Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Dua Manusia Tidak Tahu Diri
"Syukurlah kamu sudah pulang, De. Mas sudah kangen sekali sama kamu." ucap Mas Danang saat melihat ku baru saja sampai di rumah. Ia bangkit dari sofa lalu menghampiriku dan membawakan barang yang aku bawa.
"Ibu juga kangen sama kamu, Nak. Kamu sehat kan?." ujar Ibu yang mengikuti Mas Danang di belakang lalu memelukku erat.
Aku tersenyum terpaksa melihat sambutan dua benalu di depan ku ini.
Kami masuk ke dalam rumah, tanganku di gandeng oleh Ibu. Sedangkan Mas Danang berjalan di depan kami dengan menenteng tas bawaan ku dan memasukkan ke dalam kamar kami yang berada di samping ruang keluarga.
"Kamu pasti capek, Mas ambilkan minum dulu. Kamu duduklah di sofa bersama Ibu." ucap Mas Danang lagi saat sudah keluar dari kamar dan berlalu ke dapur.
Aku dan Ibu duduk bersisian di sofa.
"Gimana kabar Mama mu, Nak. Mama mu sehat kan?." tanya Ibu lembut seraya menatapku.
"Alhamdulillah... Beliau sehat Bu." jawab ku singkat. Mataku lurus ke depan menatap foto yang sebentar lagi aku hancurkan. Foto yang tidak akan pernah aku kenang kembali setelah menghancurkannya nanti. Figura foto pernikahan kami yang terpampang di depan sofa ini.
"Ris...Ehumm Ibu mau minta uang dan belanjaan untuk bulan ini dong, Nak." ucap Ibu mertua seraya membuatku menoleh.
Sudah ku tebak apa yang Ibu mertua inginkan, dan itu sudah biasa sejak dulu. Dulu aku dengan sukarela memberikan apa yang Ibu butuhkan, sekarang jangan harap Bu!.
"Maaf Bu, Riska sudah tidak punya uang lagi. Kan Ibu tahu pemberian uang Mas Danang hanya 1 juta lima ratus. Itu juga kan sudah aku bagi dua sama Ibu." Ku pasang wajah memelas. Aku memutuskan untuk tidak memberikan uang lagi, karena itu bukan tanggungan ku.
"Tapi kan kamu masih banyak uang simpanan." Bahkan Ibu tidak menyerah.
"Maaf, Bu saat ini aku tidak memegang uang." Aku tidak bohong, apa yang aku katakan benar kan, aku tidak memegang uang. Tapi uang ku ada di dalam dompet.
"Tabungan kamu banyak banget Ris, kamu jangan pelit lah sama mertua." Aku mendelik ke arahnya.
"Siapa yang pelit Bu, selama ini kan aku selalu menyokong biaya hidup Ibu. Walaupun anak Ibu tidak pernah memberikan nafkah? kalau Ibu butuh uang, jual saja perhiasan Ibu, gelang, kalung, cincin. Jual saja itu semua. Mulai sekarang Ibu harus terbiasa hidup mandiri. Jangan terus-terusan mengandalkan anak dan menantu. Sebab tidak tahu bagaimana sikap menantu ke depannya." Dada ku naik turun sebab menahan emosi yang ada di dalam sini.
"Perhiasan Ibu tidak akan pernah Ibu jual. Apa kata orang kalau Ibu menjual perhiasan. Ini tabungan Ibu di hari tua." ucap Ibu bersungut-sungut. Sungguh egois perempuan tua ini.
"Bukankah saat ini Ibu butuh uang? kalau tidak mau menjual perhiasan tidak masalah. Yang butuh kan Ibu bukan aku. Keputusan ada di tangan Ibu." aku membuang pandangan ke arah lain, aku jengah dengan semua ini.
Terbuat dari apa hati dan pikiran mertuaku ini? Dia tega dan sampai hati mengkhianati aku di belakang, tapi tidak punya malu untuk meminta sesuatu padaku. Aku benar-benar tak habis pikir.
Selama ini aku terlalu memanjakan nya hingga ia memiliki sifat tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Justru dia lah yang pelit, definisi ingin selalu di penuhi kebutuhan hidupnya tapi tidak ingin berkorban. Padahal dia memiliki sawah. Walaupun tidak luas tapi hasil nya cukup untuk Ibu bisa menabung jaminan hari tua nya karena untuk makan dan lain-lain nya, aku yang selalu mencukupi nya.
"Ada apa ini ribut-ribut?." Mas Danang datang dari dapur mengambilkan segelas air putih untuk ku, tetapi kenapa lama sekali?. Mungkin saja dia habis memberi kabar kepada istri muda nya kalau aku sudah pulang ke rumah.
"Ini loh Nang, istrimu tidak mau ngasih uang dan belanjaan. Padahal kan Ibu sedang butuh uang. Semua kebutuhan Ibu sudah habis." Ibu menatap anaknya dengan sorot mata memelas.
Aku menunggu apa respon Mas Danang saat Ibunya mengadu.
"Bu, Riska kan sudah lama tidak dagang. Pasti dia juga sudah kehabisan uang. Apalagi Mama habis sakit. Untuk mengurus Ibunya juga kan butuh uang, Bu. Ini ada sedikit uang untuk pegangan Ibu." aku terperangah mendengar pembelaan dari Mas Danang, bukan aku jadi simpati kepadanya namun justru aku jadi curiga.
Aku terdiam di tempat duduk dengan mata terus mengikuti pergerakan pria tersebut. Lalu menyimpan segelas air putih di meja.
Mas Danang mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Lalu, sepuluh lembar uang berwarna merah ia sodorkan pada Ibunya.
"Ya Allah....terima kasih banyak, Nang. Semoga rezekimu lancar. Semua hajatmu diijabah." doa ibu dengan mata berbinar-binar. Di raihnya uang yang tergeletak di atas meja itu. Detik berikutnya di ciumnya uang tersebut. Entah apa maksud ia melakukan itu.
"Tapi, ini tidak cukup, Nang. Ibu kan butuh sembako," wajah sumringah kembali redup pendarnya.
"Itu gampang, Bu. Nanti Riska akan ambilkan di toko. Iyah kan Sayang?." ucap Mas Danang menatapku, kubalas dengan mengedipkan bahu. Enak saja, kamu pikir aku akan menuruti apa kemauan mu? No!.
"Ris, kamu jangan pergi lagi biar bisa jualan lagi. Sudah tahu jualan lagi maju malah di tinggal-tinggal." Ibu sewot padaku sebab tidak di kasih apa yang dia minta.
Aku tidak merespon ucapannya. Siapa dia mengatur hidupku? Dulu nasehat atau masukan Ibu tidak pernah aku tentang tapi sekarang akan berubah.
Melihat aku tidak merespon ucapannya, Ibu segera pamit pulang.
***
Kini tinggal kami berdua di sini, jujur keadaan dan suasana seperti ini sudah tidak aku inginkan lagi.
"Sayang, Mas kangen." Mas Danang sudah ada di sampingku, di atas ranjang. Dia mendekatiku, segera kugeser tubuh ini. Mana sudi tubuhku di jamah oleh pengkhianat macam Mas Danang.
"Maaf, Mas. Aku sedang M." Biarlah dia mengartikan lain. Itu istilah yang sering digunakan untuk menyebut menstruasi, padahal M ku di sini malas.
Mendengar jawabanku, raut wajah Mas Danang berubah seketika. Kecewa terpancar jelas di wajahnya. Namun aku tidak peduli dengan itu.
"Sayang, Mas mau ngomong sesuatu." ucapnya setelah sudah menguasai keadaan. Di pandanglah wajahku dengan lekat. Lalu kedua tanganku di tarik dalam genggamannya.
"Apa itu?." aku pura-pura antusias mendengarnya.
"Mas minta uang 50 juta untuk modal usaha. Kemarin Mas di tawari teman untuk di ajak bisnis bareng. Tapi itu syarat nya harus ada uang 50 juta gitu. Mau yah minjemin, Sayang."
.
.
.
Bersambung...
tinggalkan aja suamimu riska......