Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Bab 8 gara gara cap minuman.
Di dalam kelas, suasana belajar begitu khusyuk. Bagas menatap papan tulis, mencatat beberapa poin penting yang disampaikan oleh guru matematika yang sedang menguraikan rumus-rumus trigonometri. Suara gesekan kapur dengan papan tulis dan gesekan pensil pada kertas memenuhi ruangan, seakan menjadi musik latar yang tak henti-hentinya berdenting.
Di sudut belakang, Dion terlihat sesekali melirik jam tangan di pergelangan tangannya, wajahnya menunjukkan kebosanan. Bagas yang memperhatikan hal itu melirik Dion dan tersenyum tipis.
"Masih lama ya, Gas? Gue udah nggak sabar pengen istirahat," bisik Dion dengan nada rendah agar tak terdengar oleh guru.
Bagas mengangguk sedikit, tetap fokus pada catatannya. "Sabar aja, tinggal sepuluh menit lagi."
Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi keheningan kelas. Semua kepala, termasuk Bagas dan Dion, menoleh ke arah pintu. Seorang staf sekolah masuk, membawa beberapa berkas di tangannya.
"Maaf mengganggu, Pak. Ini dokumen yang diminta untuk rapat nanti," kata staf itu.
Guru matematika mengangguk, mengalihkan perhatiannya sejenak dari papan tulis. "Terima kasih, silakan ditaruh di meja saya."
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh beberapa siswa di belakang untuk saling berbisik. Dion mendekatkan diri ke Bagas lagi. "Eh, nanti istirahat kita ke kantin bareng, ya? Gue denger ada menu baru."
Bagas tersenyum dan mengangguk. "Boleh. Sekalian kita cari tempat buat ngobrol santai."
Guru kembali berbalik, membuat semua siswa mengalihkan pandangan mereka kembali ke depan. "Oke, anak-anak, mari kita lanjutkan. Ambil buku catatan kalian dan kita akan selesaikan soal ini bersama-sama."
Sesi belajar pun kembali bergulir, diiringi suara pensil dan pena yang menari di atas kertas. Sementara itu, Bagas menarik napas panjang, mencoba mempertahankan fokus hingga bel istirahat berbunyi.
Bagas terkejut ketika merasakan rangkulan tiba-tiba di bahunya. Ia segera menoleh ke belakang dan melihat senyuman lebar Dito, teman sekelasnya yang terkenal ceria.
“Eh, Dion! Bikin kaget aja,” ujar Bagas sambil tertawa kecil dan melepaskan rangkulan temannya.
“Haha, maaf, Gas! Lo ngapain bengong di sini? Lagi naksir pohon Cemara?” Dion bercanda, matanya berbinar penuh semangat.
Bagas menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak, cuma lagi ngeliat aja. Pohonnya gede banget, ya. Kok jadi pengen nongkrong di bawahnya.”
“Idih, gaya banget mau nongkrong di bawah pohon,” sahut Dion sambil menyikut lengan Bagas pelan. “Eh, ngomong-ngomong, kita ke kantin bareng, yuk. sama yang lain udah nunggu.”
Bagas mengangguk. “Boleh. Sekalian gue laper juga.”
Mereka berdua mulai berjalan menyusuri koridor, di antara keramaian siswa lain yang berlarian menuju kantin, lapangan, atau sekadar mengobrol di sudut-sudut sekolah. Suara tawa, panggilan antusias, dan obrolan seru memenuhi udara.
“By the way, Gas,” Dion melanjutkan sambil berjalan, “lo udah denger kabar tentang kompetisi basket bulan depan, kan? Lo ikut daftar, ‘kan?”
Bagas tersenyum penuh keyakinan. “Iya, gue udah daftar. Kita harus tunjukin kalau kelas kita bisa juara tahun ini.”
Dion mengangguk setuju. “Nah, itu semangat! Gue yakin kita bisa kalau lo yang main.”
Mereka sampai di kantin di kejauhan yang lain melambai ke arah Dion. melambaikan tangan dari meja yang sudah dipenuhi dengan camilan dan minuman. “Gas, Dion! Sini, cepetan, gue udah pesan tempat!” seru yang lain.
Bagas dan dion mempercepat langkah mereka, bergabung dengan teman-teman yang sudah mulai berbagi cerita tentang pelajaran dan rencana akhir pekan. Suasana istirahat terasa hangat dan penuh keceriaan di antara para sahabat.
Bagas melangkah pelan, bingung dengan apa yang sedang terjadi. Dion menariknya cepat-cepat, mengarahkannya ke kantin. Bagas hanya diam, mengikuti langkah temannya tanpa banyak bicara. Ia menghela napas panjang, pikirannya masih melayang.
Begitu mereka tiba di kantin, Bagas melihat keramaian siswa yang sedang menikmati waktu istirahat mereka. Dion langsung melangkah ke arah kasir, sementara Bagas hanya berdiri sejenak, menatap sekeliling.
“Lo kenapa ngelamun, Gas? Ayo, ikut gue,” ujar Dion sambil menarik lengan Bagas.
Bagas hanya mengangguk sedikit, masih merasa teralihkan dengan pikirannya yang kacau. Ia memberikan isyarat dengan matanya, dan Dion yang sudah terbiasa dengan sikap Bagas hanya mengangkat kedua bahunya, menyuruh Bagas untuk mengikuti saja.
“Lo pesan apa, Gas?” tanya Dion
“Terserah,” jawab Bagas singkat, masih terfokus pada pikiran lain.
Dion kemudian memesan makanannya—sebuah burger besar dan dua gelas es jeruk. Mereka mencari tempat duduk yang kosong di salah satu sudut kantin.
Setelah beberapa menit, pesanan mereka datang. Bagas langsung menyeruput es jeruk yang diberikan kepadanya. Kehausannya setelah berjam-jam di kelas membuatnya merasa lega.
“Katanya kemarin lo bertanding mini game sama April, kapten basket kita? Kalo gitu, siapa yang menang? Lo lebih jago atau dia?” tanya Dion, penasaran.
Bagas hanya membalas dengan senyuman kecil, mengangkat bahu. Ia tidak merasa perlu menjelaskan lebih lanjut. Baginya, basket adalah tentang tim, bukan siapa yang paling jago.
Dion menatapnya dengan sedikit kecewa, mencoba melanjutkan percakapan, “Lo cuek banget sih, Gas. Kalo udah nggak mau jawab, ya udah deh.”
Mereka pun terdiam, menikmati makanan yang sudah datang. Namun, tiba-tiba, sebuah gelas bekas minuman melayang dan jatuh tepat mengenai Bagas. Minuman itu tumpah, mengenai baju dan celana Bagas, membuatnya kotor dan basah.
Bagas terkejut, dan langsung menoleh. Beberapa siswa yang duduk di meja sebelah terlihat tertawa terbahak-bahak, jelas-jelas senang melihat kekacauan yang mereka buat.
Dion segera berdiri, mencoba mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi. “Udah, Gas. Gak usah diladenin. Gue tau siapa mereka.”
Namun Bagas tidak menggubrisnya. Ia menatap tajam ke arah siswa-siswa yang mengganggunya. “Apa maksud lo ngelempar gua?” tanyanya, suara kesalnya mulai terdengar.
Beberapa siswa itu malah tertawa lebih keras. “Wah, ada yang kesal nih!” ujar salah satu dari mereka sambil menyenggol temannya.
“Eh, ada anak mama lagi tantrum gak jelas ! Pulang aja sana, nyusu sama mak lo!” teriak salah seorang, mengolok-olok Bagas lebih lanjut.
Salah satu siswa lainnya berdiri dengan sikap menantang, menambah ketegangan. “Lo gak terima, ya?” tantangnya dengan nada mengancam.
Bagas yang sudah tidak tahan lagi langsung melangkah maju, memukul meja di hadapannya dengan keras. “Cukup!” serunya, kemudian tanpa banyak berpikir, langsung melayangkan bogem mentah ke arah mereka.
Pertarungan pun tidak bisa dihindari. Lima orang melawan satu orang memang bukan hal yang mudah, namun Bagas tidak peduli. Dalam pikirannya, setidaknya ia bisa melawan balik, memberi mereka pelajaran.
Tangan-tangan kasar mulai menghampiri Bagas, namun ia berhasil menghindar dan membalas serangan. Sementara itu, Dion yang melihat keadaan mulai melambatkan gerakannya, mencoba menarik teman-temannya untuk melerai.
“Gas! Udah, udah! Jangan buat masalah!” teriak Dion sambil berusaha menarik Bagas.
Namun, bagaimanapun, keegoisan dan kemarahan Bagas sedang memuncak. Ia tidak bisa membiarkan mereka menghina dirinya begitu saja. Dalam pertarungan ini, meskipun ia tahu kemungkinan kalah besar, yang penting baginya adalah bisa menghajar salah seorang dari mereka.
Bagas, meski terhimpit oleh kekalahan yang hampir pasti, tetap tidak menyerah begitu saja. Dalam pikirannya, ia hanya ingin satu hal—menghajar salah seorang dari mereka, memberi pelajaran pada para pengganggu yang sudah meremehkan dirinya.
Namun, baru saja ia hendak melayangkan pukulan, tiba-tiba salah seorang dari mereka memegangnya dari belakang. Tanpa bisa bergerak, Bagas merasa kekuatannya hilang begitu saja. Ia terjebak. Pukulan pertama dan kedua menghantam perutnya dengan keras, membuatnya terhuyung dan akhirnya tersungkur ke tanah. Rasa sakit di tubuhnya mengalir, namun yang lebih menyakitkan adalah rasa malu yang muncul.
Anak-anak itu hanya tertawa terbahak-bahak, merasa puas melihat Bagas yang sudah tak berdaya. Mereka pun pergi begitu saja, meninggalkan Bagas terbaring di lantai.
Namun, kejadian itu ternyata belum berakhir. Bagas mengerahkan sisa tenaganya untuk berdiri, matanya masih fokus pada para pemuda yang baru saja meninggalkannya. Mereka belum sadar bahwa Bagas belum menyerah.
Dengan tiba-tiba, Bagas melompat dan menerjang salah seorang dari mereka, membuatnya terkejut. Serangan itu begitu cepat, tidak ada waktu bagi mereka untuk menghindar. Yang lain, yang baru menyadari gerakan Bagas, langsung melompat untuk menyerang. Namun, dengan sigap, Bagas mengambil sebuah fas bunga yang ada di sekitar dirinya yang tergeletak, lalu menghantam kepala salah seorang dari mereka tersungkur dan mengeluarkan darah dari hantaman fas bunga itu.
"Kenapa lo ngelawan?" teriak salah satu dari mereka yang sudah mulai marah.
Bagas tidak peduli. Ia siap untuk melanjutkan serangannya, melihat para pengganggu itu mulai mundur sedikit. Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, terdengar suara peluit yang tajam dari kejauhan. Semua anak-anak itu langsung terkejut, melihat petugas keamanan sekolah mendekat.
"Udah, udah!" teriak salah satu dari mereka, memegang temannya yang lain, "lari!"
Mereka berlarian dengan cepat, meninggalkan Bagas yang masih berdiri dengan nafas terengah-engah. Namun, meski mereka melarikan diri, Bagas tidak bisa begitu saja kabur. Dalam keadaan terburu-buru, ia dikepung oleh beberapa guru yang datang untuk menghentikan keributan itu.
Bagas pun akhirnya diambil oleh salah satu guru dan dibawa ke ruang guru, meskipun ia sempat mencoba untuk melepaskan diri, ia tak bisa melawan.
"Bagas, lo nggak bisa begini terus," ujar salah seorang guru dengan nada kecewa. "Apa yang sebenarnya lo pikirkan?"
Bagas hanya menunduk, menghela napas panjang, merasa semakin lelah menghadapi semuanya.
Konten ini mungkin melanggar kebijakan penggunaan kami.
Apakah kami salah memahami? Beri tahu kami dengan menandai tidak suka pada respons ini.