“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31 ~ Mau Lanjut
Aku, Mami dan kerabat Pak Gentala lainnya sedang berada di ruangan di sisi ballroom yang memang dipersiapkan untuk keluarga. Bahkan aku dikenalkan juga dengan orangtua Fabian, oleh Mami. Kejadian dengan Fabian di pelaminan tadi, memang tidak heboh karena Mami segera membawaku dan Pak Gentala diajak oleh Genan -- adiknya -- menyambut tamu.
“Hah, akhirnya,” ujar Pak Krisna yang duduk di samping Mami Malea.
“Capek ya?" tanya Mami Malea.
Aku tersenyum melihat interaksi pasangan itu.
“Aku juga capek,” bisik Gentala yang sudah duduk di sampingku. Aku menoleh dan dia menatapku.
“Sudah selesai ‘kan? Aku mau rebahan, kaki rasanya pegal dari tadi pake ini,” tunjukku pada sepasang heels.
“Lah, ini pengantin kok masih di sini,” ejek Genan “Naiklah Mas, emang nggak kebelet apa?” ejeknya sambil terbahak.
Pak Gentala hanya menanggapi dengan decakan.
“Ah iya, ada kejutan dari Mami dan Papi untuk honeymoon kalian. bukan perjalanan jauh, karena Gentala masih harus pantau Go TV dan kegiatan Papi.”
“Hm. Ayo,” ajak Pak Gentala padaku, bahkan dia sudah mengulurkan tangannya.
Aku sejak tadi sudah membayangkan berendam air hangat lalu tidur, tapi mendengar candaan Pak Ganen aku jadi takut sendiri. Malam ini adalah malam pernikahan aku dan Pak Gentala, apa dia akan meminta haknya.
Sudah pasti Ajeng, memang dipikir dia mau menikahi lo buat sandiwara.
Aku menghela pelan lalu meraih tangan Pak Gentala. Dia langsung beranjak, aku sempat menganggukkan kepala pada kedua mertuaku.
“Mas pelan-pelan aja, kasihan Ajeng udah capek.”
Ganen kembali menggoda kami, aku juga mendengar Mami menegurnya karena terus menggoda Gentala.
Tangan kananku digenggam Pak Gentala sedangkan tangan kiri memegang sepasang heelsku. Saat ini sudah lewat jam sembilan malam, suasana hotel sudah tidak seramai tadi. resepsi sebenarnya hanya sampai jam tujuh malam, ramainya tamu dan mundurnya waktu sudah diantisipasi oleh WO mengingat keluarga Pak Gentala bukan orang sembarangan.
“Pak Genta, kita mau istirahat ‘kan? Pak Genta juga capek ‘kan?” tanyaku saat sudah berada di lift.
“Menurutmu?”
Aku berdecak karena bukan mendapat jawaban, malah dapat pertanyaan.
“Emang nggak bisa, jawab dulu pertanyaan aku bukan malah balik tanya?”
“Nggak.”
“Nyebelin,” sahutku. Lalu …. “Eh, Pak Genta mau ngapain,” pekikku karena Pak Gentala mengangkat tubuhku dan menggendong ala bridal, aku langsung mengalungkan tangan di lehernya khawatir jatuh atau tiba-tiba pria ini melepaskan aku. Kami keluar dari lift berjalan ke kamar yang disiapkan untuk kami.
“Wow.”
Aku sudah diturunkan dan pandanganku sedang menelisik kamar ini. Sangat luas, dengan gaya modern. Dari sofa ke area ranhaf ada pembatas dengan design minimalis. Di atas meja sofa ada beberapa kado dan paper bag. Aku meletakan heels tidak jauh dari meja sofa.
“Banyak yang sudah dibawa pulang,” ujar Pak Genta lalu beranjak ke arah tempat tidur.
Aku mengekor karena penasaran dengan penampilan tempat tidur dan ….
“Wah,” ujarku langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang yang ada hiasan bunga berbentuk hati, tentu saja membuat hiasan itu berantakan. “Pak Genta, aku mau mandi duluan,” ujarku masih asyik mengacak hiasan ranjang dengan kelopak bunga mawar merah.
Aku melirik Pak Genta yang sedang menatapku sambil bersedekap.
“Bangun, cepat mandi atau kita mandi bersama.”
Aku berdecak mendengar ancaman suamiku dan bergegas turun dari ranjang menghentikan aktivitas konyolku.
“Tapi agak lama ya, aku mau berendam air hangat.”
Alih-alih menjawab, Pak Gentala meraih pinggangku dan kami berhadapan. Kami saling tatap dan tatapannya seakan aku adalah target. Benar saja, Pak Genta menargetkan bibirku. Dia membenamkan bibirnya dan memagut, awalnya pelan lalu semakin dalam … aku susah bernafas sampai memukul pelan dadanya.
Aku masih menarik nafas saat dia duduk di tepi ranjang dan menatapku sambil bersedekap.
“Lepaskan!”
“Hah, maksudnya?”
“Lepaskan gaunmu!”
Aku menoleh ke arah toilet.
“Ya aku lepas di sanalah, orang mau mandi.”
“Lepas sekarang, di sini. Aku mau lihat dan jangan menolak.”
Astaga, aku mau diapain sih.
Aku berusaha melepaskan gaunku dan kesulitan karena ada bagian resleting tidak terjangkau oleh tanganku. Pak Gentala menghampiriku, dia menurunkan resleting sambil memelukku dan gaun pun melorot ke lantai memperlihatkan tubuhku hanya mengenakan kain segitiga penutup bagian bawah.
“Pak ….”
“Ssttt.”
Dia mundur dan kembali duduk di tepi ranjang menatap tubuhku. Karena kami sudah menikah, mungkin bukan hal yang aneh dia memperlakukanku begini. walaupun sempat ingin mengucap c4bul seperti sebelumnya, tapi aku tahan.
“Pak … dingin.”
Dia mendekat lagi dan membantu melepaskan hiasan kepalaku dan merapikan rambutku yang sudah terurai. Telapak tangan nya memegang tengkuk dan kami kembali bercium*n.
Entah bagaimana kejadiannya, karena saat ini aku sudah berada di atas ranjang dan pria ini ada di atas tubuhku. Pak Gentala tentu saja sudah pro dan pengalaman untuk hal ini. Dia berhasil membuatku merasakan gejolak dan menginginkan hal yang lebih setelah menyentuh beberapa area. Bahkan saat dia melepaskan pakaian tanpa jauh dari tubuhku, aku malah membantunya.
Pria berstatus suami ini sudah bergerilya menelusuri lekuk tubuh dan menyentuh apa yang bisa disentuh. Bukan hanya dengan tangan bahkan dengan bibirnya. Aku dibuat melayang dan ….
“Pak Genta ….”
Mulutku refleks menginginkan sentuhan lebih. Ada keinginan yang lebih jauh dari sekedar sentuhan. Mungkin inilah yang disebut gair*h dan has_rat. Aku sempat melirik melihat alat tempurnya dan ….
“Pak … aku takut, pasti sakit.”
“Ssttt.” Dia kembali membuatku melayang dan tidak menyadari kalau tubuh kami akhirnya menyatu dan ….
Aku menjerit pelan. Rasanya sakit, bagai ada bagian tubuh yang tersayat tapi hal itu tidak lama karena berikutnya aku sudah terlena dan mengikuti permainan Pak Gentala. Entah berapa lama aktivitas ini yang jelas aku lelah dan sempat memukul lengan Pak Gentala agar bergeser dari tubuhku.
“Masih mau lanjut?”
Aku menggelengkan kepalaku sedang mataku sudah terpejam. Lelah dan aku benar-benar mengantuk. Samar-samar aku mendengar dia mengucapkan sesuatu di telingaku.
“Aku mencintaimu, Diajeng.”
“Hmm.”
Aku hanya balas dengan gumaman.
ato jangan-jangan .....