Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Evan Patah Hati
"Apa maksud kamu, saya sebentar lagi akan punya cucu?" William bertanya penuh selidik.
Violet langsung mengatupkan bibir dan memalingkan wajah, sadar kalau ia telah salah bicara. "Bukan apa-apa kok, Om."
"Bukan apa-apa gimana? Purple, jujur sama saya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kamu tahu sesuatu soal hubungan Evan dengan pacarnya?"
Violet menatap William dengan ekspresi sedikit ketakutan. "Om tanya aja langsung sama Kak Evan."
Kening William semakin berkerut. "Berarti memang ada sesuatu, ya?"
"Tapi—!" Violet buru-buru menahan lengan William dan menatapnya dengan memohon. "Tolong jangan marahin Kak Evan, Om."
"Tergantung kesalahan dia apa nanti," sahut William datar.
"Please, Om, jangan… Aku nggak tega kalau sampai Kak Evan sedih," pinta Violet dengan suara memelas.
William mendecak, "Ck, kamu tuh mikirin Evan doang. Sekali-kali mikirin saya, kenapa?"
"Apa, Om?" tanya Violet dengan mata berkaca-kaca.
William yang melihat penampilan kacau Violet hanya bisa menghela napas panjang. Ia tak tega mengomeli gadis itu sekarang, jadi ia pun menghidupkan mesin mobil.
"Wajah kamu kelihatan jelek banget sekarang, jadi lebih baik langsung pulang aja."
Alis Violet bertaut. Ia buru-buru membuka cermin di dashboard atas. Matanya terbelalak saat melihat pantulan dirinya. "Ya ampun! Kenapa muka aku jadi kayak gini?!"
William menyeringai mencibir. "Emang bentukan aslinya kayak gitu kali."
Violet langsung melayangkan tatapan tajam. "Om, jangan godain aku terus dong! Nanti aku nangis lagi!"
"Astaga, nggak, nggak! Kamu masih cantik kok. Udah, jangan nangis lagi, nanti gendang telinga saya pecah." William menghela napas lalu menancap gas, meninggalkan area itu.
"Loh, Pak? Pak! Kok saya ditinggal?! Tunggu!"
Sementara itu, sekretaris William yang baru kembali dari supermarket terperanjat saat melihat mobil bosnya sudah melaju pergi. Ia mencoba berteriak-teriak sambil mengejar, tapi sia-sia.
"Bos kampret…" umpat sekretaris itu dengan suara tertahan.
...----------------...
Saat sore menjelang, festival akhirnya usai. Evan dan teman-temannya keluar dari area acara sambil mengobrol dan tertawa puas, merasa senang karena penampilan mereka hari ini sangat memuaskan.
"Ketemu besok lagi ya, bro!" kata Evan sambil melambaikan tangan pada teman-temannya sebelum mereka berpisah.
Tiin!
Saat berjalan menuju tempat parkir, Evan terkejut mendengar suara klakson dari belakangnya. Ketika menoleh, ia melihat William duduk di balik kemudi mobilnya.
"Papa?" Evan bertanya heran sambil menghampiri. "Papa kok bisa ada di sini?"
"Kebetulan lewat," jawab William dengan santai, menggunakan alasan andalannya. "Ayo makan bareng Papa, ada yang mau Papa bicarakan."
Evan terdiam sejenak, sedikit bingung dengan nada serius ayahnya. "Ya udah, Pa. Tapi aku bawa mobilku sendiri, ya?"
"Oke," William mengangguk, lalu menunggu hingga putranya masuk ke mobil sebelum mereka melaju menuju restoran.
...----------------...
Ayah dan anak itu memilih makan di sebuah restoran Cina. Setelah makanan habis, William akhirnya membuka pembicaraan.
"Bagaimana konsernya tadi? Lancar?" tanyanya, mencoba berbasa-basi.
Evan agak terkejut karena tidak menyangka William akan menanyakan hal itu. Sejauh yang ia tahu, ayahnya sangat tidak suka ia bergabung dengan band, menganggap kalau hal itu hanya membuang-buang waktu.
"Lancar, Pa," jawab Evan bersemangat. "Papa tahu nggak? Tiketnya sampai sold out, loh. Padahal kata penyelenggara acara, mereka sudah menambah kuota dua kali lipat dibandingkan festival sebelumnya, tapi semua tiketnya sudah habis dibeli fans kami." ceritanya dengan bangga.
"Papa tahu," ujar William sambil mengangguk-angguk.
Kening Evan berkerut. "Hah? Kok Papa bisa tahu? Papa kan nggak datang ke festival."
"Eh?" William terhenyak, sadar kalau ia keceplosan. Dengan cepat, ia mengalihkan topik supaya Evan tidak curiga. "Yah, Papa dengar-dengar aja dari orang-orang," kilahnya. Tentu saja, mana mungkin ia bilang kalau sebenarnya tadi datang ke sana demi mengawasi Violet?
Evan tersenyum. Ia sudah terlanjur senang melihat ayahnya tampak mulai perhatian dengan hobinya, jadi ia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. "Papa tenang aja, ya. Meskipun aku ngeband, aku bisa jamin kalau IPK-ku nggak bakal turun dan aku tetap bisa lulus tepat waktu sesuai perintah Papa."
"Yah, kita lihat saja nanti," William mengangkat bahu. "Tapi jangan sampai kamu tiba-tiba menikah gara-gara pacarmu kebobolan duluan."
Evan terdiam sejenak. "Maksud Papa?"
William meletakkan sendok dessert-nya dan menatap putranya serius. "Evan, kamu ingat apa yang pernah Papa bilang waktu kamu mulai pacaran?"
Evan mengangguk. "Jangan melebihi batas. Kalau kamu mencintai pacarmu, jangan merusaknya," ucapnya, menirukan nasihat ayahnya dulu.
"Bagus kalau kamu ingat." William mengangguk puas. "Dan kamu yakin sudah menuruti ucapan Papa?"
"Tentu saja. Papa bisa tanya langsung ke pacarku. Kami nggak pernah aneh-aneh, Pa," jawab Evan yakin.
William menatap putranya penuh selidik. "Yakin?"
Evan tampak sedikit salah tingkah. "Ya… jujur aja, Pa. Aku juga nggak sesuci itu sih. Aku dan Nana memang sering ciuman, pegangan tangan, atau sekadar meraba-raba. Tapi hanya sebatas itu, nggak pernah lebih."
William masih menatapnya tajam. "Yakin nggak pernah sekalipun kamu khilaf?"
"Yakin, Pa. Papa tahu kan kalau aku nggak bisa minum alkohol karena nggak suka baunya? Jadi bisa dipastikan aku selalu dalam keadaan sadar dan nggak pernah sekalipun menyentuh Nana dengan berlebihan," jelas Evan. "Memangnya kenapa Papa tiba-tiba nanya begini?"
William tidak langsung menjawab. Ia meminum jusnya lebih dulu sebelum berkata, "Papa cuma ingin memastikan. Kita sudah lama tinggal terpisah, jadi Papa mau tahu apakah kamu masih ingat ajaran Papa."
"Tentu saja aku masih ingat," Evan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kenapa? Papa nggak percaya sama aku?"
"Papa sih percaya sama kamu, Evan," jawab William. "Tapi, mungkin kamu perlu tanya ke pacarmu."
Punggung Evan langsung tegak. "Maksud Papa?"
"Coba tanyakan saja ke dia."
"Pa, maksud Papa apa sih?"
"Nggak ada salahnya bertanya untuk memastikan kepercayaan, kan? Papa juga ingin tahu apakah perempuan yang kamu pacari sekarang memang layak jadi istrimu kelak."
"Pa! Papa menganggap pacarku nggak layak?!" Evan yang kesal langsung menggebrak meja.
"Bukan itu maksud Papa."
Wajah Evan sudah memerah. "Aku kira Papa sudah berubah! Ternyata sama saja! Papa masih nggak suka dengan semua pilihanku!"
Tanpa menunggu jawaban, Evan bangkit dari kursinya dan langsung keluar dari ruangan itu, membanting pintu dengan keras.
William hanya bisa menghela napas panjang.
...----------------...
Evan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Kata-kata ayahnya tadi masih terngiang di kepalanya, membuat amarahnya semakin membara.
"Apa yang Papa tahu soal Nana, hah? Kami sudah pacaran selama empat tahun, dan Nana itu beda dari cewek lain! Dia nggak pernah aneh-aneh! Huh, Papa memang cuma nggak suka sama semua pilihanku!" cercanya kesal.
Tujuannya kini adalah apartemen Nana, kekasihnya. Ia memarkir mobil di depan gedung apartemen mewah tempat Nana tinggal, sebuah unit yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun Nana beberapa waktu lalu.
Evan melangkah masuk ke dalam gedung dengan tangan menggenggam erat sebuah kotak cincin. Sebenarnya, akhir-akhir ini Nana sering mendesaknya untuk segera menikah. Sayangnya, Evan merasa belum siap karena mereka masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan tetap. Namun, setelah kemarin skripsinya di-ACC dan kafe yang ia kelola sejak awal kuliah mulai menghasilkan omzet yang stabil, ia akhirnya mantap untuk melamar Nana.
Sebenarnya, ia ingin melamar tadi saat konser, tapi sayangnya, Nana pamit lebih dulu karena merasa kurang enak badan.
Dengan hati berbunga-bunga, Evan sampai di depan pintu apartemen Nana. Ia tidak menekan bel, melainkan langsung memasukkan password apartemen untuk memberikan kejutan. Namun, saat masuk ke dalam, justru pemandangan yang mengejutkan menyambutnya.
Di depan pintu, ada sepasang sepatu pria.
Tatapan Evan turun, dan ia melihat jejak pakaian berserakan di lantai. Celana, kaus, pakaian dalam, semua tercecer, membentuk jalur menuju kamar. Jantungnya berdebar semakin cepat.
Dengan langkah berat, ia mengikuti jejak itu hingga ke depan kamar.
"Ahh... ahhh... aku udah nggak tahan, Roy..."
Terdengar suara desahan penuh kenikmatan dari dalam kamar.
"F—! Punyamu sempit banget, Nana!"
Dunia Evan seakan berhenti berputar.
Dengan tangan gemetar dan napas memburu, ia meraih gagang pintu. Dalam satu hentakan kuat, ia membuka pintu kamar.
Mata Evan terbelalak.
Pemandangan di depannya menghantam hatinya dengan keras, menghancurkannya hingga berkeping-keping.
Maklum lah Evan pasti shock liat pengkhianatan Nana & Roy..
Lha kamu sendiri alasan bercerai sama istrimu apa Willi? Jangan² istrimu juga selingkuh kayak kisah cinta Evan & Nana🤔🙄
Sebelumnya, author mau ngucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi para pembaca yang muslim 🥰🙏
Terus.. untuk menjaga kekhusyukan para pembaca dalam beribadah, mulai besok bab selanjutnya akan update setelah buka puasa. Jadi tenang aja, meskipun ada adegan plus plusnya, ga akan bikin batal 🤭
Terimakasih atas perhatian nya...
Dukung terus karya ini dengan kasih like, komen, gift, subscribe, dan lain-lain.
Terimakasih! ❤