Senja Dan Derita

Akmal berjalan dengan langkah tergesa-gesa dan lebar. Ia langsung menuju kamarnya dan melihat Clara yang sudah berpenampilan amburadul dan kamar yang tak kalah berantakan. Akmal sudah tahu apa yang terjadi tanpa perlu ditanya lagi.

Langkah Akmal yang pelan membawanya pada Clara yang duduk meningkuk menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya yang ia lipat. Pundaknya bergetar dengan hebat.

"Cla," panggil Akmal lirih sembari berjongkok di samping wanita yang masih jadi istrinya itu.

"Jangan sentuh aku, aku jijik!" ucap Clara menepis tangan Akmal.

"Biarkan aku menjelaskan semuanya, kamu hanya mendengar setengah dari fakta yang terjadi. Setelah itu aku serahkan semua keputusan padamu. Kamu mau marah, marahi aku, kamu mau hukum, hukum aku. Lakukan apapun yang kamu mau, asal tetaplah di sini, dengan laki-laki yang sudah bersamamu, biarkan aku menebus sakit hatimu saat ini, Cla. Kamu mau dengar aku?"

"Apa lagi yang harus aku dengar? Kenyataan apa lagi, Pa? Apa aku harus menambah luka ini dengan mendengar semuanya, iya?"

"Maafkan aku. Ini semua terjadi jauh sebelum kita menikah, Cla. Aku nggak tahu kalau dosa yang aku lakukan dulu menumbuhkan benih di rahim seorang gadis. Dulu, aku bertahun-tahun pernah cari dia. Tapi sedikitpun aku nggak menemukan jejak dia. Hingga akhirnya aku menyerah, aku berpikir mungkin dia udah bahagia dengan keluarga barunya. Sungguh aku baru tahu hal ini, Cla. Aku juga baru tahu kalau aku punya anak dari dia."

"Aku nggak mau Karang tahu hal ini. Dia baru saja mempercayaiku sebagai teman dan sahabatnya. Dia baru saja merengkuh kebahagiaan yang seharusnya aku berikan dari dia lahir. Dia nggak boleh tahu soal ini dan aku nggak mau kamu bawa dia ke dalam rumah tangga kita. Aku mau fokus kamu tetap padaku dan Karang. Aku akan tetap di sini untuk Karang, bukan untukmu. Aku nggak lagi egois untuk anakku." Clara bangkit dari duduknya dan pindah ke ranjang besarnya. Menenggelamkan seluruh tubuhnya di bawah selimut. Isaknya kembali lirih terdengar begitu menyayat.

Di luar kamar, lagi-lagi Karang datang disaat yang tak tepat. Ia memaki dirinya sendiri kenapa harus mengantar air ibunya yang tertinggal di dapur. Anak remaja itu mendengar seluruh percakapan kedua orang tuanya.

Usia Karang sudah cukup untuk mengerti maksud dari pembicaraan yang baru saja ia dengar. Ia tahu semuanya, ia tahu sang Ayah punya anak dari wanita lain dan itu sangat melukai ibunya. Ingin rasanya ia masuk ke kamar orang tuanya dan menarik ibunya pergi dari sini. Tapi, mendengar kalimat yang dikatakan ibunya membuat Karang merasa dicintai. Ibunya rela bertahan di sini hanya untuk kebahagiaan Karang.

Anak itu ingat, ia pernah mengatakan ingin memiliki keluarga yang utuh hingga ia menikah nantinya.

"Ma, aku mau kita begini terus. Keluarga kita lengkap terus, ada Mama, Papa, Aku. Temen aku ada yang orang tuanya pisah rumah. Dia jadi anak yang pemurung dan nakal, akhirnya dia dikeluarkan dari sekolah. Masa depan dia jadi nggak jelas, kan kalau begitu?" ujar Karang di suatu hari.

Karang teringat degan ucapan itu. Ia mengatai temannya tak punya masa depan jelas, kini masa depannya sendiri ia pertanyakan jelas atau tidak. Tumbuh di lingkungan kurang kasih sayang sejak kecil membuat Karang ingin meluapkan amarahnya di luar.

"Baiklah, aku akan melakukan apa yang aku inginkan dari dulu, tapi selalu aku tahan agar aku bisa mengambil hati kalian. Aku akan menjadi diriku sendiri mulai detik ini."

Karang merubah wajahnya menjadi dingin dan tanpa ekspresi. Apakah ini wajah asli Karang sebenarnya?

***

Senja mengerjap, ia terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sinar matahari pagi yang memaksa masuk membuat ia menyipitkan mata saat berusaha duduk.

Rasa terkejut tak terelakkan saat melihat dirinya yang begitu polos seperti bayi baru lahir. Bahkan selimut pun enggan untuk menutupinya.

Nafasnya kembali terengah saat ingat kejadian semalam. Momen menyakitkan hati dan fisiknya. Ia di paksa untuk melayani hasrat liar Leo yang begitu menyakitkan.

"Kau sudah bangun?" Rida masuk tanpa permisi. Jangankan permisi, mengetuk pintu saja tidak ia lakukan. Inikah kebiasaan orang kaya? Orang kaya yang tak berpendidikan, batin Senja.

Senja yang hampir histeris urung melihat Rida yang dengan tenang berjalan ke ayahnya.

"Jadikan pelajaran, lain kali jangan terlalu berani dengan seseorang, jika kamu tak mengenal lebih dalam dirinya." Rida duduk di samping kaki Senja dan menutupi tubuh gadis itu dengan selimut.

"Untuk apa aku harus takut dengan orang yang tak aku kenal. Jika dia saja tidak menghargaiku sebagai seorang wanita, dia saja selalu kasar padaku, selalu memaksakan kehendaknya pada orang lain. Apa jika kau diperlakukan seperti itu harus menunggu mengenal dia lebih dalam dulu? Yang ada kau yang mati duluan," balas Senja masih dengan sisa keberaniannya.

"Mahkota mu udah di renggut, tapi kau sama sekali tidak menyesalinya?"

"Bukankah kalian bawa aku ke sini untuk ini? Untuk merebut hartaku? Cepat atau lambat semua ini akan terjadi, kan? Kenapa aku harus menyesal? Justru kalian yang akan aku buat menyesal karena sudah membawa aku masuk ke rumah tangga kalian. Jangan pernah mengira aku lemah hanya karena aku sering menangis, aku tak takut pada siapapun bahkan pada suamimu itu."

Senja mengibas selimut yang menutupi tubuhnya dengan sombong dan kasar. Ia beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Melihat reaksi Senja membuat Rida waspada, rupanya Senja bukan gadis lemah seperti yang ia kira. Apakah ini sifaf asli Senja? Begitulah pertanyaan yang menggelayut manja di kepala Rida.

Senja menyalakan shower dan duduk menekuk lututnya di bathtub. Ia menangis sejadi-jadinya dan menggosok tubuhnya dengan kasar. Ia merasa dirinya sudah sangat kotor karena di sentuh oleh pria biadab macam Leo.

Di tengah-tengah kegiatannya, ia teringat dengan Daren. Entah sedang apa pria itu? Pasti ia kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Pasti ia kecewa dengan dirinya yang sudah kotor, ia gagal menjaga diri dan tubuhnya dari Leo. Mengingat Daren membuat tangis Senja semakin menyayat hati.

Sudah dua jam Senja berendam dan entah sudah berapa kali ia menggosok tubuhnya dengan sabun bahkan dengan sikat yang berada di sana. Ia menyikat tubuhnya dengan kasar sehingga menimbulkan banyak luka di sekujur tubuhnya. Lalu ia memberikan sabun kembali membuat luka itu semakin perih. Senja tak peduli seberapa sakit yang ia rasakan, sungguh luka di sekujur tubuh Senja tak ada apa-apanya dibandingkan lukanya yang lain.

"Astaga, non apa yang kau lakukan dengan tubuhmu? Bagaimana bisa penuh darah seperti ini? Luka-luka ini. Astaga," pekik asisten rumah tangga Leo saat Senja keluar kamar mandi. Gadis itu melirik nampan di meja nakas. Ia ingat betul, sejak kemarin ia tak makan sama sekali. Dan entah kenapa perutnya sama sekali tak merasa lapar.