Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Amara dan Mas Radit memasuki rumah, suasana hening menyambut mereka. Di ruang tamu, Dewi dan Yuna duduk berdampingan, sedang asyik berbincang. Senyum tipis terukir di wajah mereka, namun di balik senyum itu, tersembunyi amarah dan kebencian yang membara.
"Amara... ," sapa Dewi, suaranya terdengar lembut, namun matanya memancarkan tatapan tajam. "Kamu sudah pulang? Bagaimana keadaan Ayahmu?"
Amara hanya mengangguk lemah, matanya tertuju pada Dewi dan Yuna. Dia bisa merasakan kebencian yang terpancar dari tatapan mereka.
"Ayahku sudah sadar," jawab Amara, suaranya terdengar datar. "Kondisinya sudah membaik."
"Syukurlah," kata Yuna, suaranya terdengar manis, namun matanya tetap tajam. "Semoga Ayahmu cepat sembuh."
"Ya, semoga," jawab Amara, suaranya terdengar dingin. Dia bisa merasakan kebohongan yang terpancar dari ucapan mereka. Mereka berpura-pura peduli, padahal di dalam hati mereka, mereka sangat bahagia melihat ayahnya sakit.
"Mas Radit...," sapa Dewi, suaranya terdengar lembut, namun matanya tetap tajam. "Terima kasih sudah menemani Amara. Kamu baik-baik saja kan?"
Mas Radit hanya mengangguk, matanya tertuju pada Dewi dan Yuna. Dia bisa merasakan kebencian yang terpancar dari tatapan mereka.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Mas Radit, suaranya terdengar dingin. "Terima kasih."
"Mas Radit...," kata Yuna, suaranya terdengar manis, namun matanya tetap tajam. "Kamu mau minum? Aku akan buatkan."
"Tidak usah, Yuna," jawab Mas Radit, suaranya terdengar dingin. "Terima kasih."
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum tipis terukir di wajah mereka. Mereka bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari Mas Radit. Mereka tahu, Mas Radit bisa merasakan kebencian mereka.
"Amara...," kata Dewi, suaranya terdengar lembut, namun matanya tetap tajam. "Kamu mau makan? Aku sudah masak."
"Tidak, terima kasih, Dewi," jawab Amara, suaranya terdengar dingin. "Aku sudah makan di rumah sakit."
"Oh, begitu," kata Dewi, suaranya terdengar manis, namun matanya tetap tajam. "Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja. Besok kamu harus bekerja kan?"
"Ya, besok aku harus bekerja," jawab Amara, suaranya terdengar dingin. "Aku pamit istirahat dulu."
Amara melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Dewi dan Yuna yang masih duduk di ruang tamu. Mereka saling berpandangan, senyum tipis terukir di wajah mereka.
"Dia sudah mulai curiga," bisik Dewi, suaranya terdengar dingin. "Kita harus lebih berhati-hati."
"Tenang saja, Dewi," jawab Yuna, suaranya terdengar manis, namun matanya tetap tajam. "Kita akan selalu bisa mengendalikannya."
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum tipis terukir di wajah mereka. Mereka tahu, mereka akan selalu bisa mengendalikan Amara. Mereka akan selalu bisa menghancurkan hidupnya.
"Dia tidak akan pernah bisa bahagia," bisik Dewi, suaranya terdengar dingin. "Dia akan selalu menderita."
"Ya, dia akan selalu menderita," jawab Yuna, suaranya terdengar manis, namun matanya tetap tajam. "Dia akan selalu menjadi budak kita."
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum tipis terukir di wajah mereka. Mereka tahu, mereka akan selalu bisa mengendalikan Amara. Mereka akan selalu bisa menghancurkan hidupnya. Mereka akan selalu menjadi penguasa dalam hidupnya.
*****
Amara menutup pintu kamarnya dengan pelan, lalu berbalik dan menghela napas panjang. Rasa lelah dan kekhawatiran masih menyelimuti dirinya, namun di balik itu semua, ada rasa syukur yang mendalam. Ayahnya masih hidup.
Dia melangkah menuju sudut kamar, tempat sajadahnya terhampar. Dengan langkah gontai, dia menjatuhkan diri, lalu berwudhu. Air dingin membasahi wajahnya, sedikit menyegarkan pikirannya yang lelah. Setelah selesai, dia menundukkan kepala, khusyuk berdoa.
"Ya Allah, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," lirihnya, suaranya bergetar, dipenuhi harap dan kekhawatiran. "Sembuhkanlah Ayahku. Berikanlah kesembuhan yang sempurna bagi Ayahku. Lindungilah Ayahku dari segala penyakit dan bahaya."
Air matanya mulai menetes, membasahi pipinya. Dia merasakan kepedihan yang dalam, namun di saat yang sama, dia juga merasakan kekuatan doa yang mengalir dalam dirinya.
"Ampunilah dosa-dosa Ayahku, dan terimalah amal baiknya," lanjutnya, suaranya semakin lirih, "Ya Allah, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku mohon, kabulkanlah doaku."
Doanya terhenti sejenak, hatinya dipenuhi rasa cemas dan khawatir. Dia teringat wajah ayahnya yang pucat pasi, terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia sangat takut kehilangan ayahnya.
"Ya Allah," lanjutnya, suaranya bergetar, dipenuhi harap dan keputusasaan, "Engkau Maha Mengetahui segala isi hati. Sadarkanlah hati Mba Dewi dan Mba Yuna. Bersihkanlah hati mereka dari rasa benci dan dengki. Bimbinglah mereka ke jalan yang benar."
Doanya untuk Mba Dewi dan Mba Yuna diiringi dengan rasa sakit dan amarah yang terpendam. Dia sangat kecewa dengan sikap mereka yang tega membiarkan ayahnya menderita.
"Ya Allah, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," lirihnya, suaranya bergetar, "Ampunilah dosa-dosa mereka, dan terimalah amal baiknya. Ya Allah, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku mohon, kabulkanlah doaku."
Amara terus berdoa, memohon kepada Tuhan untuk kesembuhan ayahnya dan untuk kebaikan hati Mba Dewi dan Mba Yuna. Dia yakin, Tuhan akan mendengarkan doanya. Dia yakin, Tuhan akan mengabulkan permohonannya.
Setelah selesai berdoa, Amara terduduk di tepi ranjang, matanya terpejam. Dia merasa tenang, hatinya dipenuhi rasa damai. Dia yakin, Tuhan akan selalu menyertainya. Dia yakin, Tuhan akan selalu menjaganya.
"Ya Allah, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," lirihnya, suaranya penuh harap, "Aku mohon, lindungilah aku dan keluargaku. Berikanlah kami kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi segala cobaan. Ya Allah, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku mohon, kabulkanlah doaku."
Amara tertidur dengan tenang, hatinya dipenuhi rasa damai dan harapan. Dia yakin, Tuhan akan selalu menyertainya. Dia yakin, Tuhan akan selalu menjaganya.
*******
Amara terduduk di tepi ranjang, matanya terpejam. Dia merasakan ketenangan yang menyelimuti hatinya setelah berdoa. Namun, rasa khawatir dan ketakutan masih mengintai di balik ketenangan itu.
"Amara, kamu harus kuat," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya sedikit bergetar. "Ayahmu butuh kamu. Kamu harus kuat untuknya."
"Aku harus kuat," ulangnya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih lantang, "Aku harus bisa melewati semua ini. Aku harus bisa menolong Ayah."
Dia membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya. "Aku harus percaya," bisiknya, matanya berkaca-kaca. "Aku harus percaya bahwa Ayah akan baik-baik saja. Aku harus percaya bahwa Tuhan akan selalu menyertaiku."
Amara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Aku bisa," bisiknya, matanya terpejam kembali. "Aku bisa melewati semua ini. Aku akan selalu ada untuk Ayah."
Dia memejamkan matanya, berusaha untuk terlelap. "Aku harus kuat," gumamnya dalam hati. "Aku harus kuat untuk Ayah".
Amara tertidur lelap, namun mimpinya dipenuhi dengan kegelisahan. Dia melihat ayahnya berjalan menjauh, menuju sebuah tempat yang gelap dan sunyi. Ayahnya tampak kecil dan rapuh, seperti bayangan yang perlahan menghilang.
"Ayah...!" teriak Amara dalam mimpinya, suaranya bergetar. "Ayah, jangan pergi!"
Dia berlari mengejar ayahnya, namun semakin dia berlari, semakin jauh ayahnya. Ayahnya seperti terhisap ke dalam kegelapan, meninggalkan Amara sendirian.
"Ayah... Ayah... ," teriak Amara, suaranya semakin keras, "Jangan tinggalkan aku!"
Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. "Ayah... ," lirihnya, suaranya bergetar. "Ayah... ,"
Mas Radit yang terbangun karena teriakan Amara, langsung menenangkannya. "Amara... Tenang... ," bisiknya, "Hanya mimpi. Hanya mimpi."
"Ayah... ," Amara terisak, "Ayah... ,"
"Tenang, Amara," kata Mas Radit, "Itu hanya mimpi. Ayahmu baik-baik saja."
"Tapi... Ayah... Dia... ," Amara terisak, "Dia pergi... ,"
"Tenang, Amara," kata Mas Radit, "Itu hanya mimpi. Ayahmu baik-baik saja. Dia ada di rumah sakit."
Mas Radit memeluk Amara erat-erat, berusaha menenangkannya. "Tenanglah, Amara," bisiknya, "Itu hanya mimpi. Ayahmu baik-baik saja. Dia akan sembuh."
Amara terdiam, air matanya masih mengalir deras. Dia masih merasa takut dan cemas.
"Amara... ," kata Mas Radit, "Kamu harus kuat. Ayahmu butuh kamu. Kamu harus bisa melewati semua ini."
Amara mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia tahu, Mas Radit benar. Dia harus kuat untuk ayahnya.
"Terima kasih, Mas," lirihnya, "Aku... Aku takut... ,"
"Tenang, Amara," kata Mas Radit, "Aku akan selalu ada untukmu."
Mas Radit memeluk Amara erat-erat, berusaha menenangkannya. Amara tertidur kembali, hatinya dipenuhi rasa takut dan cemas, namun juga rasa syukur karena Mas Radit selalu ada untuknya.