Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 26
"Rizal!", panggil orang itu seraya melambai menyuruhnya mendekat.
Rizal tersentak, ternyata orang itu adalah Deni Nugroho, Wakabareskrim. Dan di sampingnya juga duduk Fritz, salah seorang anggota polisi yang disebut Mita sebagai tangan kanannya.
Rizal pun melangkah mendekati mereka. Bisa terlihat rasa heran dari raut keduanya. Mungkin karena mereka tak menyangka akan bertemu Rizal di tempat ini.
"Pak!", sapa Rizal seraya memberi hormat.
Deni hanya mengangguk lalu mempersilahkan Rizal duduk di sampingnya.
"Apa kau ingin menemui Pak Ibrahim?"
"Iya Pak", jawab Rizal pendek.
"Ada urusan apa kau ingin menemui beliau?", tanya Deni lagi penasaran.
"Eng... Beliau yang mengundang saya ke sini Pak, saya juga kurang tahu untuk urusan apa", sahut Rizal yang memang tidak tahu persis mengapa ia disuruh datang.
Deni mengerutkan dahinya, tak mengerti bagaimana seorang anggota kepolisian sepeti Rizal sampai punya urusan dengan orang sekelas Ibrahim Hasan. Dan diundang pula, tak seperti yang lain yang harus membuat janji temu terlebih dahulu sebelum datang ke sini.
"Bapak Muhammad Rizal Lubis", panggil seseorang yang menghampirinya.
Rizal sontak berdiri dan kembali semua mata di situ tertuju padanya.
"Ya, saya Pak", sahut Rizal agak ragu.
"Bapak sudah menunggu anda, silahkan ikuti saya", ucap orang tersebut sopan.
"Baik Pak", Rizal mengangguk kemudian mengucap permisi pada Deni sebelum mengikuti orang tersebut.
Beberapa kepala di ruangan itu tak habis pikir. Bagaimana seseorang yang paling akhir datang, malah dipanggil lebih dulu. Siapa orang itu? Sepertinya bukan orang sembarangan.
Tak terkecuali Deni yang semakin penasaran. Ada urusan apa antara Rizal dan Ibrahim Hasan sampai-sampai ia diprioritaskan untuk segera menemuinya.
Rizal kemudian memasuki beberapa ruangan lain sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang benar-benar mewah. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya ia memasuki ruangan semewah ini. Dalam hatinya terkagum-kagum dan pada saat yang sama bergidik ngeri membayangkan jumlah uang yang dihabiskan untuk membangun semua ini.
"Silahkan duduk"
"Oh, iya. Terima kasih Pak", sahut Rizal tersadar dari lamunannya.
Di bagian lain ruangan itu nampak beberapa pekerja tengah menyiapkan meja makan. Apa dia akan diajak makan malam juga? Bersama tamu-tamu lain yang masih di ruang tunggu?
Rizal jadi teringat makan malam mewah yang dilihatnya di film-film. Dimana makan malam seperti ini biasanya sekaligus digunakan untuk pembicaraan bisnis maupun politik. Tak seperti di rumahnya, yang malah sering diselingi gurauan receh tak jelas.
Akan jadi kesempatan bagus kalau dirinya juga bisa ikut makan malam itu. Pastinya akan banyak sekali informasi yang bisa dia dapatkan.
"Ah.. kau sudah datang. Tepat waktu, good!", tiba-tiba Ibrahim Hasan muncul dari salah satu pintu.
Rizal refleks berdiri seraya mengucap salam.
"Assalamualaikum Pak", ucapnya ramah dan berusaha menghilangkan rasa gugup.
Ibrahim Hasan menghentikan langkahnya seraya tersenyum.
"Wa'alaikumussalam. Aku senang kau bersedia datang ke sini"
Ibrahim kemudian mempersilahkan Rizal duduk kembali.
"Kita ngobrol sebentar sambil menunggu mereka selesai menyiapkan makan malam"
Yes! Sorak Rizal dalam hati. Apa yang diharapkannya benar-benar terjadi. Dia akan diajak makan malam. Dia akan memasang mata dan telinganya dengan baik untuk menyerap informasi sebanyak mungkin.
"Alin! Cepat panggilkan gadis sombong itu. Bilang kalau pacarnya sudah datang", perintah Ibrahim nyaring pada seseorang yang tengah duduk di sudut ruangan.
Rizal pun melongo mendengar ucapan Ibrahim barusan. Pacar? Ya Tuhan.. apa sebenarnya yang sedang dia lakukan di tempat ini?
Alin segera berdiri bermaksud menjalankan perintah itu. Tapi di saat yang sama dia juga agak bingung dengan ucapan Ibrahim tadi. Sepanjang perjalanan menuju kamar Mita, Alin bertanya-tanya dalam hatinya. Apa dia bilang? Pacar? Sejak kapan Mita punya pacar? Sepertinya ada yang dia lewatkan.
"Maaf Nona, Bapak menyuruh Nona untuk segera turun ke ruang makan", ucapnya saat tiba di kamar Mita.
Sementara Mita terlihat berbaring malas-malasan di atas tempat tidur sambil memainkan ponselnya.
"Bilang ke Papa, aku gak ikut makan malam. Masih kenyang habis makan donat tadi", sahutnya tanpa memandang Alin.
"Engg.. itu, Bapak juga suruh bilang ke nona, kalau... pacar nona sudah datang", ucap Alin ragu.
Mendengar itu Mita terlonjak kaget dan langsung turun dari tempat tidur.
"Apa kamu bilang? Pacar?!", Mita seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Iya nona, begitu kata Bapak", sahut Alin lagi, masih dengan raut bingung.
Mita pun meringis dan kembali menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Aduh.. kenapa dia beneran ke sini sih?! Bikin kacau! Apa mau ngajak ribut tuh orang!", ucapnya jengkel.
Setelah berpikir beberapa saat, sepertinya Mita sudah memutuskan.
"Oke! Alin, tolong siapin bajuku", perintahnya, kemudian masuk ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian Mita sudah keluar dari sana dengan tampilan lebih segar. Ia lalu duduk di depan meja rias sambil memperhatikan pakaian yang tadi dipilih Alin.
"Kok yang itu sih? Warnanya kusam gitu. Ganti yang lain"
Alin kembali mengambil pakaian lain yang lebih cerah.
"Aduh... Itu sih norak. Memangnya aku mau ke pantai apa?"
Alin jadi bingung harus memilih yang mana lagi. Ingin rasanya ia menyuruh Mita untuk memilih sendiri, tapi tentu saja tak berani.
Kemudian ia baru sadar, selama ini Mita tak pernah terlalu peduli masalah pakaiannya sendiri. Tak terlalu mempermasalahkan warna atau motif selama itu pantas sesuai acara. Tapi kenapa malam ini dia begitu cerewet? Apa jangan-jangan lelaki di ruang makan tadi benar-benar kekasihnya? Armita Atmadja, akhirnya punya kekasih? Apa mungkin?!
Akhirnya Alin memutuskan mengambil sebuah gaun yang menurutnya paling cantik dan memilihkan hijab yang serasi dengan itu. Diperlihatkannya pilihan itu pada Mita yang hanya diam kemudian melanjutkan merias wajahnya.
*********
"Sudah berapa lama di kepolisian?", tanya Ibrahim setelah menyeruput tehnya.
"Hampir delapan tahun Pak", jawab Rizal agak tegang.
Ibrahim hanya mengangguk-angguk.
"Maaf, orang tuamu masih ada?", tanya Ibrahim lagi.
"Ada pak. Bapak dan Ibu saya masih hidup", sahut Rizal lagi.
"Di Jakarta?", lanjut Ibrahim.
"Oh, tidak Pak, di Sumatera. Saya dan adik saya dulu merantau ke sini, ikut almarhum paman saya", sahut Rizal.
Ibrahim kembali mengangguk-angguk.
"Apa.. mereka tidak keberatan bila kau menikah dengan yang berbeda suku?", Ibrahim makin gencar melancarkan pertanyaan.
Rizal mulai merasa gelisah. Pertanyaan apa ini? Bukankah seharusnya ia datang ke sini untuk diperingatkan agar menjauhi Mita? Bukankah dia bukan tipe menantu ideal buat seorang Ibrahim Hasan yang punya kelas sosial jauh di atasnya? Bukankah itu yang dikatakan Zaki? Kepala Rizal mulai terasa pening.
"Sa.. saya kira.. mereka tak keberatan Pak. Karena adik perempuan saya juga sudah menikah dengan yang berbeda suku", Ya Tuhan.. apa yang sudah dia ucapkan.
Kini anggukan Ibrahim semakin mantap.
"Sudah berapa lama kau mengenal Mita?", Deg! Pertanyaan maut itu akhirnya keluar juga dari mulut Ibrahim.
Rizal benar-benar mati kutu dibuatnya. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu? Apa dia harus jujur mengakui kalau baru mengenal Mita kurang dari seminggu? Dan itupun penuh dengan drama perseteruan.
"Eng.. saya.. baru..", belum sempat Rizal menyelesaikan kalimatnya, perhatiannya teralih pada Mita yang sedang melangkah menuruni tangga.
Wanita itu terlihat sangat cantik, bahkan Rizal benar-benar kesulitan mengalihkan pandangan darinya.
"Selamat malam Pa", ucap Mita ketika sudah sampai di dekat mereka.
Seketika itu, baru Rizal tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia tadi terus-terusan memandangi musuh bebuyutannya dengan pandangan kekaguman?
"Selamat malam Armita, Papa senang kamu bergabung dengan kami", sahut Ibrahim tersenyum.
"Begini, kau temani Rizal dulu. Papa ada sedikit urusan dengan tamu lain. Oke?", ucap Ibrahim kemudian tersenyum pada Rizal sebelum menuju ruang kerjanya.
Setelah kepergian Ibrahim, kedua orang itu akhirnya membuka topeng masing-masing.
"Ngapain kamu ke sini hah?!", protes Mita setengah berbisik.
Rizal kemudian duduk. Tubuhnya terasa lemas. Ternyata ia telah melakukan kesalahan dengan datang ke rumah ini.
"Siapa juga yang mau ke sini?! Ini semua gara-gara Zaki. Dia bilang ini kesempatan baik untuk mencari tahu lebih dalam tentang siapa yang mungkin terlibat di kasus tabrakan itu", sahut Rizal kesal.
"Apalagi dia juga bilang kalau aku disuruh ke sini paling untuk diperingatkan buat menjauhi kamu. Ya, akhirnya aku mau. Tapi nyatanya, malah jadi runyam begini", sambungnya sambil mengusap kasar wajahnya.
Mita kemudian ikut duduk sambil memijat keningnya.
"Padahal aku sudah meyakinkan papa kalau kamu bukan siapa-siapa. Seharusnya kamu jangan datang ke sini, supaya papaku yakin kalau aku tidak bohong", sesal Mita.
"Ya mana aku tahu?! Seharusnya kamu beritahu aku lewat Zaki. Sekarang sudah jadi kacau begini, malah aku yang disalahkan", protes Rizal.
"Papaku tadi bicara apa aja?", tanyanya khawatir.
"Tak perlu dibahas lagi. Sekarang yang aku tunggu cuma acara makan malam itu. Semoga aku bisa dapat informasi penting lewat tamu-tamu papamu", sahut Rizal masih kesal karena merasa disalahkan Mita.
Lagipula dia merasa sangat malu bila harus menceritakan wawancara antara Ibrahim dan dirinya tadi.
"Maaf Mbak, makan malamnya sudah siap", ucap salah seorang pekerja.
"Ah, iya. Terima kasih. Tolong kau suruh seseorang untuk memberitahu papa", sahut Mita.
Rizal mengerutkan dahinya. Kemana wajah jutek yang selalu Mita tampakkan saat bicara dengannya? Bahkan terhadap seorang pelayan pun kalimat dan wajahnya terlihat sangat ramah.
Kini Mita kembali menatapnya dengan sinis, seolah tahu tentang pikiran Rizal yang tengah mengeluhkan sesuatu tentang dirinya.
"Dengar, demi kasus ini sebaiknya kita bekerjasama. Kau coba pancing papamu dan tamu-tamunya untuk membahas masalah bisnis dan kolega mereka. Siapa tahu dari situ ada yang bisa dijadikan acuan untuk penyelidikan selanjutnya. Kita perlu bukti tambahan kalau saudaramu tidak bersalah", ucap Rizal berbisik.
"Kenapa kalian bicara berbisik seperti itu heh?", seru Ibrahim, tiba-tiba sudah ada di ruangan itu.
Di belakangnya ada Deni dan Fritz yang berjalan beriringan dengan wajah bingung.
"Kalian mengingatkanku pada saat-saat bersama Ibunya Mita dulu. Kami senang berbagi rayuan manis dan kata-kata cinta dengan berbisik. Ya.. rasanya terdengar jauh lebih romantis", sambung Ibrahim tersenyum lirih.
Mita dan Rizal hanya bisa melongo mendengar ucapan itu. Bisikan rayuan manis, kata-kata cinta? Yang benar saja!
"Ah, iya Deni. Kukira kau sudah mengenal pemuda ini kan? Muhammad Rizal Lubis, calon suami Mita", klaim Ibrahim, sepihak!
Bagus...