Salahkah seorang istri mencintai suaminya? Walau pernikahannya karena perjodohan kedua orang tua mereka berdua. Tentu tidaklah salah!
Aurelia, gadis desa yang baru saja menyelesaikan sekolah tingkat atasnya, dia langsung jatuh cinta pada calon suaminya Dhafi Basim, pria dari desa yang sama tapi sudah lama pindah dan tinggal di Ibu Kota. Namun, apa yang terjadi setelah mereka menikah, lalu Dhafi memboyong Aurelia untuk tinggal di Jakarta?
"Ampun .. Mas Dhafi, maafkan aku ... ini sakit," teriak Aurelia kesakitan saat tali pinggang suaminya menghujami seluruh tubuhnya.
"Dasar istri kampungan!" maki Dhafi.
Cinta membuat orang buta, begitulah Aurelia wanita yang polos. Berulang kali menerima siksaan dari suami, namun dia tetap bertahan. Tapi sampai kapankah dia bertahan? apalagi suaminya juga berkhianat dengan sepupunya sendiri. Mungkinkah ada sosok pria yang lain menolong Aurelia? Ataukah Aurelia berjuang sendiri membuat suaminya membalas cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sanggahan Dhafi
Rumah Dhafi
Kakek Dwi menyeruput kopi pahit yang biasa dibuat oleh Bu Hana, Dhafi yang sudah menyusul kakeknya masuk ke dalam rumah terlihat gelisah dalam duduknya, apalagi masih merasakan denyutan di pangkal pahanya. Tak lama kemudian Ayah Jafri ayah dari Dhafi turut bergabung duduk di ruang tengah bersama mereka.
“Sepertinya kelakuan masa mudamu menurun ke anakmu, Jafri!” tegur Kakek Dwi. Pria paruh baya itu yang baru saja menjatuhkan bokongnya ke atas sofa dengan membawa segelas kopi yang dibuat istrinya, menegakkan kepalanya dan menatap putranya.
“Kakek salah paham, aku tidak seperti ayah Kek, demi Allah ... aku berani bersumpah,” sanggah Dhafi tidak mau mengakuinya.
Pria tua itu mengangkat salah satu kakinya dan bertumpu disalah satu kaki yang lainnya, sudut bibirnya miring sebelah seakan mencebik. “Kakek sudah 70 tahun makan asam garam di dunia ini, tidak perlu kamu menyanggah, Kakek akan mengetahui sendiri walau kamu menutupinya. Karena dari sorot matamu terlihat berbeda saat menatap sepupunya Aurelia. Dan dari gesture tubuh istrimu juga menunjukkan kalau rumah tanggamu ada sesuatu yang disembunyikan,” imbuh Kakek Dwi tenang, tapi runtutan katanya penuh penekanan.
Dhafi mengusap tengkuknya dan berusaha tidak terpancing dengan dugaan, harus tetap tenang serta tidak emosi.
Ayah Jafri yang sedari tadi mendengar, akhirnya buka suara. “Jangan melakukan kesalahan yang pernah Ayah lakukan, hanya karena nafsu sesaat akhirnya tergoda dengan wanita lain. Ayah tahu pernikahan kalian karena dijodohkan, tapi paling tidak selamilah karakter istrimu, jika hatimu tetap tidak bisa menyukainya baru pilih jalan yang terbaik. Tapi bukan menduakan istrimu saat masih ada ikatan pernikahan, itu sama saja kamu pria bajingan!”
Lagi-lagi Dhafi berusaha terlihat tenang. “Kakek, Ayah ... sumpah demi Allah aku tidak ada main dengan saudara Aurelia. Kakek dan Ayah bisa bertanya langsung sama Faiza,” balas Dhafi berusaha agar kedua pria tua tersebut percaya dengan omongannya.
“Jangan bawa-bawa nama Allah, nanti dirimu akan kena musibah jika sumpahmu itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Lagi pula Kakek juga mau pikir ulang masalah bagian warisan buat kamu. Mungkin ada baiknya Aurelia saja yang dapat bagian tanah perkebun punya Kakek, dari pada buat kamu, sudah mulai bertingkah,” ucap Kakek Dwi sembari menyeruput kopi pahitnya.
“Gak bisa begitu dong Kek, Aurelia hanya cucu menantu, bukan cucu kandung. Aku bisa meyakinkan kepada Kakek kalau aku tidak ada main sama Faiza, dan tak pernah menduakan Aurelia,” tukas Dhafi akhirnya terpancing juga. Pria itu bangkit dari duduknya lalu mencari keberadaan Faiza, kemudian tak lama dia kembali ke ruang tengah dengan memegang pergelangan tangan Faiza. Wanita itu tampak bingung kenapa dirinya digiring ke sana.
“Kakek, ini Faiza ... Kakek bisa bertanya langsung padanya kalau aku dengannya tidak ada hubungan apapun. Demi Allah.” Kembali lagi Dhafi bersumpah di hadapan Kakek Dwi agar semakin yakin, tapi Kakek Dwi justru tersenyum miring saat menelisik mereka berdua. Sementara Ayah Jafri menghela napas panjang melihat anaknya belum melepaskan pergelangan tangan Faiza, tanpa banyak berkata sudah jelaskan!
“Jafri lihatlah anakmu itu, persis sekali denganmu, kita tinggal menunggu bukti yang lebih nyata lagi!” kata Kakek Dwi begitu tenang, lalu pria tua itu bangkit dari duduknya, sedangkan Ayah Jafri mengusap tengkuknya yang terasa semakin berat. Benar kata pepatah orang tua jaman dulu, kelakuan buruk seseorang di masa lalu biasanya akan turun di salah satu keturunannya.
Dhafi terlihat bingung atas sikap Kakek Dwi yang justru meninggalkan tanpa menunggu kejelasan dari Faiza, begitu juga Ayah Jafri terpaksa berdiri dan menatap kecewa putranya.
“Jika kamu memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Faiza, seharusnya kamu tidak perlu menggandeng tangan Faiza, cukup memanggilnya. Jangan sampai kamu menyesal!” tegur Ayah Jafri sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah, untuk menikmati sebatang candu.
Dhafi menundukkan kepalanya dan melihat memang tangannya masih memegang pergelangan tangan, dengan kesalnya dia menyentak tangan Faiza.
“Sialan!” umpah Dhafi.
“Sialan apa Mas!” balas Faiza ikutan kesal.
Pria itu menghunuskan tatapan tajamnya tanpa berkata pada Faiza, lalu pergi begitu saja, naik ke lantai dua.
“Jangan sampai warisan itu jatuh ke tangan Aurelia, itu milikku! Aku harus menunjukkan hubunganku dengan Aurel baik-baik saja! Tapi sebentar ... Siapa yang menjemput Aurelia barusan, apa benar dia wanita jalaang seperti kata Faiza! Kurang ajar! Awas aja kalau kamu sudah sampai di rumah, Aurel ” geram batin Dhafi.
...----------------...
Di tempat yang berbeda, masih di tukang bubur ayam, Athallah hebat sudah menghabiskan semangkok bubur ayam, sekarang ngiliran Aurelia yang menyantap bubur ayam miliknya dalam keadaan memangku majikan kecil, padahal Emran sudah meminta Athallah agar pindah ke pangkuannya tapi bocah kecilnya tidak mau pindah, maunya sama pengasuhnya sudah nyaman.
Sekitar 15 menit Aurelia sudah menghabiskan bagiannya, kemudian netranya seperti mencari sesuatu di sisi kanan dan kirinya, tapi tidak ada.
“Ya Allah ... aku lupa bawa dompet, gimana mau bayar bubur ayam,” gumam Aurelia kebingungan, dia baru teringat saat pergi tidak membawa apa-apa karena tidak sempat masuk ke dalam rumah lagi. Terpaksa dia menolehkan wajahnya ke samping dengan perasaan sungkan dan tidak enak.
“Tuan, boleh saya pinjam uang 50 ribu saja, besok saya ganti,” ucap Aurelia agak pelan.
Emran menaikkan salah satu alisnya, dan mendelikkan netranya. “Baru kerja beberapa hari sudah berani pinjam uang,” batin Emran, mulai menilai pengasuh anaknya.
“Buat apa?”
“Dompet saya ketinggalan Tuan, jadi saya gak bisa bayar bubur ayamnya, kalau kita tidak bayar pasti bakal diomelin sama abangnya, lagian malu Tuan kalau gak bayar masa keluar dari mobil mewah tapi gak bisa bayar bubur ayamnya,” jawab Aurelia, tapi dia langsung menepuk bibirnya kenapa jadi terkesan menyindir majikannya.
Emran ikutan mendesis, ya iya kali masak orang sekaya dia gak sanggup bayar bubur ayam, apa kata dunia nanti.
“Kalau ngomong di saring dulu!” tegur Emran mengeluarkan kembali sikap tegas.
“Maaf Tuan.” Aurelia langsung menundukkan pandangannya, dengan rasa kebingungan buat bayar bubur ayam.
Ternyata Emran memanggil si tukang bubur dan membayar makanan mereka. “Tidak usah dikembalikan, buat Bapak saja,” ucap Emran saat memberikan selembar uang merah yang dia keluarkan dari dompetnya.
Si tukang bubur ayam matanya langsung kinclong matanya, dapat untuk 70 ribu. “Makasih banyak Pak, semoga rezekinya bertambah ... semoga keluarganya senantiasa bahagia, rukun selalu, kasep pisan anaknya kayak bapak dan ibunya, semoga tambah momongan lagi Pak,” ucap si tukang bubur ayam memuji.
“Aam—.” Auto tutup mulut Aurelia mendengar kata si tukang bubur ayam, sepertinya doa yang tidak tepat untuk diaminkan dan sontak saja Emran bersama Aurelia saling melirik sejenak lalu sama-sama membuang mukanya.
"Sejak kapan aku nikah sama dia, ck ... kayak gak ada wanita lain aja!" batin Emran menggerutu kesal.
“Makasih ya Pak, bubur ayamnya enak,” lanjut kata Aurelia.
“Hatur nuhun Neng.”
Wanita muda itu pun mengulas senyum tipisnya lalu mencoba beranjak dari duduknya sembari mengangkat majikan kecilnya yang sudah terlihat mengantuk, dan tanpa sepengetahuan Aurelia kaos bagian bawahnya sedikit tersingkap ke atas, hingga pinggangnya yang putih terlihat jelas di wajah Emran, karena pria itu masih duduk di sampingnya.
“Kenapa pinggangnya pada biru-biru semua, kayak habis dipukul atau disabet?” batin Emran tak sengaja kembali melihat, dan agak penasaran jadinya, karena sebelumnya dia melihat luka lebam di lengan bagian atas.
bersambung ...
suka 🥰