*Juara 1 YAAW 9*
Tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Vira belum juga mampu memberikan keturunan pada sang suami. Awalnya hal ini tampak biasa saja, tetapi kemudian menjadi satu beban yang memaksa Vira untuk pasrah menerima permintaan sang mertua.
"Demi bahagiamu, aku ikhlaskan satu tanganmu di dalam genggamannya. Sekalipun ini sangat menyakitkan untukku. Ini mungkin takdir yang terbaik untuk kita."
Lantas apa sebenarnya yang menjadi permintaan ibu mertua Vira? Sanggupkah Vira menahan semua lukanya?
Ig. reni_nofita79
fb. reni nofita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Sandiwara Weny
Vira merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Wanita itu menggenggam tangan Yudha. Menatap dengan lembut. Selama tiga tahun pernikahan mereka baru sekali tadi pria itu berkata kasar dan membentaknya.
Tiga tahun pernikahan mereka, Yudha selalu memanjakan dirinya. Perhatian pria itu berkurang sejak dia menjadi manajer. Ditambah ibu mertua yang selalu saja mencari perhatian Yudha semenjak tinggal bersama.
Tampak suaminya itu menarik napas dalam dan panjang. Seperti banyak beban pikiran. Vira merasa kasihan melihatnya.
"Mas, katakan saja apa yang ibu inginkan. Kenapa kamu hanya diam."
"Sudahlah, Vira. Lupakan saja. Aku capek mau tidur." Yudha meletakan piring bekas makan istrinya di atas nakas.
Yudha membaringkan tubuhnya dan menutup mata. Vira juga tidak berani mengganggu. Wanita itu ikut membaringkan tubuhnya di samping sang suami.
***
Pagi harinya, seperti biasa Vira memasak untuk sarapan mereka. Saat sedang menyajikan makanan ke atas meja, Ibu Desy mertuanya datang.
"Aku ingatkan kamu ya! Jangan pernah lagi meminta Yudha untuk melayani kamu. Dia bukan pembantumu!" ucap Ibu Desy dengan suara keras.
Vira berusaha tersenyum dan tidak terbawa emosi. Dia tetap menyajikan makanan di meja.
"Ibu sudah lapar? Mau sarapan sekarang?" tanya Vira. Dia tidak menjawab ucapan ibu mertuanya.
Saat Ibu Desy akan membentak Vira, terdengar suara seorang wanita memanggil namanya. Ibu mertua Vira berdiri dari duduknya dan menyambut orang itu.
"Sayang, masuklah," ucap Ibu Desy.
Ternyata yang datang Weny. Wanita itu membawa rantang dan di serahkan padanya.
"Aku sengaja datang pagi. Seperti janjiku kemarin, aku mau masakin ibu mie goreng aceh. Tapi mungkin masakan aku tidak seenak Mbak Vira," ucap Weny melihat Vira yang duduk dekat meja makan.
"Ibu yakin masakan kamu pasti lezat," ucap Ibu Desy.
Ibu Desy menyajikan mie goreng aceh itu di atas meja makan dengan antusias. Weny ikutan membantu. Ibu Desy menyingkirkan nasi goreng yang di masak Vira ke tepi.
"Kamu duduklah, ibu panggilkan Yudha dulu," ujar Ibu Desy dengan lembut.
Vira menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak melihat perlakuan ibu mertuanya yang sangat berbeda antara dia dan Weny. Tiga tahun dia menikah dengan Yudha, tidak pernah ibu mertuanya itu bersikap semanis itu.
"Apa kabar Mbak Vira?" tanya Weny saat ibu mertuanya telah pergi.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik saja."
"Tapi aku melihatnya tidak baik-baik saja."
"Semuanya baik, sebelum aku berhenti bekerja dan kamu mulai sering main ke sini," ujar Vira lembut.
Terdengar langkah kaki mendekat dapur. Weny lalu bersuara sedikit keras. Dia berusaha mengeluarkan air matanya.
"Mbak Vira jangan salah paham. Aku datang ke sini untuk mengerjakan tugas kantor. Pagi ini aku datang juga karena telah janji dengan Tante Desy. Aku tidak pernah berniat merebut Mas Yudha dari Mbak. Kenapa menuduh aku merusak rumah tangga, Mbak?" ucap Weny terbata dengan menahan air mata.
Ibu Desy yang mendengar ucapan Weny menjadi naik darah. Dengan berjalan lebih cepat menuju Vira. Berdiri dihadapan wanita itu dengan berkacak pinggang.
"Hai, dasar wanita mandul! Rumah tanggamu dan Yudha itu memang telah rusak. Jangan menuduh wanita sebaik Weny yang jadi pemicunya. Apakah kamu sadar, jika kamu itu tidak sempurna? Jangan pura-pura menjadi korban. Yang korban di sini itu, Yudha. Karena mendapatkan wanita seperti kamu!" bentak Ibu Desy.
Wanita itu lalu mendekati Weny. Menghapus air mata teman wanita putranya itu dengan lembut.
"Jangan dengarkan wanita itu. Kamu datang karena Tante dan Yudha yang mengundang," ucap Ibu Desy.
Yudha menarik napas dalam melihat semua itu. Ditatapnya wajah Vira. Tampak mata istrinya itu memerah seperti menahan tangis.
"Ibu, jangan bicara kasar begitu dengan Vira," ucap Yudha.
Mendengar ucapan Yudha, ibu tampaknya kembali emosi. Ditatapnya Yudha dan Vira bergantian.
"Ini yang membuat istrimu melonjak. Kamu selalu saja bela dia. Dengarkan, kalau istrimu yang berkata kasar dengan Weny," ucap Ibu Desy.
Vira berdiri dari duduknya. Dadanya makin terasa sesak karena menahan tangis.
"Apa ibu mendengar apa yang aku ucapakan dengan Weny? Apa salahku jika tidak diberi keturunan? Aku juga menginginkan anak. Namun, apa yang bisa aku lakukan jika Tuhan belum mempercayai aku untuk memiliki anak," ucap Vira.
"Kamu dengar sendiri! Istrimu selalu saja membantah ucapan Ibu."
Yudha tampak menarik napas dalam. Tidak tahu harus membela siapa. Ibu atau istrinya. Tiba-tiba Weny berdiri dari duduknya.
"Bu, mungkin kehadiranku mengganggu bagi Mbak Vira. Biar aku pergi saja," ucap Weny.
"Tidak ada yang merasa terganggu atas kehadiran kamu. Ibu dan Yudha senang. Jika memang Vira yang merasa terganggu, biar dia saja yang pergi. Kamu tetap di sini."
Ibu meminta Weny duduk kembali. Vira lalu melangkah meninggalkan mereka. Tidak ada yang mencegah kepergiannya termasuk suaminya. Vira masuk ke kamar dan menumpahkan tangisannya.
...****************...