Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Di Halte Bus (1)
Malam kelam tak berbintang, langit menampakkan wajah kelabunya menyelimuti bumi dengan keheningan.
Seorang gadis berkaki jenjang terlihat berjalan lurus dengan langkah cepat diantara gelap malam yang hanya di sinari oleh lampu-lampu gantung taman berwarna orange.
Rambut panjangnya yang berwarna emas, membentuk gelombang air laut yang menghempas punggung indahnya, yang disana terdapat beberapa bekas luka yang mulai memudar, namun tertutup oleh dress yang di pakainya. Tak nampak dari penampilannya yang begitu menawan kalau gadis itu sebenarnya sedang melarikan diri dari rumah. Untuk apa juga memperlihatkan penderitaannya kepada seluruh dunia yang tidak peduli dengan siapapun.
Ini adalah malam terakhir gadis bernama Anna itu disini, ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah setelah hampir satu minggu berada di kota asing ini. Anna pergi dari rumah tanpa membawa satu benda apapun selain hanya pakaian yang di pakainya hingga detik ini. Namun tentu dengan perbekalan yang cukup, berupa uang yang jumlahnya tak sedikit di dalam kartu debit card, yang dia ambil diam-diam dari dalam laci meja, di kamar milik Ibunya.
Angin malam berhembus kencang menerbangkan dress mocca model vintage setinggi lutut tanpa lengan yang dikenakan oleh Anna. Dingin menyeruak membangunkan bulu kuduknya yang hanya di lapisi oleh furing tille berwarna cream, yang menutupi seluruh leher hingga pergelangan tangannya. Anna melangkah gontai mengayunkan tas bulat kecil yang menggantung di bahunya, menyusuri jalanan kecil yang ada di antara taman kota.
Langkah Anna terhenti ketika melihat sosok laki-laki yang sedang duduk melengkung menenggelamkan kepalanya dalam-dalam diantara kedua lututnya, nafasnya yang berhembus kasar dan berat mengisyaratkan dengan jelas bahwa laki-laki itu dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Ada sedikit suara isak yang terdengar di antara nafas yang memburu itu. Semakin Anna mendengarkan dengan seksama, maka ia semakin mendapatkan sebuah sinyal kuat yang memancarkan kepedihan yang mendalam.
"Tuan, aura kegundahan anda menyelimuti seluruh alam, sampai-sampai aku tidak mampu mengabaikannya begitu saja."
Anna kemudian bersuara pada laki-laki yang masih enggan mengangkat wajahnya meski telah menyadari kehadiran seseorang di depannya.
"Bolehkah aku duduk menemani anda, tuan?" Anna kembali menyapa.
Walau tidak mendapatkan persetujuan, Anna tetap mengambil tempat duduknya pada bangku panjang yang terbuat dari kayu, tepat di sebelah tubuh lelaki yang di selimuti oleh coat abu, dari brand ternama- Christian Daior. Bahu lebar laki-laki itu terlihat berguncang, meringkuk dalam, menikmati pilu jiwanya.
"Disini dingin sekali, sepertinya hujan akan turun, apa yang sedang anda lakukan disini sendirian, tuan?" Anna terus berucap walau masih tidak di tanggapi.
"Yah, memang suasana dingin seperti ini sangat mendukung jiwa-jiwa yang sedang bersedih. Tapi terlalu menikmatinya bisa mematikan akal sehat. Apakah anda baik-baik saja, tuan?"
Anna berucap begitu jelas seolah mengerti betul dengan apa yang sedang di rasakan oleh lelaki yang suara tarikan nafasnya terdengar begitu menyedihkan.
"Percaya atau tidak, aku bisa mendengar jerit kesedihan yang sedang anda teriakkan dalam kebisuan. Itu mencegahku untuk mengabaikan anda begitu saja. Ini mungkin terdengar tak masuk akal, seandainya aku salah, tentu saja anda akan langsung bereaksi dengan menertawakan aku. Tapi, kelihatannya aku memang tidak salah, anda bahkan tidak terlihat berani menggerakkan kepala hanya untuk menoleh kepadaku."
"....."
"Bicaralah tuan, walau satu patah kata, walau itu bukan kata-kata yang baik, walau itu sebentuk umpatan pun tidak mengapa, aku akan menerimanya, agar hati anda sedikit longgar," Anna terus mencoba memancing laki-laki ini agar mau mengeluarkan sepatah kata untuk menanggapinya.
Anna menghela nafas panjang. Rupanya laki-laki di sebelahnya terlihat masih enggan meresponnya, laki-laki itu justru semakin menenggelamkan wajahnya dalam-dalam dengan kedua tangan yang melingkar di belakang lehernya.
"Hei tuan, mau main tebak-tebakan? Hujan akan turun di awali dengan gerimis atau tidak?" Tanya Anna sambil menekan wajahnya ke bawah sejajar dengan kepala laki-laki itu. "Kalau aku akan memilih hujan dengan gerimis. Karena—"
Langit langsung menjawabnya. Tiba-tiba gerimis turun bersamaan dengan angin kencang yang mendatangkan suara petir di atas langit.
Jgeeer...!
Sebuah kilatan cahaya terang seketika menyinari gelapnya bumi lalu di susul oleh suara petir sekali lagi.
"Oke, anggaplah aku pemenangnya." Sambungnya, dan secara refleks Anna langsung berdiri memayungi kepala lelaki dibawahnya dengan membentangkan ke sepuluh jari-jari tangannya. Ia lupa bahwa dirinya pun butuh berteduh. "Tuan, apa anda ingin menikmati kesedihan di bawah rintik hujan?"
"....."
"Gerimis itu tidak baik bagi hati yang sedang bersedih, rintiknya bisa menambah tekanan emosi di dalam jiwa." Ucap Anna yang masih berdiri menahan rintik air yang jatuh di atas kepala lelaki yang kelihatannya sudah lebih tenang dari sebelumnya, terdengar dari suara nafasnya yang mulai berhembus normal.
"Kalau anda terus berdiam diri disini, bukan hanya hati anda yang semakin sakit, tapi juga fisik anda kemudian. Sebentar lagi sepertinya hujan akan turun deras, apakah anda tidak ingin mencari tempat berteduh, tuan?"
".....'
"Tuan! Bangunlah! Menikmati kesedihan bersama-sama itu jauh lebih baik, mau mencobanya bersamaku?"
Tak henti-hentinya, celoteh Anna menghujani telinga laki-laki yang kelihatannya sudah mulai mengangkat kepalanya perlahan, dan merubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Melihat itu, Anna menjadi kikuk dan menurunkan tangannya segera.
Wajah laki-laki itu mulai menoleh ke atas, lalu mendaratkan pandangannya pada sebuah wajah yang juga sedang memandang kepadanya. Rintik-rintik gerimis yang semakin besar menetes di atas wajah pucat laki-laki itu kemudian meleleh tanpa di usapnya. Matanya yang sembab nampak memerah menyisakan sisa kesedihan di sorotnya.
"Tuan." Lirihnya pelan. Anna tidak bisa berucap lebih dari pada itu setelahnya.
Zaa... Zaa...!
Tanpa aba-aba hujan tiba-tiba turun menghujam bumi.
"Tuan hujan!" teriak Anna cukup keras di sertai panik.
Lelaki yang ada di bawah Anna itupun bangkit seketika, dan dengan sigap langsung meraih jemari dingin Anna, lalu membawanya berlari pergi meninggalkan bangku kosong itu untuk mencari tempat untuk berteduh. Kini jemari Anna tenggelam dalam pelukan erat telapak tangan laki-laki yang satu langkahnya saja sepanjang hampir satu meter, membuat kaki Anna kewalahan menyusulnya.
Anna ingin meminta laki-laki itu untuk berlari sedikit lebih pelan, tapi tentu saja situasi tidak mengizinkannya. Yah, minimal berhenti sejenak supaya Anna bisa melepas heels yang di pakainya, agar memudahkannya untuk berlari sekencang mungkin.
Angin berhembus semakin kencang, sedangkan waktu mendadak berjalan melambat. Setiap detik berdetak mengikuti irama nadi yang berdenyut dalam lingkaran genggaman tangan laki-laki itu. Aroma manis tercium dari tubuh laki-laki yang mengalirkan hawa panas pada kulit mereka yang sedang menyatu. Dapat Anna rasakan setiap gerakan yang semakin mencengkram tangannya itu seolah memberikan sinyal persetujuan untuk berbagi duka bersama.
Mereka berdua berhenti pada sebuah halte bus di pinggir jalan yang sepi. Sepertinya hanya ada mereka berdua saja yang terlihat di sekitar sini. Laki-laki itu langsung melepas tangan Anna ketika sudah sampai pada tujuan, dan merasa ini adalah tempat yang paling aman untuk berteduh.
Anna lalu mengibas dress nya yang cukup basah oleh air hujan. Ia langsung duduk di tempat yang telah tersedia untuk memeriksa tumitnya yang terasa sakit akibat di paksa berlari menggunakan heels bening transparan setinggi tujuh cm. Ada sedikit luka gores ketika Anna memeriksanya.
Tak apalah, yang penting bisa berteduh tepat waktu. Sebenarnya bahaya kalau gaun-nya basah kuyup, bisa menjiplak bentuk tubuhnya dengan sempurna. Anna berterima kasih dalam hati pada laki-laki yang memiliki tengkuk putih, yang di depan sana sedang berdiri membelakangi nya.
"Tuan, duduklah disini! Anda bisa basah kalau berdiri di pinggir sana!" Teriak Anna sedikit kencang agar terdengar jelas oleh laki-laki itu.
Laki-laki itu kemudian membalikkan badannya menghadap Anna walau masih tanpa kata-kata.
"Tuan, duduklah sebelah sini."
Tunjuk Anna, mempersilahkan lelaki tinggi jangkung yang masih berdiri kaku di hadapannya ini untuk segera mengambil tempat duduknya.
Lalu lelaki itupun menuruti ucapan Anna, mengambil tempat duduk tepat di samping gadis yang berceloteh tanpa henti sejak tadi. Kursi panjang yang terbuat dari aluminium cor itu terasa sangat dingin menembus jeans hitam yang di pakainya.
Anna langsung menyunggingkan senyum manis untuk laki-laki berwajah kaku dan datar ini, walau senyumannya tak terbalas Anna tetap lapang dada penuh pengertian, mungkin saja laki-laki ini sedang dalam mood yang tidak baik untuk berpura-pura tersenyum. Anna sangat memahami itu.
Ujung mata Anna melirik ke arah papan informasi yang ada di ujung sana memperlihatkan waktu kedatangan bus terakhir. Waktu datangnya bus masih cukup lama.
Hujan masih turun dengan derasnya membasahi apa saja yang ada di bawahnya, meskipun begitu hujan malam ini tidak menimbulkan suara yang begitu bising, melainkan seperti nyanyian alam yang menyentuh hati, merdu.
Anna mengayunkan kakinya ke atas dan ke bawah mengikuti suara air hujan yang jatuh di atas atap halte bus. Ia sudah tidak tau harus mengeluarkan ocehan apa lagi untuk menghibur laki-laki ini, pasalnya dirinya pun sebenarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Tapi, tak masalah, tidak baik juga memaksa orang lain untuk bicara, tak elok juga jika dirinya terus mengoceh tanpa arti. Anna rasa yang tadi sudah cukup, ia takut jika bicara lebih banyak lagi justru akan mengganggu. Lalu, hujan menjadi lebih deras dari lima menit sebelumnya. Suasana pun menjadi begitu bising. Jalanan menjadi basah di penuhi oleh air yang menggenang menutupi seluruh permukaan aspal dalam sekejap.
Hujan lebat ini tumpah seolah menguras bendungan langit untuk melenyapkan segala kekeringan yang menyakiti bumi selama musim kemarau enam bulan terakhir. Ini adalah hujan pertama yang begitu mistis, sebab setiap kecipak nya di atas tanah yang membisu sanggup menyempurnakan irisan-irisan pedih di setangkup hati yang di bebat luka. Kedua anak manusia yang sedang duduk mematung itu terlihat begitu menikmatinya, melelehkan segala bentuk rasa sakit bersama air yang akan meresap ke dasar bumi.
Semakin lama, hujan semakin reda, jarum air semakin terlihat merenggang, namun tak nampak akan berhenti menghempas bumi. Di sela-sela itu, laki-laki yang enggan membuka mulutnya sejak awal itu mulai tergerak untuk memperdengarkan suaranya pada gadis muda yang terlihat masih menikmati pemandangan hujan di depannya.
"Hei nona, apa yang telah kau lakukan pada orang asing seperti ini adalah tindakan yang terlalu berani, bagaimana kalau aku adalah orang yang jahat?" Katanya dengan fokus yang teralihkan kepada rambut emas milik gadis yang datangnya entah dari mana.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/