Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Mabuk
Dua hari Kalila tidak pulang ke apartemen, dia memilih untuk bergantian jaga di rumah sakit dengan Seruni paska Kirei operasi. Kedai kecilnya pun terpaksa tutup dua hari.
Tapi hari ini, Seruni memaksa anak pertamanya itu untuk pulang karena yang Seruni tahu, Kalila kini juga mempunyai tanggung jawab sebagai istri.
Seandainya Seruni tahu, sarapan yang dibuat oleh Kalila bahkan tidak disentuh oleh pria yang dia sebut suami, rasanya hati terasa miris.
Kalila membuka pintu, cahaya masuk melalui celah tirai gorden yang masih tertutup. Entah memang tidak dibuka oleh Arlen, atau memang sebelum berangkat kerja tirai itu sengaja sudah ditutup. Kemudian ia melihat kursi makan yang sudah terbalik di lantai, itu membuat langkah Kalila terhenti di tengah ruang.
"Apa yang terjadi?"
Satu-satunya kemungkinan yang terlintas dalam pikiran Kalila adalah, Arlen sakit.
Dia segera bergegas menuju kamar Arlen, tanpa memperdulikan peraturan yang telah dibuat Arlen sebelumnya bahwa Kalila dilarang masuk ke dalam kamar itu. Kekhawatiran membuatnya melupakan apa pun yang terlarang.
"Arlen!" Suaranya mengisi kamar yang kosong. Arlen tidak ada di kamarnya, tidak ada di ruangan mana pun.
Jantung Kalila berdebar saking cemasnya.
Lalu kenapa kursi makan itu bisa berada pada posisinya yang tidak wajar?
Kalila mencoba menghubungi Noe tapi tidak ada jawaban. Hingga panggilan kedua, tetap panggilannya tidak mendapat jawaban dari Noe. Nomor ponsel Arlen pun tidak aktif.
Tidak mungkin Kalila menghubungi Miranda, kan?
Tapi, ke siapa lagi Kalila harus bertanya keberadaan Arlen atau keadaannya?
Tiba-tiba suara pin kunci pintu apartemen terdengar. Kalila buru-buru menuju pintu dan membukanya. Noe disana, memapah Arlen yang lunglai parah.
"Astaga Noe! Apa yang terjadi?!" Kalila melebarkan pintu agar Noe bisa lebih mudah membawa Arlen masuk.
"Langsung ke kamar Arlen saja." Pinta Kalila yang direspon dengan anggukan singkat dari Noe.
Sementara Noe membawa Arlen yang nyaris tidak bisa mengangkat kepalanya sendiri, Kalila menuju dapur. Dengan gerakan gesit dan cekatan, Kalila menyiapkan mangkuk kecil yang diisi air hangat. Kemudian dia mengikuti Noe masuk ke dalam kamar Arlen.
Arlen sudah terlentang di atas ranjang, penampilannya sungguh kacau. Terdapat samar bayangan hitam di bawah matanya, wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus, rambutnya acak-acakan.
"Apa yang terjadi?" tanya Kalila sembari mencari handuk di dalam lemari dan langsung mencelupkan ujung handuk bersih itu ke dalam mangkuk dan dengan telaten dia mengusap wajah Arlen yang terlihat sungguh kusam dan tidak segar.
"Tuan mabuk, sudah dua hari ini."
"Apa?! Mabuk?!" Kalila membeliakkan kedua matanya, gerakan tangannya bahkan sampai terhenti. "Apa yang terjadi selama dua hari ini, Noe? Kenapa Arlen sampai mabuk-mabukan? Kamu tau, kan, Arlen punya gerd, dia ga boleh minum alkohol atau akan membuatnya sakit."
"Tuan putus dari Miranda."
"Ap-apa? Putus?" Kabar ini lebih mengejutkan lagi. "Kenapa? Kenapa bisa putus? Apa yang terjadi?"
"Maaf, Nona, saya tidak bisa memberitahukan lebih jauh."
Kalila menghela napas berat. Dia menatap iba pada Arlen yang terlihat hancur.
"Apa selama dua hari ini Arlen makan tepat waktu?"
Noe hanya mampu menipiskan bibirnya.
Lagi, Kalila membuang napasnya yang berat.
Noe akhirnya pulang, meninggalkan Arlen dengan Kalila. Selepas kepulangan Noe, Kalila langsung menyiapkan makanan hangat untuk Arlen. Bubur dengan bahan-bahan yang masih ada di lemari pendingin.
Setelah selesai, dia kembali ke kamar membawa baki dengan semangkuk bubur hangat.
Dia kembali duduk di tepi ranjang, setelah meletakkan baki itu di atas meja nakas.
Kalila menatap Arlen nanar, bagaimana mungkin Arlen putus dari kekasih yang sangat dicintainya itu? Apa yang terjadi?
Tidak, Kalila tidak merasa senang dengan berakhirnya hubungan Arlen dan Miranda. Dia tahu bagaimana Arlen selalu mengusahakan agar Miranda bisa diterima oleh Erina. Dan kini, Kalila justru merasa sangat bersalah. Jika saja, dia tetap menolak perjodohan itu, mungkin saja pada akhirnya Erina bisa luluh dan merestui hubungan Arlen dan Miranda?
Arlen tidak akan hancur seperti ini. Dia mungkin sudah melihat betapa bahagianya Arlen membangun rumah tangganya bersama wanita pilihan hatinya.
Lagi-lagi Kalila membuang napas berat. Dia pun tidak ingin semua berjalan seperti ini.
"Kenapa...kenapa..." Racauan Arlen sejak tadi selalu sama. Satu kata tanya yang seperti tidak menemukan jawaban. Ah, hati Kalila pun ikut nyeri merasakan hancurnya hati Arlen.
"Maafkan aku, Ar. Aku janji akan mengembalikan apa yang sudah kuterima dari Mama Erina dan aku akan membantumu mendapatkan restu dari Mama Erina untuk kamu dan Miranda." ucap Kalila berjanji di depan Arlen yang masih tidak sadar.
Setelah mengucapkan janji itu, Kalila berusaha menguatkan dirinya sendiri dan meyakinkan semua akan berlalu.
Dia kembali melihat keadaan Arlen, dan kini dia menyesali telah mengijinkan Noe pulang sebelum membantunya menggantikan pakaian yang masih dikenakan Arlen.
Bagaimana dia bisa menggantikan pakaian pria itu?
Tapi, Kalila harus melakukannya. Dia tidak mungkin membiarkan Arlen masih mengenakan setelan jas yang sudah bauh asap rokok dan alkohol seperti itu untuk istirahat.
"Arlen...Arlen...bangun lah, ayo ganti bajumu dulu. Makan sedikit. Hm?" Kalila berusaha membangunkan Arlen dengan menggoyang-goyangkan tubuh Arlen. Tapi kedua mata Arlen tetap terpejam, hanya mulutnya saja yang terbuka dan mengeluarkan suara racauan yang tak jelas.
Dia tidak bisa menunggu sampai Arlen terbangun, karena bubur hangatnya bisa menjadi dingin. Jadi, dia mulai membulatkan tekad. Kalila membuka sweater yang dikenakannya, dengan hanya menyisakan kaos dan celana olahraga saja. Karena untuk mengurus bayi besar itu, sepertinya akan sangat gerah meski di dalam kamar dengan pendingin udara.
Kalila mulai berusaha menarik tangan Arlen agar tubuh pria itu duduk, tapi nyatanya bergeser pun tidak. Dia berusaha tiga kali, dan ketiga-tiganya tetap gagal. Akhirnya dia terpaksa naik ke atas ranjang, bertumpu pada kedua lulutnya yang berada di samping kanan-kiri pinggang Arlen, Kalila mengeluarkan semua tenaganya untuk membuat Arlen duduk.
"Satu, dua, tiga!"
Dan akhirnya dia berhasil membuat Arlen duduk dengan tubuhnya yang lunglai dan berat. Kepala Arlen pun terkulai di atas bahu Kalila.
"Oke, big boy! Kamu harus kerja sama. Ayo, ganti bajumu dulu. Kamu bau alkohol." katanya ngoceh sendiri.
Dengan kepala Arlen yang masih terkulai di atas bahunya, kedua tangan Kalila bergerak membuka jas, ikatan dasi, hingga berhasil melucuti kemeja Arlen yang sudah basah karena keringat.
Punggung Arlen basah karena keringat. Dan sialnya handuk yang tadi dia siapnya berada agak jauh dari jangkauan tangannya. Dia tidak ingin mengembalikan Arlen tiduran di atas ranjang, karena tenaganya sudah habis jika dia harus membuat pria itu kembali duduk.
Jadi, Kalila hanya berharap tangannya bisa memanjang seperti karet yang bisa meraih handuk itu. Namun sekeras apa pun Kalila berusaha menggulurkan tangannya dengan posisinya yang masih menahan tubuh dan kepala Arlen, handuk itu tetap tidak tergapai bahkan oleh ujung kukunya sekali pun dan malah yang terjadi...
Buk!
Mereka sama-sama terjatuh.
Yang mana kini Kalila mendarat di atas dada telanjang Arlen. Bukan hanya Kalila yang mendarat di atas dada Arlen, baskom berisi air dengan handuk yang sejak tadi ingin diraih Kalila malah tersenggol tangan Kalila hingga air di dalam baskom menumpahi wajah Arlen dan membuat Arlen akhirnya membuka mata.
Menyadari posisinya yang bisa menimbulkan kesalahpahaman, Kalila hendak bergerak turun, namun tiba-tiba saja, pinggangnya ditahan oleh sepasang tangan besar yang membuat jantung Kalila nyaris berhenti berdetak.
"Mau kemana?" Suara Arlen serak, tapi tajam. Bahkan dalam sorot matanya, yang Kalila lihat hanya ada amarah dan kekecewaan.
"A-aku mau-"
"Kamu mau kusentuh, kan? Baiklah! Aku akan menyentuhmu!"
.
.
.
Bersambung
terima kasih ya yang udah baca, udah like karya aku, semoga kisah kali ini bisa menghibur teman-teman semuanya ❤️❤️❤️
Saranghae 🫰🏻🫰🏻🫰🏻