Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
...••••...
Satu minggu telah berlalu semenjak Echa mengajar. Hari-harinya berjalan seperti biasa. Berangkat ke sekolah menaiki bus, lalu pulang. Tidak ada lagi kegiatan yang Echa lakukan.
Terkesan monoton tapi Echa menyukainya.
Seperti saat ini, Echa tengah menunggu bus datang sampai kedatangan sebuah mobil asing yang berhenti didepannya membuat Echa harap-harap cemas akan siapa yang ada didalamnya.
Echa takut kalau Pram yang ada didalamnya karena demi Tuhan, Echa selalu tidak siap jika keduanya bertemu.
Mata Echa membulat begitu keluar dua orang pria berseragam serba hitam yang wajahnya sudah tidak asing lagi dimatanya. Harapannya memang terkabul, tapi bukan berarti Echa menginginkan hal ini terjadi.
Belum sempat niatnya untuk kabur terlaksana, kedua tangan Echa terlebih dahulu dicekal oleh dua orang itu.
"Non Echa sebaiknya jangan memberontak, disini banyak orang." Pria itu menatap Echa tanpa ekspresi membuat Echa juga kelu jadinya.
Ingin meminta bantuan juga rasanya begitu sulit untuk dia lakukan terlebih dua pria yang ada didepannya adalah pengawal orangtuanya sendiri.
Echa juga tidak ingin membuat keributan disini. Apalagi beberapa orang sudah curi pandang kearahnya membuat Echa tidak nyaman.
Akhirnya mau tidak mau Echa pasrah ketika dirinya di masukkan ke dalam mobil.
Mungkin sudah saatnya dia bertemu lagi dengan orangtuanya. Mengingat sudah lebih dari satu bulan dirinya kembali ke ibu kota dan dirinya belum pernah melihat mereka.
Mungkin juga Naretha sudah memberitahu orangtuanya jika dirinya telah kembali. Wanita itu memang tidak akan pernah membuat hidupnya tenang.
Echa segera mengirim pesan pada Bu Siwi untuk izin tidak mengajar hari ini beserta menyertakan alasannya yang memiliki keperluan mendadak.
Rasanya Echa tidak enak melakukannya karena terhitung dirinya itu masih guru baru tapi sudah berani mengambil izin seperti ini. Kalau bukan karena keadaannya yang mendesak, tidak akan Echa lakukan.
Menghembuskan nafasnya perlahan, Echa kembali menyimpan ponselnya kedalam tas dan termenung dengan tatapan keluar. Melihat-lihat kendaraan yang berlalu-lalang dengan pikiran yang berkelana dengan jauhnya.
Saking sibuknya pikirannya, Echa sampai tidak menyadari jika mobil telah berhenti didepan sebuah rumah mewah yang sudah tidak asing lagi baginya. Rumah tempatnya tumbuh dengan segala macam hal luar biasa yang dirasakannya.
"Non Echa, sudah sampai." Pak Doni memanggil Echa yang tidak kunjung sadar jika mobil telah berhenti.
"Oh? Iya pak," rasanya Echa sungguh tidak ingin menginjakkan kakinya lagi di rumah yang memberikan banyak kilasan kilasan buruk dalam benak juga hatinya.
Tapi sekali lagi sekeras apapun Echa berkata jika dia tidak ingin menginjakkan kakinya lagi di rumah itu, dirinya tidak diizinkan untuk menolak.
Lima tahun pelariannya kemarin Echa amat sangat bersyukur karena tidak ada seorang pun yang mencari dan memaksanya untuk pulang. Entah apa yang terjadi.
Mengambil nafas dalam-dalam seraya memejamkan mata, Echa membuka pintu mobil dan melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah yang kondisinya masih tetap sama, tidak ada yang berubah sedikitpun. Bahkan untuk tata letak seperti pot tanaman hias pun tidak berubah.
Ada dua orang penjaga yang berdiri di samping pintu masuk membuat Echa menganggukkan kepalanya sekilas karena dia tidak mengenal keduanya. Mungkin pekerja yang dulu sudah di ganti.
Berbeda dengan kedua orang yang menjemputnya tadi. Echa sudah mengenalnya dari usianya sepuluh tahun.
Begitu masuk ke dalam, suasana yang begitu dingin dan mencekam langsung Echa rasakan. Suasana yang dulu menjadi teman kesehariannya.
"Non Echa? Astaga, non pulang?" seorang wanita paruh baya melangkahkan kakinya lebar-lebar dan langsung memeluk tubuh Echa dengan hangat.
"Bude," bisik Echa lirih seraya membalas pelukan wanita yang dia panggil bude dengan tidak kalah eratnya.
"Ya Tuhan, non Echa apa kabar?" Bude Dias adalah nama wanita yang ditugaskan oleh orangtuanya untuk mengasuhnya sedari kecil.
Wanita yang kerap kali mendengar segala keluhan yang keluar dari mulut Echa atas perlakuan tidak adil yang dia dapatkan.
Berbeda dengan Naretha yang dijaga dan dibesarkan langsung oleh Altheda. Sungguh miris bukan?
Echa tersenyum dengan lebar, "Echa baik bude."
Ketika pergi dulu, orang yang pertama kali Echa beritahu akan rencananya adalah bude. Wanita itu tidak melarangnya untuk pergi tapi juga tidak menganjurkannya. Bude hanya berkata agar Echa bisa menikmati hidupnya tanpa rasa sesak dalam dada di manapun dirinya berada.
Echa hanya berkata pada bude untuk tidak memberitahukan siapapun mengenai kemana akan dirinya pergi. Ya meskipun Echa juga tidak memberitahukan alamat lengkap tempat pelariannya.
"Ya Tuhan, non Echa udah semakin besar." Bude merangkum wajah Echa dengan tangannya yang semakin keriput membuat Echa merasakan sedikit penyesalan dihatinya karena meninggalkan wanita yang telah merawatnya dengan begitu baik itu.
Meskipun bude tidak bisa menghentikan ketidakadilan yang Echa terima, tapi setidaknya wanita itu melimpahkan kasih sayangnya pada Echa tanpa ternilai.
"Iya bude, mereka ada di mana?" meskipun Echa senang karena bertemu lagi dengan bude, tapi Echa tidak bisa menampik jika dirinya ingin cepat-cepat keluar dari rumah itu dan kembali ke apartemennya.
Bude mengerti siapa yang Echa panggil mereka, "Tuan dan nyonya ada di ruang tengah." Ruang tengah yang dimaksud ialah tempat dimana Echa biasanya mendapatkan sanksi atas hal-hal yang tidak dia lakukan.
"Makasih bude, aku harus ketemu sama mereka." Sekali lagi Echa memeluk tubuh bude dengan lebih erat. Dia berharap pulang itu bisa menguatkan hati juga tubuhnya.
Langkah kakinya terasa semakin memberat. Berkali-kali Echa menghembuskan nafasnya dalam-dalam untuk menetralisir perasaan gugup, takut, juga gelisah yang dirasakannya.
Hal yang tidak wajar dirasakan seorang anak pada orangtuanya sendiri justru Echa rasakan itu.
Dan wajah dua orang yang terlihat lebih tua dari terakhir kali Echa lihat langsung memenuhi pandangannya. Orangtuanya. Iya, mereka orangtuanya kandungan.
Echa berdiri dengan jarak sepuluh meter dari tempat dua orang itu dengan sofa yang menghalangi, tidak berniat untuk lebih mendekat.
"Bagus kalau kamu masih hidup." Sungguh kalimat penyambutan yang begitu mengharukan membuat Echa rasanya ingin mendengus tapi tentunya tidak berani dia lakukan.
"Terimakasih."
Sebuah benda tiba-tiba melayang kearahnya tanpa sempat menghindar hingga mengenai keningnya.
Echa memejamkan matanya begitu merasakan hantaman itu. Bukan hal aneh dan juga bukan hal pertama kali dia dapatkan.
Membuka matanya lagi, Echa melihat Anggara lah yang melemparkan pas bunga kearahnya.
"Dapat apa kamu pergi lima tahun seperti itu?" pertanyaan Anggara membuat Echa semakin menautkan kedua tangannya dibelakang tubuhnya.
Sekeras apapun Echa berkata jika dia begitu membenci kedua orangtuanya hingga rasanya dirinya begitu muak tapi hal reaksi tubuh juga hatinya selalu saja sama.
Echa selalu takut dan tidak bisa melawan keduanya. Echa hanya bisa berdiam diri ketakutan tanpa bisa dirinya menghindar.
...••••...