Leon salah satu pewaris perusahaan terbesar di Eropa. Bertemu dengan Pamela gadis sederhana yang berkerja sebagai pelayan bar. Leon menikahi Pamela karena ingin membuat mantan kekasihnya cemburu akibat meninggalkannya pergi bersama seorang pengusaha muda pesaingnya. Pamela menerima tawaran yang diberikan oleh Leon, ia pun memanfaatkan situasi untuk menukarnya dengan uang yang akan digunakan sebagai biaya pengobatan neneknya.
Sejak awal menikah Pamela tidak pernah mendapat simpatik, kasih sayang bahkan cinta dari Leon. Pria itu pergi pagi dan pulang malam hari, Leon hanya menjadikannya wanita pelampiasan. Pamela yang memang memiliki perasaan pada Leon memilih bertahan di satu sisi ia memerlukan uang Leon untuk pengobatan neneknya, batin serta raganya kerap menangis di saat suaminya tidak ada di rumah
Simak kelanjutannya dalam Novel
Penyesalan Suami : Forgive Me My Wife
Selamat Membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maciba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Terwujud
BAB 31
“Ada lagi yang tuan butuhkan?”, tanya Pamela berdiri memandang sosok pria sempurna namun berhati iblis di depannya.
“Sepatu”, Leon duduk di atas kursi panjang menunjuk pada kakinya yang hanya menggunakan kaus kaki dan sandal.
Oh sungguh menyebalkan pria ini, biasanya Leon melakukannya sendiri namun kali ini darah Pamela dibuat mendidih sejak pagi oleh tingkah suami kejamnya.
“Baik tuan, tunggu sebentar”, bergerak malas menuju lemari penyimpanan sepatu.
“Aku tidak suka menunggu, cepatlah Pamela”, seru Leon.
“Ini tuan”, Pamela menyimpan sepatu pantofel mengkilat tepat di depan kaki suaminya, ia berdiri dan membalik badan hendak keluar ruangan yang menyebalkan ini.
“Kau tidak memberi pelayanan yang baik pada tuanmu”, sinis Leon.
“Huh, apalagi yang dia mau dariku. Kenapa tidak memakainya sendiri, bukankah tangannya masih berfungsi?”, gerutu Pamela di hati. Dirinya melangkah malas mendekat pada suaminya. “Jadi maksud tuan, aku yang memasangnya?”, tanya Pamela jengah.
“Ya, kenapa? Kau mau membantahku?”
“Baik”, Pamela berjongkok, merendahkan tubuh di hadapan pria yang selalu mengukur sesuatu dengan uang. “Selesai, ada lagi tuan?”, tanya Pamela datar.
“Tidak, berpakaian lah, jangan sampai kau sakit dan menyusahkan lagi”, sinis Leon begitu datar dan dingin.
“Baik saya permisi”, ucap Pamela, melangkah lebar keluar kamar dan menaiki anak tangga, ia pun mengunci rapat pintu berwarna putih ini. Khawatir Leon menyentuhnya dan memaksakan kehendaknya lagi. Pamela tidak mau itu terjadi, apalagi tubuhnya merasa jijik pada Leon yang telah tidur bersama kekasihnya. “Kenapa dia tidak menikah saja dengan wanita itu? Kenapa aku yang menjadi pelampiasannya?”, oceh Pamela sambil mengancingkan kancing belakang dress. Ia pun menatap pada ransel kumal yang tersimpan di ujung lemari berisi pakaian lama miliknya.
“Aku tidak pernah menyentuhnya lagi setibanya disini, Tuan Leon menyiapkan semuanya untukku”, melirik dari kanan ke kiri hingga atas dan bawah. Lemari pakaian yang berbanding terbalik dengan rumah lamanya. Ruang luas ini tidak seperti lemari melainkan butik menurut Pamela. Jajaran dress serta gaun mewah menggantung di bagian lain, tas serta sepatu indah dan mahal terpanjang rapi dalam lemari kaca, serta piyama kurang bahan yang memenuhi sebagian ruangan. Tak lupa kotak perhiasan di tengah ruangan.
“Tapi apa untungnya memiliki ini semua, kalau hidupku saja menderita dan terkekang begini?”, monolog Pamela.
Dirinya segera keluar kamar untuk mengantar Leon berangkat kerja walau hanya di depan pintu.
“Ingat Pamela ancaman ku tidak main-main, jangan sampai membantahku”, desis Leon dan keluar dari penthouse diikuti Alonso yang selalu mengekor pada pria tampan itu.
“Huh”, Pamela bisa bernafas lega usai kepergian suaminya. Selera makanannya pun rusak akibat Leon yang memerintahkannya ini dan itu. Ia hanya berharap Leon tidak pulang untuk waktu cukup lama, Pamela tak ingin melihat suaminya yang mendusta itu.
“Nyonya ini sarapannya”, asisten rumah tangga menyiapkan di atas meja.
“Terima kasih”, balas Pamela tersenyum.
.
.l
Entah Pamela yang merasa waktu berjalan sangat lamban atau jam di pergelangan tangannya rusak, sang waktu seakan malas berjalan cepat hanya untuk merubah hari menjadi malam. Pamela bosan setiap hari hanya terkurung di sangkar mewah suaminya, dari lantai 2 sampai lantai 1 telah ia telusuri termasuk ruang kerja Leon hanya untuk membaca beberapa buku.
BRAK
Dirinya tidak sengaja menyenggol buku tebal yang tersimpan di pinggir meja, hingga sebuah kertas lusuh terjatuh dari dalamnya.
“Eh ya ampun, untung saja dia tidak ada, huh kalau sampai melihat pasti aku akan digantung saat ini juga”, ucap Pamela membereskan semua. Ia pun tertegun melihat isi kertas lusuh di atas karpet. Cepat Pamela mengambilnya dan kedua mata sedikit menyipit pada foto lama milik suaminya. “Sepertinya......, ah tidak”, gumamnya, cepat-cepat merapikan ruangan kerja Leon.
Pamela keluar ruangan dan asisten rumah menyampaikan jika Alonso berulang kali menghubunginya, “Ada apa? Mungkin penting”, pikir Pamela.
Membaca pesan singkat dari asisten pribadi Leon, Pamela menyunggingkan senyum senang karena apa yang diharapkannya terwujud cukup cepat. Rupanya Alonso memberi kabar jika Leonard tidak akan pulang selama beberapa hari ini karena ada pekerjaan mendesak di luar kota.
Tantu kesempatan ini akan gunakan sebaik mungkin, hanya beberapa hari tak mengapa asal suaminya itu pergi jauh. “YES”, pekik Pamela.
“Ada apa nyonya?”, tanya asisten rumah tangga,
“Ah tidak ada, maaf membuat mu terkejut”, Pamela yang bahagia menuju lantai 2, ia mengganti pakaiannya menggunakan mantel dan tidak lupa mengingat rambutnya. Berjalan mengendap keluar penthouse, dengan taksi online telah menunggu di sebrang apartemen.
Ya, tujuan Pamela hanya rumah sakit. rasa rindu tak tertahan telah menumpuk di dadanya. “Tunggu aku nek”, bahagia Pamela.
Tiba di rumah sakit milik keluarga Torres, Pamela melangkah ringan memasuki ruangan VVIP dimana neneknya mendapat perawatan terbaik.
Seketika pandangannya terkunci pada pemandangan di depannya, bahkan beberapa saat Pamela tidak mengedipkan mata menyaksikan dua orang berbeda usia tengah asyik membahas sesuatu dan tak jarang neneknya tertawa,
“Nenek?”, panggil Pamela.
“Tuan Dylan? Maksudku Dylan?”
Pamela menatap keduanya silih berganti, sungguh suasana berbeda yang didapatkannya.
“Pamela kenapa kamu tidak cerita jika bosmu menyenangkan dan sangat murah hati? Ah terima kasih Tuan Dylan sudah membiayai pengobatan nenek tua ini”.
“Apa?”, tenggorokan Pamela tercekat untuk mengatakan kebenarannya, namun ia tak kuasa menyampaikan semua itu.
“Nenek akan melakukan apapun untuk membalas kebaikan Tuan Muda Dylan”, sambung neneknya.
“Tentu saja Pamela, aku hanya memanfaatkan situasi untuk memiliki mu, aku akan mendekatimu mulai dari nenekmu. Maaf jika kau berbohong”, batin Dylan yang menatap raut wajah Pamela berubah.
“Beri sambutan Pamela pada bosmu, jangan sampai ia merasa tidak dihargai”, bisik nenek Pamela.
“Iya nek”
Cukup lama ketiganya berbincang-bincang, namun lebih dominasi Dylan yang bicara, padahal Pamela sangat ingin melepas rindu namun kehadiran Dylan mengacaukan rencananya.
Sore hari Pamela pamit pulang begitu pun dengan Dylan, ingin mengantar dan bersama wanita pujaannya lebih lama lagi.
“Hey Pamela tunggu”, kejar Dylan.
“Kenapa kamu menghindar? Apa semua karena Leon?”, tanya Dylan.
“Tidak, bukan Dylan, ini sudah sore aku harus segera pulang”, Pamela terus melangkah, bahkan mempercepat pergerakan kakinya.
“Izinkan aku mengantarmu, Pamela”, tawar Dylan yang tak pernah jera mendapat pukulan tepat di wajah tampannya. “Bukankah kita berteman? Jangan tolak niat baik temanmu, Pamela”, dan Pamela hanya mengangguk menyetujui permintaan Dylan.
Dalam hati Dylan melompat girang mungkin saja ia salto jika tak lagi memiliki malu, tapi tetap saja seorang Dylan tebar pesona selama mereka menuju pelataran parkir.
“Kamu pulang kemana? Apartemen Leon?”, tanya Dylan memastikan jika jawaban Pamela adalah ‘tidak”.
“Iya, bisa antarkan aku kesana Dylan”, jawaban yang menyesakkan dada seorang casanova bernama Dylan Manassero.
Mobil sport yang Dylan kendarai tiba di depan apartemen mahal ini, ia hanya menatap Pamela yang melepas sabuk pengaman. “Ummm Pamela, hati-hati. Hubungi aku jika kamu membutuhkan bantuan”, ucap Dylan sebelum wanita pujaannya membuka pintu.
Memasuki apartemen yang kini minim cahaya Pamela langsung masuk ke kamarnya, segera melepas pakaian yang membuat tubuhnya lengket.
Namun langkahnya terhenti mendengar suara ponsel, gegas wanita ini memeriksanya dan alisnya pun mengerut. “Alonso”, untuk apa dia melakukan panggilan video padanya, apalagi kini Pamela telah polos tanpa sehelai benang.
...TBC...
../Good/
juga kelahiran putera ke dua Pamela dan Leon dilanjutin thor ditunggu juga karyamu yang lain semangat