••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat
"Tuan, bangunlah. Nyonya sudah menyuruh Anda bangun sedari tadi," ujar seorang pelayan dengan nada pelan namun tegas, mencoba membangunkan seorang pria yang masih asyik bergelung di balik selimut tebalnya.
"Pergilah! Jangan menggangguku!" gerutu pria itu tanpa membuka mata. Suaranya terdengar berat, mencerminkan rasa kesal karena tidurnya terganggu.
"Tapi, Tuan, Nyonya meminta saya membangunkan Anda. Mereka menunggu Anda untuk sarapan bersama," balas sang pelayan, tetap sabar meskipun merasa gugup menghadapi sikap keras pria tersebut.
Mendengar hal itu, pria itu bangkit perlahan dari tempat tidur. Dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih setengah tertutup, ia menatap tajam ke arah pelayan tersebut. Tatapan itu cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi.
"Ihh... kau ini berisik sekali! Pergi sana! Tidak bisakah semua orang membiarkan aku tenang, barang sehari saja?" ucapnya dengan nada tinggi, membuat pelayan itu semakin kikuk.
"Tapi, Tuan, Nyonya benar-benar meminta saya untuk...." ucapan pelayan itu terpotong karena pria tersebut tiba-tiba melemparkan bantalnya ke arah lain dengan kasar.
"RADEN!"
Sebuah suara tajam menggema di ruangan itu. Seorang wanita dengan pakaian elegan berdiri di ambang pintu, membawa sebuah nampan di tangannya. Wajahnya tegas, dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan.
"Mama..." gumam pria yang dipanggil Raden itu dengan nada terbata-bata. Ia langsung memalingkan wajahnya, terlihat jelas rasa panik di rautnya.
"Apa ini?!" seru sang ibu sambil memungut bantal yang tadi dilemparkan. Ia menyerahkannya kepada seorang pelayan lain yang berdiri di belakangnya.
"Aku masih mengantuk, Ma. Karena itulah aku kesal saat ada yang mengusik tidurku," jawab Ryan dengan suara rendah, mencoba mencari alasan. Sang ibu melangkah mendekat, tatapannya semakin tajam.
"Mama yang menyuruh mereka membangunkan mu, Raden. Siapa yang mengajarimu untuk berbuat kasar seperti itu pada orang lain? Mama tidak suka dengan sikapmu ini!" ucapnya dengan nada tegas.
"Tidak ada yang mengajariku, Ma. Tapi aku benar-benar mengantuk. Kalau Mama mau sarapan, sarapan saja duluan. Aku sudah dewasa, Mama tidak perlu menungguku lagi," jawab Raya, berusaha meredakan amarah ibunya.
Raden Ryan Andriano Eza adalah pria berusia 29 tahun dengan penampilan yang sempurna. Guratan wajahnya seolah terukir dengan sempurna oleh sang waktu. Rahangnya tegas, kulitnya putih bersih, dan alisnya rapi. Bola matanya berwarna cokelat terang, terbingkai oleh bulu mata lentik yang tidak biasa dimiliki pria Asia kebanyakan. Hidungnya yang mancung menjadi pelengkap kesempurnaan wajahnya, membuat siapa pun yang menatapnya sulit berpaling.
Namun, di balik ketampanannya itu, Ryan memiliki sifat buruk yang sulit diterima orang lain. Ia dikenal egois dan keras kepala. Baginya, apa yang ia katakan harus diikuti oleh semua orang. Ia tidak suka berbagi, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.
Meski begitu, ada sisi lain dari dirinya yang tidak banyak diketahui orang. Ryan sangat patuh pada kedua orang tuanya, terutama pada ayahnya. Ia tidak pernah berani melawan perintah mereka, meskipun sikap keras kepala sering muncul di hadapan orang lain.
"Siapa yang mengajarimu hal seperti ini, Raden? Mama selalu mengajarkan hal-hal baik pada kalian, tapi kau malah berbuat kasar pada Bibi! Padahal, Bibi hanya melakukan apa yang Mama suruh. Dengan alasan kau masih mengantuk, kau melemparkan barang seperti itu? Kau kan bisa tinggal bilang, ‘Iya, Bi, aku akan turun,’ tanpa perlu bertindak kasar!" ujar sang ibu dengan nada tegas, berbicara cepat seperti emak-emak yang tak bisa lagi menahan kekesalannya. Raden menatap ibunya dengan malas, lalu melirik sang ART yang masih berdiri canggung di sudut ruangan.
"Lagipula dia tidak apa-apa, kan, Ma? Iya, kan, Bi?" ujar Ryan dengan santai, mencoba membela dirinya.
Sang ibu, Liu, mendesah panjang. Kekesalannya semakin memuncak. Tanpa menjawab Raden, ia meraih ponsel yang ada di tangan dan segera menelpon seseorang di ujung sana.
"Ya, Sayang, ada apa?" suara pria dari seberang terdengar tenang, kontras dengan suasana di kamar itu.
"Cepat datang ke kamar putramu sekarang juga! Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi pada anakmu ini!" ujar Liu dengan nada penuh emosi.
"Ada apa lagi, Liu?" tanya pria itu, terdengar sedikit bingung.
Liu tidak menjawab. Ia langsung mematikan panggilan dengan gerakan cepat, melempar ponselnya ke sofa terdekat. Suara benda yang jatuh itu membuat Raden merasa semakin tidak nyaman.
"Mama... kenapa malah memanggil Papa?" tanya Ryan dengan nada cemas. Ia memang keras kepala, tapi ketika berhadapan dengan ayahnya, ia selalu merasa terintimidasi.
"Kenapa tidak? Mama heran kenapa semakin dewasa, kau semakin sulit diatur!" balas Liu, kali ini tanpa menatap wajah putranya.
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, Ma. Lagi pula, benar kan? Aku memang sudah dewasa," ujarnya dengan nada kesal. Liu hanya diam, menahan diri untuk tidak melanjutkan perdebatan. Ia memilih membiarkan suaminya yang akan berbicara langsung dengan Raden.
Tidak butuh waktu lama, seorang pria yang sudah cukup berumur muncul di pintu kamar. Rudianto Reza Segara Sudradjat, dengan tubuh tegap dan wajah penuh wibawa, melangkah masuk. Tatapannya penuh tanya saat ia mendekati ranjang putranya.
"Ada apa, Liu?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan ketegasan. Rudianto, meskipun sudah memasuki usia yang tidak muda lagi, masih tampak berkarisma. Rambutnya sedikit memutih di sisi-sisi kepala, menambah aura kebijaksanaannya.
Liu, yang memiliki nama lengkap Putri Liu Ashanty namun akrab dipanggil Liu oleh keluarganya, mendesah berat.
"Tanyakan saja pada anakmu itu. Dia bilang dia sudah tidak mau diatur lagi oleh kita. Aku lelah selalu bertengkar dengannya hanya untuk masalah-masalah sepele seperti ini," ucap Liu, kali ini dengan nada yang lebih lemah, seolah menyerah.
"Kapan aku bicara seperti itu, Ma? Aku tidak pernah berkata seperti yang Mama ucapkan!" balas Ryan, kini tatapannya beralih ke arah ibunya. Wajahnya memerah, menahan emosi yang mulai menguasai dirinya.
Rudianto mengarahkan tatapannya pada Ryan, membuat pria muda itu langsung merasa gugup. Tatapan ayahnya itu begitu tajam, seperti pisau yang mampu menembus lapisan keras kepala Ryan. Ia tahu betul, tatapan itu bukan sesuatu yang bisa ia abaikan.
"Jadi bagaimana, Ryan?" tanya sang ayah dengan nada berat dan tegas. Meskipun kalimatnya singkat, intonasi dan sorot matanya cukup untuk membuat Ryan merasa terpojok.
Ryan menelan ludah, mencari-cari jawaban yang dapat meredam ketegangan. Namun, di hadapan sosok ayahnya, semua alasan terasa kurang masuk akal.
"Aku... aku semalam begadang untuk menyelesaikan pekerjaanku, Pah. Oleh sebab itu aku sangat kesal saat ada yang mengusik tidurku," ucap Ryan dengan nada yang terdengar setengah minta maaf.
Rudianto tidak langsung merespons. Ia hanya menatap putranya dalam diam, membuat suasana semakin mencekam. Liu, yang berdiri di sampingnya, mengambil alih pembicaraan.
"Aku hanya menyuruhnya untuk turun dan sarapan bersama kita, tapi dia malah bertingkah kasar pada Bibi. Dia bahkan berkata dia tidak ingin aku atur lagi karena merasa sudah dewasa. Apa kamu pikir aku salah, Mas? Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk putra-putriku," ujar Liu dengan suara bergetar, matanya mulai memerah menahan emosi.
"Mama... kenapa Mama malah berbicara seperti itu? Aku hanya berkata kalau aku memang sudah dewasa, dan jika kalian ingin makan, makanlah terlebih dahulu. Tidak perlu menungguku," balas Ryan, mencoba memberikan penjelasan yang menurutnya masuk akal.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, suara Rudianto kembali terdengar, kali ini lebih tegas dan penuh wibawa.
"Siapa yang mengusik mu, Ryan? Ibumu hanya menyuruhmu untuk sarapan. Tidak ada alasan bagimu untuk berkata kasar, apalagi bertindak seperti itu. Dan dengar baik-baik, di rumah ini tidak ada istilah ‘aku sudah besar, tidak usah diatur lagi.’ Jangan pernah mengucapkan hal seperti itu lagi, paham, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat?!" Nada suara Rudianto yang meninggi di bagian akhir membuat suasana kamar terasa semakin tegang. Nama lengkap Raden keluar dari mulut ayahnya, tanda bahwa ia sedang benar-benar serius atau marah.
"Kamu pikir bagus berbicara seperti itu pada orang tua yang sudah membesarkan mu selama ini? Jangan mentang-mentang kamu sudah bisa mencari uang sendiri, kamu merasa bisa berlaku tidak sopan pada orang tuamu!" lanjut Rudianto dengan penekanan pada setiap kata, menunjukkan betapa ia tidak main-main dengan peringatan itu.
Ryan menundukkan kepala, menahan lidahnya untuk tidak berbicara lebih banyak. Dalam hati, ia tahu ayahnya benar. Namun, egonya terlalu besar untuk mengakuinya saat itu juga.
Sebagai putra sulung dari keluarga Sudradjat, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat dikenal sebagai pria muda yang tampan dan karismatik. Di lingkungan kerja dan pertemanan, ia biasa dipanggil Ryan, sebutan yang terdengar lebih modern dan kasual. Namun, di dalam rumah, keluarganya selalu memanggilnya Raden. Raden tahu satu hal pasti, jika ayahnya memanggilnya dengan nama lengkap, apalagi di dalam rumah, itu adalah tanda bahwa sang ayah tidak sedang main-main.
"Ingat satu hal. Sebesar apa pun kamu sekarang, orang tua tetaplah orang tua. Hormati mereka, karena tanpa mereka, kamu tidak akan berada di posisimu sekarang," ujar Rudianto dengan suara yang sedikit lebih tenang, namun tetap tegas.
"Tapi aku memang sudah dewasa, Papa. Aku sudah bisa memilih jalanku sendiri. Aku tahu apa yang baik dan apa yang buruk bagiku," balas Ryan, nadanya tetap tegas meskipun ia tahu ucapannya pasti tidak akan diterima begitu saja oleh ayahnya.
Mata Rudianto menyipit, menatap putranya dengan rasa tidak percaya. Ia menggelengkan kepala perlahan, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak.
"Orang dewasa, Ryan, adalah mereka yang tahu bagaimana menghormati orang tua. Kalau kamu benar-benar dewasa, buktikan! Bawa seorang wanita ke sini dan ajak dia menikah. Itu baru yang namanya pria dewasa, bukan hanya bicara besar tanpa tindakan!" ujarnya dengan nada tajam, penuh penekanan. Ryan mengerutkan kening, merasa ucapannya sama sekali tidak dipahami.
"Terakhir kali aku membawa wanita ke sini, kalian yang tidak setuju, kan? Ayolah, Pah. Jangan mengukur kedewasaan seseorang hanya dari hubungan dan statusnya. Itu sama sekali tidak masuk akal," ucapnya dengan nada frustrasi, mengingat kembali kejadian yang membuatnya kesal hingga kini.Liu, yang sedari tadi diam, kini angkat bicara.
"Wanita mana yang kamu maksud? Wanita tidak beretika yang bahkan tidak tahu sopan santun itu? Itu yang kamu bawa ke sini dan kamu harapkan kami terima?" Nada suaranya naik satu oktaf, memperjelas rasa tidak setujunya sejak awal.
"Mama selalu bicara seperti itu tentang dia," ujar Ryan pelan, namun jelas terdengar getir di setiap katanya. Ia menatap ibunya dengan tatapan yang seolah memohon pengertian, tetapi tidak ada tanda-tanda Liu akan melunak.
"Karena dia berbicara berdasarkan fakta, bukan sekadar opini! Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti dia, Ryan? Kami memang ingin kamu membawa seorang wanita ke sini, tapi bukan wanita begajulan seperti itu!" sahut Rudianto, menimpali ucapan istrinya tanpa ragu.
"Mama dan Papa tidak pernah mencoba mengenalnya lebih jauh. Kalian hanya melihat dia dari luarnya saja!" Ryan menaikkan suaranya, meski masih berusaha menjaga agar emosinya tidak meledak.
"Melihat dari luar? Kamu pikir kami tidak tahu? Kami tahu lebih banyak daripada yang kamu kira, Raden!" balas Liu tajam, matanya memicing "Wanita seperti itu hanya akan mempermalukan keluarga kita!" Lanjut nya lagi .
"Mempermalukan? Dia tidak seperti yang Mama pikirkan! Dia hanya..."
"Hanya apa? Hanya butuh waktu untuk berubah? Hanya butuh kesempatan? Raden, dunia ini tidak sesederhana itu! Orang seperti dia tidak akan berubah dengan mudah," potong Rudianto, kali ini nada suaranya lebih rendah, tetapi lebih tajam daripada sebelumnya.
"Apa salahnya memberi dia kesempatan? Kalian bahkan tidak mau mencoba! Dia tidak sempurna, tapi siapa yang sempurna? Apa aku harus mencari wanita yang persis seperti yang kalian inginkan tanpa memikirkan perasaanku?, aku tahu Mama wanita yang sempurna dalam segala aspek, tapi kekasih ku bukan Mama, dia orang yang berbeda. Tidak mungkin dia bisa menjiplak Mama," Ryan membalas dengan nada frustrasi, mencoba mempertahankan argumennya.
"Siapa yang meminta mu mencari wanita yang menjiplak Mama?" jawab Liu yang merasa tidak suka dengan ucapan putra nya itu.
"Dari semua yang terjadi sudah jelas, Mama ingin aku mencari wanita yang sama seperti Mama, yang sesuai dengan keinginan kalian. Bukan keinginan ku!" jawab Ryan, emosinya terasa meledak - lefak saat ini.
"Kamu tidak mengerti, Raden! Ini bukan hanya soal perasaanmu. Ini soal masa depanmu, soal keluargamu. Kamu ingin hidup dengan seseorang yang bahkan tidak bisa menjaga reputasinya sendiri?" Liu balas menyerang.
"Mama hanya mendengar dari orang lain! Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi! Kalian hanya..."
"Jangan membantah, Ryan! Kami ini orang tuamu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu. Kalau kamu tidak mau mendengarkan kami, jangan salahkan kami kalau hidupmu berantakan nanti!," suara Rudianto menggelegar, memotong ucapan putranya.
Ryan terdiam sejenak, giginya terkatup rapat. Ia merasa seperti dihujani serangan dari segala arah tanpa bisa membela diri.
"Jadi kalian ingin aku hidup sesuai dengan harapan kalian, tanpa memikirkan apa yang aku rasakan?" ucapnya akhirnya, suaranya bergetar menahan emosi.
"Kalau harapan itu adalah untuk kebaikanmu, ya, Raden! Kami ingin kamu hidup sesuai harapan kami," balas Liu tanpa ragu.
"Kebaikan yang seperti apa, Ma? Menyuruhku meninggalkan seseorang yang aku cintai hanya karena dia tidak memenuhi standar kalian? Apa itu adil?" Ryan menatap ibunya, matanya penuh dengan luka yang dalam.
"Kadang cinta saja tidak cukup, Ryan, cinta harus dibarengi dengan logika dan realitas. Dan wanita itu, dia bukan bagian dari realitas yang ingin kami lihat untukmu, dia tidak pantas berada di samping mu, ada jutaan wanita yang mengejar mu di luar sana, dan wanita itu bukanlah bagian dari pilihan kita ," jawab Rudianto datar, menatap putranya dengan sorot mata penuh penekanan.
Ryan hanya bisa menunduk. Ia tahu percuma untuk membalas lebih jauh. Dalam keluarganya, suara orang tua selalu menjadi yang terakhir. Tapi di dalam hatinya, perdebatan itu terus bergema, menyisakan luka yang sulit sembuh.
Rudianto tidak ingin mendengar bantahan lagi. Ia menoleh ke arah asisten rumah tangga yang masih berdiri kikuk di ambang pintu.
"Bawa kembali nampan itu ke bawah. Biarkan dia turun sendiri. Jangan terlalu memanjakan anak ini," ujar Rudianto dengan nada tegas sebelum melangkah keluar kamar. Langkahnya terdengar berat, mencerminkan kekesalan yang belum mereda. Liu mengikuti di belakangnya tanpa berkata apa-apa, meskipun raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia masih kesal.
Setelah kedua orang tuanya pergi, Ryan menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, pikirannya dipenuhi berbagai perasaan campur aduk.
"Kenapa mereka selalu menganggap ku anak kecil? Padahal aku sudah dewasa. Dan kenapa juga mereka selalu menyeret-nyeret namanya setiap kali ada masalah?" gumamnya dengan nada frustrasi. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengusir rasa sesak yang terus menggelayuti dadanya sejak pagi itu.
Karena sudah terlalu malas, Ryan akhirnya turun ke ruang makan menggunakan lift yang tersedia di kediaman utama keluarga Sudrajat. Saat ia melangkah masuk, tampak adik bungsunya, sudah sibuk dengan ponselnya, seperti biasa.
"Morning all!" sapa Ryan dengan nada datar sambil mengambil tempat duduk di kursinya yang biasa.
"Selamat pagi juga, Tuan Ryan , kenapa Anda bangun siang sekali? Lelah sekali adikmu ini menunggu kehadiranmu, duhai kakakku yang dingin,"balas suara ceria milik Cantika, gadis berusia 19 tahun yang menyandang gelar sebagai nona muda keluarga Sudrajat.
"Diamlah, kau, Cantika," balas Ryan dengan nada kesal, menatap adiknya yang tampak menikmati momen mengejek dirinya.
"Kalau aku tidak mau diam, bagaimana? Biasanya kau yang selalu marah-marah padaku karena aku bangun kesiangan dan mengataiku tidak disiplin. Lalu sekarang? Apa ini?" Cantika menimpali, nada suaranya penuh dengan nada mengejek.
"Terserah kamu saja. Kalau kamu mau makan, makan saja sendiri. Untuk apa heboh-heboh menungguku? Seperti orang yang tidak punya tangan saja," ucap Ryan, melontarkan komentar pedas yang membuat suasana semakin panas.
"Huh, dasar Tuan Beku! Kalau bicara selalu ingin menang sendiri. Padahal jelas-jelas kamu yang salah," sahut Cantika, merasa kesal karena tidak berhasil memenangkan argumen.
"Sudahlah, cukup, **Alessya Eza Cantika**. Diam dan makanlah, jangan banyak bicara. Ini masih pagi, jangan memancing keributan di rumah ini. Duduk dan makanlah dengan tenang," ujar Rudianto dengan nada geram, tatapannya tajam memandangi kedua anaknya yang terus berdebat.
Cantika langsung terdiam, namun masih sempat memutar bola matanya sebagai bentuk protes. Ryan yang melihat adiknya dimarahi ayahnya justru memanfaatkan momen itu untuk mengejek dengan menjulurkan lidahnya ke arah Cantika.
"Papa, lihatlah Kak Ryan! Dia mengejekku lagi!" Cantika merengek seperti anak kecil, menunjuk kakaknya dengan ekspresi kesal.
Rudianto melirik tajam ke arah Ryan. Hanya dengan tatapan itu, suasana di meja makan langsung berubah hening. Semua orang yang duduk di sana memilih untuk menunduk dan makan dengan tenang, tidak ada yang berani membuka suara lagi. Bahkan suara sendok yang menyentuh piring pun terdengar begitu jelas, seakan-akan seluruh rumah ikut merasakan keheningan yang tiba-tiba tercipta.
Rudianto bukanlah tipe seorang ayah yang kasar. Justru, dia sangat baik di mata anak dan istrinya. Selalu perhatian, selalu berusaha memenuhi kebutuhan mereka, dan dikenal sebagai sosok yang penyayang. Namun, di balik sifat baik dan penuh kasih sayang itu, ada satu hal yang memang sangat dihindari oleh semua orang di rumah itu terutama oleh Ryan dan Cantika.
Satu hal yang sangat dihindari adalah melanggar aturan, sebab Rudianto pernah berkata dengan tegas pada mereka, "***Papah dukung apapun yang kalian lakukan, namun jika kalian melampaui batas, jangan salahkan papah jika papah akan berbuat kasar pada kalian***."
Itulah sebabnya, baik Ryan maupun Cantika, tak pernah berani melanggar aturan yang berlaku di rumah itu. Walaupun terkadang jiwa iseng mereka sering kali berhasil memancing kekesalan kedua orang tua mereka, mereka tetap tahu batasannya. Mereka tahu betul, jika aturan sudah dilanggar, konsekuensinya tidak akan sepele.
Ryan menunduk, merasakan keheningan itu semakin menguar di udara. Namun, sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan situasi itu. Dia sudah merasa lelah dengan suasana yang terkadang membuatnya sesak.
"Aku ada pertemuan dengan klien dari luar, jadi aku pamit duluan," ujar Ryan sembari bangkit dari duduknya, berusaha menyudahi ketegangan yang terjadi di meja makan.
"Tunggu..." Langkah Ryan harus terhenti ketika mendengar suara ibu yang memanggilnya.
"Ya..." jawab Ryan, kebingungannya jelas terlihat di raut wajahnya.
"Tidak ada ucapan selamat tinggal?" tanya Liu, dengan nada yang lembut namun tetap menunjukkan kebiasaan mereka yang sudah lama terjalin. Seperti biasa, Liu selalu berharap mendapat kecupan manis dari putranya sebelum dia pergi.
Ryan tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya pada sang ibu, memberikan satu kecupan lembut di pipi wanita yang paling dia sayangi itu. Sejenak dia melupakan perdebatan nya dengan kedua orang tuanya tadi pagi.
"Aku pergi, mah. I love you," ujar Ryan dengan suara yang lembut, meskipun ekspresinya tetap terlihat dingin. Liu mencium pipi putranya itu dengan penuh kasih sayang, lalu tersenyum.
"Love you too, sayang."
Setelah sesi berpamitan itu selesai, Ryan segera melangkahkan kakinya untuk pergi ke kantor. Meski suasana di rumah masih terasa berat, dia harus segera memimpin pertemuan yang sudah dijadwalkan.