohongi diri sendiri hanya demi hal itu. Mas nggak suka melihat Adek menyiksa perasaan seperti ini. Ikuti apa yang hati mau. Kelak, jika memang dia tidak bisa menjaga Adek, Mas siap untuk membuat Adek bahagia. Mas akan selalu berada di tempat yang sama.”
“Mas Raga ini ngomong apa, sih?” protesku kesal. Entah kenapa, aku tidak suka dibegitukan olehnya. “Ngelantur!”
Satria yang semula berada di sebelahku, pelan melipir menjauh, lalu menghilang entah ke mana. Mungkin kembali ke vila. Sepertinya memang lebih bagus dia pergi. Jadi, aku leluasa berbicara empat mata dengan Raga.
“Mas Raga rela Adek jadian dengan Kevin. Kalau kalian senang, Mas juga ikut bahagia.”
“Katanya nggak mau egois!” Sebuah suara menimpali ucapan Raga.
Hadeeeh, ngapain Kevin ke sini?
Saat itu, aku merasa seperti tengah dikutuk oleh semesta. Bagaimana harus bersikap di hadapan mereka berdua? Menenangkan yang satu saja belum berhasil, ini sudah datang pula yang satunya.
“Nyuruh orang buat nurutin kemauan kamu, itu termasuk egois.”
Raga tak menyahut, tertegun menatap hamparan air telaga. Sorot matanya yang kosong cukup untuk menjelaskan betapa galaunya dia saat itu. Dia menyimpan luka dan kekecewaan yang begitu besar.
Sementara aku, kualihkan pandangan jauh ke arah perbukitan di seberang telaga seraya menyeka air mata yang tersisa. Yang aku ingat, Kevin paling tidak suka melihat orang menangis. Dia pernah membentakku gara-gara mewek di hadapannya.
Cowok cungkring itu menghampiri tempat aku dan Raga berdiri. Tiba-tiba tangannya meraih pucuk kepalaku, dan mengacaknya lembut. Sebuah ungkapan sayang yang pertama kali aku terima darinya secara nyata, dan berani dia lakukan di hadapan Raga.
“Biarkan Nada menentukan sikapnya sendiri. Jangan intervensi keputusan dia,” cetus Kevin tiba-tiba, menimbulkan kepanikan baru dalam diriku. “Dek, sekarang kamu yang harus memutuskan, pilih aku atau Raga?”
Gila! Ini benar-benar gila, sih! Aku disuruh memilih, langsung di depan mereka. Kevin sinting!
🍁🍁
gabung yu gc bcm
caranya wajib follow akun saya ya
spaya bs sy undang mksh.