Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syarat Ennata
Melihat Winda pergi, Andre berpindah tempat duduk kesebelah Rinnada yang terus menangis.
Andre yang menyaksikan kejadian langsung saja merasa miris. Apalagi Rinnada dan Brian yang merasakannya.
"Rin, kau perlu mengeluarkan apa yang ada di pundakmu. Jangan di pendam. Biarkan Brian juga tahu." Ucapnya dengan hati-hati. Dia tidak mengerti kenapa gadis ini selalu menutup diri. Bahkan kepada Brian saja, dia tidak langsung memberi tahu.
Rinnada menoleh ke arahnya dengan pipi yang sudah basah. Lalu tertunduk lagi.
Melihat itu, Andre tahu hal yang Rinnada rasakan pasti sangat membebani hatinya. Dia pun diam, tidak mengatakan apapun lagi. Membiarkan gadis itu menangis sampai ia merasa hatinya cukup tenang.
Dinnara duduk bersandarkan bantal. Dia menggenggam jari-jari Brian dengan perasaan gembira. Brian pun enggan berkata-kata. Dia memilih membiarkan gadis itu sampai dia bosan.
Saat ini yang dipikiran Brian adalah membawa Rinnada bersamanya. Dia akan mengeluarkan Rinnada dari tempat ini, lalu akan menikahi gadis itu secepatnya.
"Terima kasih sudah mau menemaniku, kak. Aku benar-benar bersyukur kau ada disini". Ucapnya lalu mengelus lembut punggung telapak tangan Brian. Seperti tidak peduli dengan keadaan hati Brian saat ini.
Brian hanya diam. Dia bahkan enggan melihat wajah gadis itu.
"Kak, apa boleh aku menanyakan sesuatu?"
"Katakanlah."
"Jika Rinnada mengalah padaku dan dia mengikhlaskan kau untukku apakah..."
"Apa kau sudah gila?" Brian menarik tangannya dan berdiri disisi tempat tidur.
Dinnara terkejut. "Kak, maafkan aku." Dia berusaha menarik tangan Brian dan menenangkannya. Dia tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang salah.
"Kau pikir apa yang sekarang ada dipikiranku?" Tanyanya balik pada Dinnara yang mulai menangis lagi. "Aku akan membawa Rinnada dari sini. Aku akan menikahinya secepat mungkin."
Mendengar itu, wajah Dinnara ketakutan.
"A-Apa?" Suaranya bergetar. Dia merasakan napasnya seperti terhenti saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Brian.
Dia lalu meraih tangan Brian. Air mata deras membasahi wajahnya. "Tolonglah. Rinnada sudah mengizinkanku bersamamu.." Ucapnya dengan terbata-bata. Matanya memohon kepada Brian. Dia tidak sanggup jika harus kehilangan lelaki itu.
"Sudah kuduga!" Brian menghempaskan tangan Dinnara yang memegang tangannya hingga membuat Dinnara terkejut. "Kau pasti merencanakan ini supaya Rinnada mengalah lagi padamu. Benar, kan?" Teriak Brian di depannya. Wajah Brian benar-benar menunjukkan rasa bencinya pada gadis itu. Brian melongos. Dia bahkan tidak sudi melirik gadis yang tengah menangis histeris itu.
Brak!
Pintu terbuka dengan kasar. Seseorang masuk, dengan terburu-buru menghampiri dan memeluk Dinnara. Winda, menatap kesal ke arah Brian.
"Apa yang kau lakukan pada putriku?" Ucapnya dengan wajah berang. Melihat Dinnara seterpuruk itu membuat amarahnya memuncak.
Tak lama, seorang laki-laki yang wajahnya mirip dengan Winda masuk. Rinnada berdiri dibelakang lelaki itu dengan wajah sembab. Dia adalah Ennata. Kakak laki-laki yang pernah di ceritakan Rinnada.
Lelaki itu diam melihat Dinnara yang tersedu-sedu dipeluk oleh sang Bunda. Namun tangannya kanannya mengepal.
"Jika seperti ini kelakuanmu pada putriku, lebih baik kau jangan menikahi anakku. Baik Rinnada maupun Dinnara!" Bentaknya pada Brian yang tertunduk. Entah mengapa dia merasa menyesal. Dia terlalu emosional dengan tingkah Dinnara yang telah menjebaknya. Akibatnya, hubungannya dengan Rinnada akan semakin sulit.
"Kau ikutlah aku". Ennata menatap Brian dengan wajah datar lalu keluar dari ruangan.
Disusul oleh Brian yang mengikutinya dari belakang. Saat berjalan, ia berhadapan sekilas dengan Rinnada. Wajah Rinnada yang bersedih membuatnya merasa sakit hati atas perlakuan Bunda dan adiknya. Dia sudah tahu Dinnara mengancamnya supaya ia mengalah atas Brian untuk Dinnara.
Ennata berdiri tegak di sudut ruang. Dia menunggu Brian berdiri tepat dihadapannya. Dia lalu memejamkan mata dan menghembuskan napasnya secara perlahan.
"Kau Brian, kan?" Tanyanya dengan suara yang berat. Dia terlihat tidak marah pada Brian.
"Benar."
"Baiklah. Aku sudah mendengar semua cerita dari Bi Sum dan Pak Tono".
"Aku tahu posisimu sangat sulit. Tetapi aku tidak bisa membiarkan kedua adikku bertengkar hanya karena seorang laki-laki." Katanya sambil melipat tangan di dada. Dia menatap lekat-lakat wajah kekasih adiknya itu.
Ennata sempat mendengar ucapan Brian dari luar ruangan, bahwa lelaki ini ingin mempertahankan Rinnada sebagai kekasihnya, bukan Dinnara. Ennata juga mendengar bahwa lelaki ini akan menikahi Rinnada secepat mungkin.
Brian hanya diam. Sebab dia sendiri tidak bermaksud melukai Dinnara. Dia bahkan dari awal tidak tahu kalau Rinnada punya kembaran.
"Duduklah". Ennata duduk di kursi tunggu rumah sakit dan menyandarkan punggungnya.
"Kau harus tahu, Rinnada adalah gadis yang sangat baik dan penurut. Sangat berat lidahnya untuk berkata tidak pada Dinnara. Bukan karena dia menyayangi kembarannya itu. Melainkan supaya tidak menambah beban pikiran Bundanya." ungkapnya yang memandang ke arah pintu kamar Dinnara yang sedikit terbuka. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat tubuh Rinnada yang berdiri membelakanginya.
"Sedangkan Dinnara, dia adalah gadis yang keras kepala. Melihat Rinnada yang selalu mengalah kepadanya, membuat dirinya menjadi seorang yang semaunya."
Ennata menundukkan wajahnya. "Aku merasa tidak bisa melakukan apapun. Sebab aku juga harus menuruti kemauan Bunda untuk menjadi keinginannya. Semenjak Ayah meninggal, Bunda sempat stres dan kehilangan semangat. Karena itulah, kami mendukung apapun yang bunda ingin lakukan, hingga dia bekerja keras supaya anak-anaknya tidak kekurangan suatu apapun."
Ennata menarik napas panjang. Menghembuskannya secara perlahan. Pikirannya sedang terbang karena Kata-kata yang akan dia keluarkan ini mungkin akan membuat Bunda marah besar.
"Brian. Pergilah, bawa Rinnada."
Mendengar itu, Brian langsung menoleh. Dia melihat wajah sedih Ennata. Sebagai satu-satunya lelaki di keluarga, dia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan Bundanya sendiri selalu membela anaknya yang lemah. Dinnara benar-benar pandai melakukan perannya.
"Kau akan sulit berhadapan dengan Dinnara. Dia mengancam akan bunuh diri jika tidak bersamamu. Dan membuat Rinnada terpaksa melepaskanmu".
Brian menahan napasnya. Dia tidak sangka Dinnara sampai melakukan itu untuk menakut-nakuti Winda dan Rinnada.
"Rinnada sudah sangat banyak berkorban selama ini." Ennata menegekkan tubuhnya. Lalu memegang bahu Brian.
"Syarat yang aku berikan padamu hanya satu. Berjanjilah untuk membahagiakan dia. Jangan pikirkan hal lain. Masalah disini, aku yang akan bertanggung jawab. Asal kau memberikan kebahagiaan untuk Rinnada."
Mata Brian menyala. Dia tidak sangka kakak Rinnada mendukungnya. Dia bahkan sempat berpikir hubungannya dengan Rinnada akan kandas begitu saja.
"Bagaimana? Apa kau keberatan dengan syaratku?" Tanyanya pada Brian yang sejak tadi terdiam. Ennata melihat kesungguhan dalam dirinya. Karena itulah dia berani menyuruhnya pergi membawa adiknya.
Bersambung...
Dukung Author dengan cara Like setiap Episode ya. Terima Kasih🤗
cow gk tahu diuntung