dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan
Dokter Pram menatap kosong ke arah jendela kantornya di rumah sakit, pikirannya jauh melayang. Sejak menikah dengan Laras, hidupnya seakan berubah menjadi serangkaian kebetulan yang tidak menyenangkan. Namun, hari ini ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya.
Ia baru saja pulang dari rumah sakit setelah jam kerja yang panjang, dan langkah kakinya yang lelah membawanya menuju ruang tamu. Ia ingin langsung ke kamarnya, tetapi suara percakapan orang tuanya membuatnya berhenti. Dari balik pintu setengah terbuka di ruang kerja sang ayah, ia mendengar sesuatu yang menghentikan langkahnya.
"Pa, kenapa sih? Dari dulu Mama gak tahu apa yang membuat Papa gak menyukai mereka, dan Papa selalu menghindar," ujar Mama Ajeng duduk di kursi bersebrangan dengan sang suami.
"Mereka menikahkan Naina dengan meminta imbalan 10% dari saham Aryatama, dan Mama tahu? Mereka bahkan menjebak Pram dengan tidur bersama Naina dan seolah-olah Pram telah melakukan kesalahan itu ...."
"Pa!" Mama Ajeng menatap tak percaya akan apa yang suaminya ucapkan.
"Tapi karena sepertinya Pram jatuh cinta pandangan pertama dengan Naina, aku membiarkan saja rencana licik Leon Daneshwara itu ...."
"Mengenai Laras ... Perempuan itu bahkan tahu rencana licik Leon yang meminta sebagian tanah kita yang ada di Jogja dan akan memberikan Laras pada kita. Bukankah mereka keluarga licik, Ma? Bisa-bisanya mereka menukar anak mereka dengan imbalan harta dan saham seperti itu ...."
Dokter Pram merasa darahnya mendidih. Paman Leon yang selama ini tampak seperti figur paman yang baik hati, ternyata punya niat licik di balik senyumnya. Pram menahan napasnya, mencoba meredam amarah yang membara di dadanya. Dengan tegas, ia membuka pintu ruang kerja sang ayah.
"Apa maksud, Papa?" tanyanya dengan suara yang bergetar, menahan kemarahan.
Aditya Aryatama dan Ajeng terkejut melihat Pram berdiri di ambang pintu. Mereka saling pandang sejenak sebelum pria baya itu berdiri dan mendekati anaknya.
"Pram, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," katanya mencoba meredakan situasi.
"Tidak seperti yang aku pikirkan?" Pram mengulangi dengan nada sarkastik.
"Aku mendengar jelas apa yang kalian bicarakan. Papa membohongi kami semua dan menutupi semuanya bertahun-tahun selama ini ...."
Ajeng mendekat, mencoba menyentuh lengan Pram, tetapi dia mundur menghindar.
"Pram, dengarkan dulu penjelasan Papa. Ayo kita bicara di dalam!"
Dokter Pram melangkah mengikuti kedua orang tuanya. Mereka duduk di sofa yang ada di ruangan itu, sedang dr. Pram duduk di kursi kerja ayahnya.
Aditya Aryatama menghela napas panjang, "maafkan, Papa. Leon memang menjebakmu dengan Naina dulu, dan ia meminta 10% dari saham kita sebagai dispensasi karena menganggap kamu telah menodai Naina sebelum pernikahan ...."
"Aku tidak percaya ini!" Pram tertawa getir.
"Aku bahkan sangat menyayangi Papa Leon, tapi kenapa begini balasannya ... dan baik Naina dan Laras tidak ada yang berbicara hal ini padaku. Aku sungguh bodoh!"
Pram berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan orang tuanya yang terpaku. Ia merasa hancur, seolah dunia runtuh di sekitarnya. Ia berjalan menuju kamarnya, dan mendapati Laras yang berbaring bersama Bagas yang telah tertidur.
"Mas, ada apa? Kamu terlihat ...." Laras tidak melanjutkan kalimatnya saat melihat wajah dr. Pram yang penuh amarah dan kekecewaan.
"Kita perlu bicara," katanya singkat, membuka pintu ruang penghubung ke ruang kerja lamanya yang ada di kamar itu.
Laras mengikuti dr. Pram ke ruang kerja itu. Menutup pintu dengan pelan, dan menemukan pria itu yang berdiri di depan jendela besar, memandang langit malam yang gulita.
"Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?"
Dokter Pram berbalik, memandang Laras dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Saya baru saja tahu tentang pernikahan kita, Laras. Tentang alasan sebenarnya ...."
Laras terdiam sejenak, bingung, "apa maksudmu, Mas?"
"Om Leon. Tanah. Kesepakatan. Semuanya," jawab dr. Pram dengan nada yang sarat emosi.
Laras membeku. Gemetar ia rasakan melihat aura mencekam dari pria di depannya.
"Apa ... apa yang kamu bicarakan?"
"Saya sudah mendengar semuanya dari Papa. Pernikahan kita ini ... ini semua karena Om Leon meminta sebagian tanah keluarga kami sebagai syarat. Kamu tahu tentang ini?"
"Ah, satu lagi ... Kamu bahkan tahu kan rencana Om Leon yang membuatku dulu menikah dengan Naina!"
Air mata menggenang di mata Laras.
"Tidak, Mas! Semuanya tidak seperti yang kamu dugakan ...."
Dokter Pram menggeleng. Berbalik membelakangi Laras.
"Bagaimana saya bisa percaya? Setelah semua yang terjadi baik tentang Naina, dan sekarang ini?"
"Aku akan menjelaskan semuanya, Mas. Tolong dengarkan dulu ...."
Dokter Pram menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Saya merasa dipermainkan, Laras. Seolah pernikahan ini bukan tentang kita, tapi tentang keuntungan keluarga."
Laras mendekat, mencoba menyentuh tangan dr. Pram.
"Aku memang tahu bahwa Om Leon meminta suatu keuntungan pada Papa, tapi aku tidak terlibat akan semua rencana liciknya mengenai Mbak Naina dan kamu. Aku juga tahu kalau Om meminta tanah Aryatama yanga ada di Jogja--"
Pram menatap Laras, mendengar penjelasan dari mulut Laras menambah kekecewaannya.
"Saya butuh waktu, Laras. Saya butuh waktu untuk mencerna semua ini."
Laras mengangguk, "aku akan menunggu, Mas!"
Malam itu, Dokter Pram pulang sendirian ke rumahnya, meninggalkan Laras dan Bagas tetap tinggal di rumah orang tuanya. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya, bahkan dia tidak tahu apapun bahwa semua pernikahan ini seperti permainan uang yang menyenangkan bagi orang lain. Ia butuh waktu untuk memahami dan menerima kenyataan pahit yang baru saja ia temukan.
"Apa itu alasan kamu tidak pernah membalas pernyataan cintaku selama pernikahan kita, Nai? Kenapa? Kenapa kalian senang sekali mempermainkan perasaanku ...."
Dokter Pram duduk termenung di ruang kerjanya, menatap potret almarhumah istrinya dengan netra sendu.
"Dan kamu ...."
Pria itu mengalihkan netra pada potret wanita lainnya. Wanita yang sedang menggendong Bagas dengan senyum tulus di bibir tipisnya.
"Bagaimana bisa wajah polosmu ini membohongi semua orang? Kamu tahu bahwa aku mulai menaruh kepercayaan denganmu, tapi ...."
Dokter Pram menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Menenangkan pikirannya sendiri dan beranjak menuju kamar tidur. Jarum jam menunjuk ke angka jam dua dini hari, tapi netra pria itu tak terpejam sama sekali.
"Sial! Rasanya seperti ditusuk ribuan pisau!" geramnya beranjak ke kamar mandi. Membasahi badan untuk mengusir semua rasa kecewa dan sakit hatinya.
"Aku ragu untuk bisa menerima semua ini," gumamnya serak.
Hari itu penuh dengan perasaan kecewa dan kemarahan bagi dr. Pram. Esoknya ia terbangun di jam delapan pagi. Kebetulan sabtu pagi ini adalah jadwal liburnya. Pria utu menoleh ke sisi ranjang di sampingnya dan tidak menemukan siapapun selain dirinya sendiri.
"Aduh, Mbak. Duduk saja deh, baru sampai juga kan mending istirahat aja."
Suara Bi Darti mengisi dapur ketika dr. Pram melangkah ke sana. Ia menemukan wanita itu berdiri di depan kompor dengan Bi Darti yang ada di depan wastafel mencuci sayur.
"Pagi, Mas Pram!" sapa Bi Darti ramah.
Pria itu hanya mengangguk. Ia duduk di kursi meja makan tanpa menyapa Laras yang menoleh ke dirinya.
Laras menghela napas. Melanjutkan masakannya. Beberapa menit dalam keheningan, Bi darti pun tak berani membuka suara karena ketegangan di antara tuan rumah itu.
"Bi, lanjutin!"
Laras berlalu ke kamar mandi, kembali memuntahkan cairan bening. Kehamilan kali ini sedikit menyiksanya karena rasa mual yang ia alami.rasanya begitu menyiksa dan ia tak bisa berlama-lama menghadap kompor dan mencium aroma rempah.
Semua gerak-gerik Laras itu tak luput dari netra tajam dr. Pram. Meski tetap dengan aura mencekam dan dinginnya, pria itu tetap menyusul Laras ke kamar mandi. Membantu memijat leher belakang wanita itu.
"Mas, ngapain kemari? Keluar sana, ini menjijikkan," ujar Laras lirih mendorong tangan pria itu.
"Muntahkan saja!" dengus pria itu dingin.
Laras tak lagi bersuara. Kembali memuntahkan cairan bening dan tubuhnya merasa lemas tak bertenaga. Ia berpegang erat lada wastafel di kamar mandi itu, dan sebuah lengan melingkari pinggangnya membuat ia menoleh pada pria di sampingnya.
Tubuh kecilnya diangkat dengan mudah oleh sang suami, dan Laras dibawa duduk di kursi meja makan, dan Bi Darti segera memberikannya air hangat.
"Terima kasih, Bi."
Laras meneguk air yang diberikan Bi Darti di bawah pengawasan netra tajam dr. Pram yang duduk di sampingnya. Bi Darti menyiapkan sarapan kedua tuan rumahnya itu.
"Aku roti saja, Bi!" ujar Laras mencegah Bi Darti yang hendak membawakannya nasi goreng.
"Sama buah, Bi!" potong dr. Pram tanpa menoleh.
Pria itu segera menyantap sarapannya, dan diam-diam Laras mengulum senyumnya. Meskipun marah, pria itu ternyata cukup perhatian dan tidak melupakan dirinya.
"Sehat-sehat ya, Nak!" gumam Laras lirih sekali, sembari mengusap perutnya yang masih datar.
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....