Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16
"Entahlah, Mel. Saat ini hatiku sedang bimbang," desah Fahira Hidayati pendek. Amelia menghela nafas panjang.
"Yang membuat kamu bimbang itu apa, Fahira. Ceritakan padaku," kata Amelia. Fahira Hidayati tersenyum menatap Amelia. Fahira Hidayati belum menjawab pertanyaan Amelia. Bola mata Amelia bergerak kesana kemari seperti sedang menerka-nerka sesuatu. Amelia tersenyum. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Fahira Hidayati dan berbisik.
"Ustadz Pahlevi?" tanya Amelia lagi. Lagi-lagi Fahira Hidayati tersenyum. Kali ini seperti setengah dipaksakan. Apa yang kini sedang bergejolak di dalam hatinya terpancar di wajahnya. Amelia mengalihkan pandangannya ke arah santri yang masih berlarian di bawah guyuran hujan. Ingatannya kembali melayang ke saat dimana terjadi kontak mata yang begitu lama antara Fahira Hidayati dan Ustadz Pahlevi. Sebenarnya ia sendiri merasa risih melihat keduanya bertatap maga seperti itu. Status Ustadz Pahlevi sebagai seorang pengajar dan Fahira Hidayati sebagai seorang santri seketika hilang. Ia takut para santri lain pada akhirnya akan tahu apa yang sedang terjadi di antara keduanya. Sebenarnya ia ingin membicarakannya tadi pagi di sekolah. Tapi gagal gara-gara kehadiran Farhan. Saat inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya. Mumpung di dalam kamar itu hanya ada dia dan Fahira Hidayati. Tapi ia harus mencari tahu kebimbangan apa gerangan yang dipendam Fahira Hidayati.
"Kenapa kamu diam. Ceritakan aku apa yang membuatmu bimbang," sambung Amelia ketika melihat Fahira Hidayati masih terdiam. Fahira Hidayati membuka jilbabnya dan melemparnya ke belakang. Keningnya diremas-remasnya kuat. Amelia melihat Fahira Hidayati seperti orang linglung dan kebingungan. Ia merasa khawatir dan cemas dengan tingkah sahabatnya itu.
"Please, jangan buat aku cemas seperti ini, Fahira. Ayo, bicaralah," kata Amelia sambil memegang lengan tangan Fahira Hidayati.
"Kamu pasti tidak akan setuju jika aku mengatakannya kepadamu."
Amelia terdiam. Mencoba menerka-nerka apa gerangan yang sedang dipikirkan Fahira Hidayati saat ini. Amelia mendesah panjang. Ia ragu dengan hasil terkaannya. Ia semakin penasaran.
"Katakan saja dan aku hanya akan mendengarkannya. Semoga saja itu bisa membuat hatimu tenang," kata Amelia.
Fahira Hidayati meraih bantal di belakangnya dan meletakkannya di pintu untuk sandaran punggungnya.
"Aku tersiksa karna terus menyimpan perasaan ini, Mel. Aku yakin Ustadz Pahlevi menyukaiku. Dan dia akan mencintaiku jika aku mengatakan jika aku mencintainya," kata Fahira Hidayati mulai membuka pembicaraannya.
Amelia merasa tidak tahan jika harus diam saja. Ia merasa harus bicara dan memberikan masukan untuk Fahira Hidayati.
"Terlalu dini untuk mengatakannya, Fahira. Kamu masih akan di sini satu tahun lagi. Jika kamu mengatakan isi hatimu pada Ustadz Pahlevi, aku tidak bisa menjamin bahwa hubunganmu tidak akan tersebar kemana-mana. Ingat peraturan pondok, Fahira. Hubungan antara Ustadz dengan santrinya, kedua-duanya akan dihukum pecat. Apalagi saat ini Ustadz Pahlevi sudah berstatus suami orang. Bisa-bisa ijazahmu akan ditahan selama-lamanya oleh pihak pesantren," kata Amelia panjang lebar.
Fahira Hidayati mendesah pendek.
"Itulah alasan kenapa aku tidak mau menceritakannya kepadamu, Mel. Kamu pasti akan menolaknya," kata Fahira Hidayati lemah. Amelia yang merasa bersalah karna telah mengingkari kata-katanya yang hanya akan mendengarkan Fahira Hidayati bercerita segera memeluk Fahira Hidayati.
"Maafkan aku, Fahira. Aku hanya tak mau kamu nantinya mendapat masalah. Lagian, tak elok seorang perempuan terlebih dahulu mengungkapkan peraaaannya kepada seorang laki-laki. Kita punya harga diri, Fahira,"
Fahira Hidayati tersenyum ketus.
"Buat apa harga diri jika harus menyiksa diri, Mel. Lagi pula, untuk orang yang kita anggap baik dan sholeh, tidak ada kata tidak pantas untuk membuatnya tahu bahwa kita mencintainya," kata Fahira Hidayati.
"Tapi aku mohon, jangan kamu lakukan saat ini, Fahira. Bersabarlah hingga pada saatnya nanti kita lulus,"
Fahira Hidayati hanya terdiam. Tapi Amelia tidak menyerah. Ia tidak mau Fahira Hidayati nekat dan membuat masalah untuk dirinya kelak. Ia harus mencegahnya sebisa mungkin.
"Aku mohon, Fahira. Jangan nekat seperti ini,"
"Aku tidak nekat, Mel. Aku hanya menuruti apa yang difatwakan hatiku. Lagi pula, aku tidak punya waktu untuk menunggu selama ini,"
Melihat Fahira Hidayati bersikeras dengan tekadnya, Amelia berdiri. Fahira Hidayati mendongak menatapnya. Ekspresi Amelia seperti orang yang hendak menangis.
"Kamu egois, Fahira. Kamu hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Kamu tidak pernah memikirkan bahwa aku juga ikut tersiksa jika kamu punya masalah. Aku ikut tersiksa jika ada yang membicarakanmu yang buruk-buruk." Amelia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku kecewa sama kamu, Fahira. Aku sudah menuruti apa saja keinginanmu karna kamu aku anggap saudaraku di tempat ini." Amelia terdiam beberapa saat ketika air mata yang ditahannya akhirnya jatuh juga.
"Tapi kalau kamu bersikeras melakukannya, silahkan. Tapi tunggu aku mengurus surat pindahku. Aku tak mau ikut terlibat dalam masalahmu," kata Amelia. Setelah mengusap air matanya, ia langsung beranjak pergi meninggalkan Fahira Hidayati. Fahira Hidayati yang tadinya terbengong-bengong melihat Amelia marah, tiba-tiba tersadar Amelia sudah tidak ada di depannya. Ia segera bangkit dan mengejar Amelia ke kamarnya.
"Kalian lihat Amelia?" kata Fahira Hidayati kepada teman sekamar Amelia yang sedang ngobrol-ngobrol sambil berbaring di dalam kamar mereka. Salah satu dari mereka bangkit.
"Eh, Fahira. Bukankah tadi dia ke kamarmu?" tanyanya balik. Fahira Hidayati mengernyitkan dahinya. Dia masih tidak percaya Amelia menghilang secepat itu. Fahira Hidayati terlihat panik.
"Tadi memang di kamar, tapi sudah pergi. Kalau begitu aku cari ke tempat lain ya. Terimakasih," kata Fahira Hidayati terburu-buru dan langsung berbalik badan melanjutkan mencari Amelia.