Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15
Aku kembali mendatangi Trio di tahanan, selain ingin membicarakan kisah tentang kemarin, aku juga tiba-tiba ingin minta maaf karena mungkin semuanya memang gara-gara ulahku sehingga sekarang keluarganya harus di bui. Meski memang mereka jahat kerana sering mempermainkan perempuan lainnya juga selain aku, tapi tetap saja aku merasa bersalah, pada Trio khususnya. Aku tidak mau terlibat lagi dengan semua kehidupan Trio, meski berat, akan tetap kulakukan. Bukankah ini demi kebaikan bersama.
Aku duduk di hadapan Trio, ia terlihat lusuh dan tidak terurus, kumis dan janggutnya mulai tumbuh, matanya merah seperti menahan lelah, ia juga semakin kurus.
"Ada apa?" katanya tidak lagi basa-basi.
"Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Kak, aku ke sini mau minta maaf."
"Untuk apa?"
"Semuanya."
"Aku yang makasih sama kamu." katanya bersuara ketus.
"Kok, kenapa?"
"Aku sebetulnya tidak tertarik dengan semua yang diperintahkan ibu, untuk mengelabui perempuan-perempuan itu. Tapi paksaannya tidak bisa kutolak. Aku tidak bisa jadi diri sendiri, aku sebetulnya ingin bebas dari zona itu. Tapi mau gimana lagi." ia tersungut.
"Kakak gak pernah mengatakan itu sama ibu?" tekanku.
"Sudah, tapi malah dipukulin sama om. Ah, rumit kalau dijelaskan." Trio sambil mengingat-ingat.
"Kakak tidak mencoba pergi dari rumah dan kerja halal."
"Sudah pernah, tapi dicari dan diteror habis-habisan. Pokoknya aku tidak tenang." mendengar penuturannya jujur aku simpati, tapi bagus jika memang Trio mengakui.
Sejak saat itu aku jadi paham kondisi bahwa tidak semua orang jahat itu atas kemauannya sendiri. Aku jadi merasa iba pada kehidupan Trio yang selanjutnya, apakah kelurganya akan memaksa untuk kembali melakukan kejahatan demi kesenangan yang sementara. Sedangkan Trio sudah ingin bertaubat dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Lia menyimak setiap ceritaku, semua hal tentang Trio dan beberapa kali pertemuan selanjutnya kututurkan pada Lia. Menurutku Lia lebih matang, ia memiliki pola pikir yang cerdas, tidak plin-plan dan juga memiliki pengendalian diri yang cukup baik.
"Terus kamu percaya?" katanya membuatku sedikit kecewa karena tidak ada nada dukungan di sana. Seratus persen Lia tidak simpati sedikit pun pada keadaan Trio, baginya yang jahat tetatlah sebuah kejahatan yang tidak boleh diberi pengampunan sebelum mengenai hukuman. Aku tahu Lia terlalu tegas, meski sangat muda, prinsipnya terlalu kuat.
"Tidak salah, kan?"
"Iya, memang tidak salah. Tapi coba kamu pikir balik lagi bagaimana dulu dia memperlakukan kamu." Lia memang penuh logika. Akun tidak bisa menyerang.
"Hemh, ..." melihat wajahku yang tiba-tiba murung, Lia memiliki inisiatif untuk mengajakku ke mall sepulang sekolah. Sekalian nongkrong menghabiskan waktu berdua.
"Tenang, nanti aku telepon ibumu, ada pak Agus juga, kan?" ujarnya meyakinkan.
Kami berjalan di koridor menuju keramaian pusat. Memasuki toko baju branded khusus remaja atau baru dewasa. Lia terlihat antusias, ia memang suka sekali menghamburkan uang dengan belanja barang mahal.
"Di sini langgananku." ucapnya santai. "Pasti dapet discount," sambungnya lagi sambil berbisik. Aku mengernyitkan dahi merasa bingung. Anak SMA berlangganan di toko branded, sedangkan aku hanya sering belanja di pinggir jalan atau tokok di pasar. Jarang membeli baju bermerek karena berpikir sayang duitnya, toh kalau baju mau mahal atau murah, ujung-ujungnya akan dibuang juga. Beda dengan sepatu atau tas yang bisa dijadikan investasi.
Memilih dan memilah baju kesukaan untuk dibayari lalu pergi ke salah satu cafe di dalam mall untuk menenangkan pikiran bersama Lia. Ini adalah kali pertama aku benar-benar jalan bersama teman dekat.
"De," usai duduk bersama di bangku bulat dan menikmati makanan ringan serta minuman berkafein, Lia mengajak kembali mengobrol.
"Apaan?"
"Maaf ya, kalau kamu kecewa."
"Soal apa?" aku belum memahami.
"Tentang Trio. Jawabanku tadi siang tidak sesuai dengan yang kamu ingin dengar, kan?"
"Iya sih."
"Aku cuma takut kamu terjebak lagi. Tidak semua orang yang terlihat baik itu benar-benar baik. Dan kamu harus belajar dari kesalahan yang dulu. Jangan terjebak dengan situasi."
"Aku paham." wajahku mulai serius memahami apa yang sudah Lia lontarkan barusan.
"Janji ya," Lia sampai mengajakku shoping dan makan di luar hanya demi menyampaikan kalimat pendek yang menurutku sama sekali tidak penting. Ia melakukannya penuh hati-hati khawatir aku salah tangkap. Padahal aku biasa saja, aku hanya berpikir, Lia tidak mengenal Trio, jadi wajar jika ia menerka-nerka bagaimana sikap Trio yang sebenarnya.
Hari sudah mulai sore,.Lia mendapat pesan pribadi dari ibu untuk mengontrol kebersamaannya denganku, Lia langsung meminta kami Selfi lanjut dengan permohonan maaf dan akan mengantarku pulang saat ini juga karena katanya, kami sudah cukup menghabiskan waktu berdua. Pak Syarif sudah pulang sejak tadi begitu juga pak Agus, hanya saja yang dihubungi oleh Lia adalah pak Agus, katanya sekalian akan mengantarku karena yang mengajak adalah Lia sehingga ia akan bertanggung jawab mengantarku dala keadaan selamat sampai ke depan rumah.
kami terdiam sejenak di dalam mobil, tidak ada satu kalimat pun yang terlontar, Lia juga terlihat sangat lelah, ia sesekali.menatap layar ponsel untuk menghilangkan kejenuhan. Jujur saja melihat sikapnya membuatku tidak enak rasa,.apakah hanya demi menyenangkanku Lia sampai kecapek-an.
"Maaf ya Li," mendengarku Lia sontak kaget dan menoleh.
"Kenapa, apa ada masalah?" katanya dengan nada panik.
"gara-gara aku kamu lelah banget keliatannya."
"Ya ampun, biasa lah. Namanya juga abis jalan-jalan. Bukan gara-gara kamu kok. Besok kalau ada waktu kita belanja lagi, gimana?"
"Ah, nanti hanya menambah beban pikiranmu saja."
"Berlebihan!" pak Agus melaju dengan kecepatan standard, kami menikmati setiap perjalanan dengan musik positive vibes yang sengaja diputar pak Agus. Mall yang kamu singgahi. Memang agak jauh dari rumah ditambah menjelang malam memang jam pulang kerja sehingga jalan Aya padat dan sedikit macet.
Berteman dekat dengan Lia adalah anugrah luar biasa yang baru kunikmati. kejadian lampau yang telah kulakukan memberikan hikmah luar biasa termasuk dekat dengan seorang teman yang tulus. Ia mungkin kasihan melihatku yang kesepian, itu sebabnya ia memilih untuk menjadi teman yang baik di setiap situasi sehingga aku tidak lagi melakukan kesalahan fatal yang sama yang mengorbankan banyak pihak.
"Kamu baik-baik, ya. Kalau ada masalah cerita, jangan dipendam sendiri." pesan Lia beberapa waktu lalu membuat aku terharu. Apakah ia memang se-perhatian itu?
"Iam fine, kamu liatnya gimana?"
"Ya aku cuma khawatir aja. Kamu, sekarang udah tidak sendiri. Kan, ada aku." paksa Lia. Aku perlu berterima kasih pada keadaan, karenanya aku bisa mendapat lebih banyak cinta.