Aisha Naziya Almahyra telah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan kekasihnya yang bernama Ikhbar Shaqr Akhdan. Hubungan mereka sudah sangat jauh.
Hingga suatu hari kedua orang tua mereka mengetahuinya, dan memisahkan mereka dengan memasukan keduanya ke pesantren.
Tiga tahun kemudian, Aisha yang ingin mengikuti pengajian terkejut saat mengetahui yang menjadi ustadnya adalah Ikhbar. Hatinya senang karena dipertemukan lagi dalam keadaan telah hijrah.
Namun, kenyataan pahit harus Aisha terima saat usai pengajian seorang wanita dengan bayi berusia satu tahun menghampiri Ikhbar dan memanggil Abi.
Aisha akhirnya kembali ke rumah, tanpa sempat bertemu Ikhbar. Hingga suatu hari dia dijodohkan dengan seorang anak ustad yang bernama Ghibran Naufal Rizal. Apakah Aisha akan menerima perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Ke Makam Ayah
"Apa maksud ucapanmu itu, Ghibran?" tanya Ibunya Ghibran yang bernama Nur.
Ghibran menarik napas berat. Dia harus berterus terang. Syifa juga butuh keluarga yang utuh.
"Aku telah memiliki anak di luar nikah. Saat ini dia berada di panti asuhan. Aku sengaja menitipkan dia di sana, karena aku belum siap untuk berterus terang. Masa laluku jauh lebih kelam dari Aisha. Jika dia korban, aku adalah pelaku," ucap Ghibran dengan perlahan.
Ibu Nur tampak menegang dadanya. Mungkin terasa sesak mendengar pengakuan dari sang putra. Annisa dan Ikhbar sepertinya juga tidak kalah kaget.
Dia selalu beranggapan sang kakak sangat sempurna, jauh berbeda dari suaminya. Namun, kenyataannya sama saja. Bahkan lebih parah.
"Ibu tidak suka candaan kamu, Ghibran."
"Aku tidak sedang bercanda. Aku serius. Aku kemaren pergi bertemu Syifa, putriku. Aku tidak memberi kabar. Aku rasa Aisha marah karena itu. Padahal dia sedang hamil muda, butuh perhatianku. Tapi aku tidak peduli sedikitpun dengannya. Dia pantas marah," ucap Ghibran.
"Ibu tidak mengerti. Tolong kamu katakan apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa memiliki anak, dan itu di luar nikah. Apa kah selama ini kamu hanya berzina tanpa pernikahan?" tanya Ibu dengan suara gemetar.
Ghibran kembali menarik napas. Dia lalu menceritakan semua tentang hubungannya dengan Alya, hingga lahir Syifa.
Ibu Nur tampak syok mendengar semua itu. Tanpa mereka tahu, Ayahnya Ghibran yang bernama Abdul juga mendengar semua yang anaknya katakan.
Tanpa ada yang menduga, ayah mendekati Ghibran dan menampar pipinya. Semua yang ada di sana menjadi terkejut dengan apa yang pria paruh baya itu lakukan.
"Apa yang kamu lakukan? Jika kamu sadar telah melakukan kesalahan, kenapa kamu tidak mencoba memperbaikinya? Anak itu tidak salah. Kenapa kamu sembunyikan? Dia juga memiliki hak untuk berada dalam keluarga yang utuh," ucap Abdul dengan suara lantang.
"Maafkan aku, Ayah. Aku tahu semua ini salah. Aku sudah berencana membawa Syifa setelah aku menikah," jawab Ghibran.
"Jadi tujuan kamu menikah hanya untuk mencari wanita yang bisa menjaga anakmu?" tanya Ayah Abdul dengan suara lantang.
"Bukan begitu, Ayah. Aku mencintai Aisha. Itu alasan aku menikahinya," balas Ghibran.
"Jika kamu mencintainya, pasti jujur dari awal tentang keberadaan Syifa. Dan apa yang terjadi, kamu melupakan dia. Kamu ingin mengulang kisah lama. Aisha pergi saat hamil, dan kamu ingin nanti anakmu hadir tanpa ibu lagi?" tanya Ayah Abdul.
Ghibran menggelengkan kepalanya. Tidak ingin berpikir buruk. Dia tidak akan siap jika harus kehilangan lagi. Pria itu langsung berdiri. Berjalan meninggalkan semua di ruang keluarga itu.
"Mau kemana kamu?" tanya Ayah Abdul dengan suara lantang.
"Aku harus mencari Aisha," jawab Ghibran dengan terus berjalan.
Setelah kepergian Ghibran, Annisa dan Ikhbar pamit. Ibu Nur segera masuk ke kamar. Menangis karena tidak percaya jika putranya memiliki masa lalu yang kelam. Pantas sang putra mau menerima Aisha, pikirnya dalam hati. Rasanya dia tidak percaya dengan semua kenyataan ini. Putranya yang selalu baik dan mendengar semua ucapannya, ternyata menyimpan rahasia yang besar.
**
Di tempat lain, Aisha baru saja sampai di desa tempat kelahirannya. Air mata masih terus membasahi pipinya. Matanya terlihat sembab dan bengkak. Sepanjang perjalanan hanya menangis saja.
Aisha memegang perutnya, teringat jika dirinya saat ini sedang dalam keadaan hamil. Dia tidak boleh banyak berpikir. Harus ikhlas dengan apa yang terjadi.
Setelah mendapatkan penginapan dan membersihkan dirinya, Aisha pergi ke kuburan sang ayah. Dia sangat merindukan sang ayah.
Sampai di makam sang ayah, dia membersihkan kuburan. Menaburkan bunga di atasnya. Setelah itu Aisha membaca banyak doa untuk ayahnya.
Cukup lama berdoa, Aisha akhirnya selesai. Dia memegang nisan sang ayah. Bicara dengan kuburannya.
"Ayah nyaman kan di sana? Di sini berbeda tanpa ayah. Tapi, aku akan kuat dan gak mau buat ayah di sana sedih. Kepergianmu membuatku mengerti bahwa rindu yang paling menyakitkan adalah kerinduan seseorang yang telah tiada. Namun, kepergianmu pun mengajarkan bahwa Tuhan selalu ada untuk mendengarkan segala doa dan harapan," ucap Aisha dengan air mata terus mengalir membasahi pipinya.
"Ayah, tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan sosok sepertimu di hatiku. Waktu terasa cepat berlalu, engkau telah lama pergi. Namun, semua kenangan darimu senantiasa abadi di hatiku. Seandainya waktu dapat diulang, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu. Ayah, datanglah ke mimpiku, aku sangat ingin bertemu denganmu. Mungkin melalui mimpi kita bisa bercerita banyak seperti dulu? Atau setidaknya aku ingin memastikan bahwa Ayah di sana tidak kesepian seperti aku di sini. Untukku tak apa, aku dapat membiasakan diri dari semua ini. Namun, semoga engkau telah nyaman di sana."
Setelah cukup lama berada di makam sang ayah, Aisha akhirnya kembali ke penginapan, karena magrib sudah menjelang.
Sampai di penginapan, Aisha segera mandi dan melaksanakan solat magrib. Sehabis solat, wanita itu mengaji hingga waktunya solat isya.
Aisha membaringkan tubuhnya. Beristirahat, karena tubuhnya sudah terasa sangat lelah. Wanita itu memegang ponselnya, rasanya ingin mengaktifkan. Namun, dia takut goyah jika Ghibran menghubungi. Dia masih butuh waktu jauh dari sang suami.
"Mas Ghibran, aku ingin mengatakan bahwa aku merindukanmu. Tapi, itu tidak akan mengubah apa pun. Jadi, aku hanya memendamnya dan berpura-pura tidak merindukanmu. Mengapa kau jadikan cintaku ini seperti kembang api, yang bersinar indah dan tidak tahan lama. Andai waktu bisa aku putar kembali, aku lebih milih gak pernah kenal sama kamu. Ku kira kau juga jatuh cinta, ternyata tidak. Kau hanya bercanda, seharusnya aku tertawa, bukan malah jatuh cinta."
Sementara itu di apartemen, Ghibran tampak sangat kusut. Seharian ini dia telah mencoba mencari keberadaan sang istri, tapi tak ada hasil.
Ghibran juga telah mencari ke rumah tempat tinggal Aisha dulu, tapi dia juga tidak berada di sana. Pria itu menarik rambutnya frustrasi.
"Aku marah karena tak bisa menghentikan penyesalanku, aku marah karena tak ada lagi yang membujukku untuk tenang. Dengan penuh harap aku menunggumu, seperti gedung pencakar langit yang tak mampu menembus indahnya awan. Tetapi aku sadar, bahwa aku sedang menunggu sesuatu yang tak pasti dan tak akan tergapai. Penyesalanku adalah menyia-nyiakan perasaanmu yang begitu tulus untukku."
...----------------...