Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggebu
Semangat Kala dan Kinanti begitu menggebu-gebu untuk belajar. Mereka memutuskan untuk menjadikan rooftop sebagai tempat belajar yang nyaman.
Dua remaja itu berniat menata ulang kondisi rooftop yang semula berantakan. Kala sudah mnggambar denahnya dan Kinanti menyetujuinya.
Perkerjaan pertama dimulai dengan mengambil beberapa dari gudang sekolah. Ada tenda yang sudah tidak terpakai, karpet tebal yang bisa mereka jadikan alas, beberapa lampu pijar kekuningan bekas prekatek fisika dan pernak pernik lainnya untuk menghias rooftop.
Mereka mengambil barang-barang itu diam-diam. Sebenarnya tidak masalah karena Kala adalah pemilik sekolah ini. Tapi ia tidak mau berurusan dengan orang-orang yang mungkin tidak suka dengan apa yang meraka lakukan. Lagi pula, rooftop ini akan menjadi tempat rahasia untuk mereka berdua.
Barang-barang yang dibutuhkan sudah ada di tangan. Saat keluar dari gudang, sesekali mereka bersembunyi ketika ada orang yang lewat dan sesekali berlomba berlari menaiki anak tangga agar segera sampai ke rooftop. Tawa mereka terdengar menggaung saat berhasil mengalahkan satu sama lain.
Isengnya Kinanti, ia sengaja menyenggol Kala agar barang-barang di tangannya berjatuhan.
"Kinan...." ucap Kala yang gemas dengan tingkah jahil Kinanti. Tapi Kinanti malah tertawa saat berhasil membuat Kala terpaksa memunguti barang-barangnya dan membuatnya tertinggal jauh dari langkah Kinanti.
“Hahahaha, kamu payah Kal,” ledek Kinanti yang asyik menertawakan Kala.
“Aku akan menyusulmu,” timpal Kala yang segera membawa barang-barang di tangannya dan tergesa-gesa menyusul Kinanti.
“Hahahaha, coba saja kalau bisa,” tantang Kinanti yang menjulurkan lidahnya gemas lalu tertawa dengan renyah, membuat Kala ikut tertawa.
Tiba di rooftop, Kala dan Kinanti menggelar karpet bersama-sama, dari arah kiri, ke kanan sambil berjalan mundur dan sedikit membungkuk. Mereka tos saat karpet berhasil tergelar. Merapikannya dan menyapunya agar tidak ada yang menempel.
Mereka juga memasang tenda agar saat matahari terik, tidak terlalu panas dan bisa berlindung. Lampu-lampu kekuningan juga di susun dan dipasang melingar di atas tenda. Ini akan menjadi lampu penerang saat malam hari.
“Waah, akhirnya selesai juga,” ungkap Kinanti dengan rasa lega.
“Ya, syukurlah. Tempat ini menjadi cukup nyaman. Besok aku akan membawa dvd player untuk memutar musik supaya belajar kita gak membosankan. Gimana menurut kamu?” Kala membutuhkan pertimbangan Kinanti.
“Ide yang bagus. Tapi sumber listriknya dari mana?”
Kala melihat ke sekeliling mencari tempat yang bisa dijadikan sumber listrik.
“Oh, kita bisa mengulur kabel dari sana dan menaruhnya di belakang tenda. Listriknya akan aman kalau terpasang di sana.”
“Ide yang bagus!” Kinanti mengacungkan jempolnya untuk Kala dan remaja itu tersenyum bangga.
Akhirnya mereka bisa duduk bersisian di depan tenda. Ada dua kursi angin yang bisa mereka tempati dengan satu meja lipat untuk menaruh buku.
“Waw, aku benar-benar menyukai tempat ini.” Kinanti mencoba mengguncang-guncangkan tubuhnya di atas kursi angin itu, rasanya menyenangkan.
“Ini akan jadi markas kita dan gak ada yang boleh tau. Janji?” Kala mengulurkan jari kelingkingnya pada Kinanti. Dengan senang hati Kinanti mentautkan jarinya ada Kala.
“Janji!” ucapnya dengan semangat. Lantas keduanya saling melempar senyum untuk satu sama lain.
Tempat ini akan menjadi tempat rahasia mereka berdua.
****
Di kantornya, Lukman sedang berbicara dengan rekan kerjanya Seno. Mereka berbincang di salah sudut kantor yang tidak banyak orang ketahui. Mereka memang sengaja sembunyi-sembunyi karena ada hal penting yang harus Lukman sampaikan.
“Jadi apa hasil pemeriksaannya, kang?” Seno memandangi kertas yang ada di tangan Lukman, sepertinya laki-laki itu ragu untuk berbicara.
Lukman menyodorkan kertas itu pada Seno dan langsung di terima. Ia ingin Seno membaca sendiri hasilnya. Lukman sudah tidak sanggup mengucapkan kembali nama penyakit yang saat ini mengerogoti tubuhnya. Terlalu mengerikan.
“Kanker nasofaring?” Seno terlonjak kaget melihat simpulan diagnose dari dokter.
Lukman mengangguk pelan dengan hembusan nafas yang kasar lagi berat.
“Terus gimana? Akang udah ngasih tau anak akang soal kondisi akang yang sebenarnya?” Seno dengan raut wajahnya yang khawatir.
Lukman menggeleng. “Saya gak mau dia tau, Sen. Saya gak mau dia sedih.” Suara Lukman terdengar sedikit bergetar.
“Ya terus gimana? Akang kan harus berobat.” Seno menatap Lukman dengan heran.
“Ya, saya memang akan berobat tapi diam-diam aja. Biar saya pergi ke rumah sakit sendiri, chemotherapy sendiri terus pulang ke rumah setelah kondisi saya membaik.” Lukman sudah menyusun banyak rencana di kepalanya.
“Akang yakin? Chemotherapy itu menakutkan kang. Akang perlu ada yang menemani. Siapa yang akan mengurus akang kalau akang butuh sesuatu?”
“Di rumah sakit itu ada perawat yang menjaga saya. Saya udah tanya, katanya mereka standby di dekat saya karena penyakit saya pengobatannya membutuhkan banyak perhatian medis. Jadi, setiap waktu mereka akan memonitor kondisi saya dengan ketat. Makanya, saya yakin kalau saya bisa pergi sendiri.” Lukman sudah benar-benar bertekad.
“Terus gimana kalau anak akang nanyain keberadaan akang? Dia udah besar kang, gak bisa akang bohongi.”
“Saya tau. Tapi Kinanti itu, sudah biasa saya tinggal-tinggal. Dia anak yang mandiri. Saya ngasih tau kamu karena saya mau kamu menyimpan rahasia ini dari Kinanti. Saya juga butuh bantuan kamu untuk meyakinkan Kinanti kalau saat saya gak ada, itu karena saya ada pekerjaan di luar kota.”
“Gimana, apa kamu bisa bantu saya?”
Seno menggeleng kecil, tidak paham dengan pemikiran Lukman saat ini. Biasanya orang yang sakit selalu ingin di temani oleh orang-orang terdekatnya, tapi laki-laki ini malah menghindar. Sungguh, ia merasa iba. Ini pasti kondisi yang sulit untuk Lukman.
“Kalau itu memang udah jadi keputusan akang, saya juga punya keputusan. Saya akan membantu akan menyembunyikan ini dari anak akang. Saya juga akan menemani akang saat akang berobat nantinya.” Seno dengan tekadnya yang besar.
“Ya jangan, nanti kamu repot. Kamu udah bantu banyak kerjaan saya, masa saya mau nyuruh kamu jagain saya di rumah sakit?” Lukman merasa keberatan. Ia merasa keputusan Seno terlalu berlebihan.
“Gak ada yang ngerepotin kang. Kerjaan saya bisa di remote dari manapun. Lagi pula, akang juga udah banyak bantu saya dan keluarga saya. Saya gak tau apa yang akan terjadi sama saya istri dan bayi saya kalau akan gak bantu kami kemarin. Akang ini udah saya anggap sebagai keluarga sendiri. Udah kewajiban saya membantu akang.” Seno berujar dengan penuh kesungguhan.
“Tapi,”
“Udah, jangan ada tapi. Sekarang akang fokus aja untuk pengobatan. Saya mau akang juga segera sembuh dan bisa berkumpul lagi dengan anak akang, seperti halnya saya yang akang bantu supaya bisa kumpul lagi dengan anak istri saya. Ya kang,” bujuk Seno.
Lukman tidak bsia berkata apa-apa. Hanya matanya saja yang merah dan berair lalu ia tekan sudut matanya agar tidak menitikkan air mata. Ia tidak bisa menahan rasa harunya atas kebaikan Seno, rekan kerjanya.
“Akang harus tegar dan semangat untuk sembuh. Inget, akang kan pernah bilang kalau anak akang pengen akang nemenin dia sampe dia kerja dan menyenangkan hidup akang. Sok yang semangat, jangan nyerah di tengah jalan. Penyakit itu harus di lawan. Ya?!” Seno mencengkram bahu Lukman berusaha memberi semangat.
Lukman hanya bisa teranguk dengan rasa sedih yang memenuhi hatinya. Ia bahkan tidak tahu, entah sampai kapan ia bertahan. Bisakah ia memenuhi keinginan Kinanti untuk menemaninya hingga putrinya dewasa?
Melihat Lukman yang menangis tersedu-sedu, Seno hanya bisa memeluk rekan kerjanya. Ia tahu, ini pasti sulit untuk Lukman dan ia tidak mau Lukman merasa sendiri.
“Semangat kang semangat. Jangan takut, saya akan selalu menemani akang,” tegas Seno dengan penuh keyakinan.
****