Umar yang menikahi sekarang gadis karena insiden yang dialami keduanya, kisah cinta rumit keduanya karena ternyata sang Istri memiliki orang yang dia cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ummu Umar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan Shifa
"Jangan berani main belakang, lelaki yang gentle itu berhadapan langsung dengan orangnya bukan main belakang seperti yang kau lakukan, itu tindakan seorang pecundang bro". ucapnya dengan tenang.
Umar dan Gibran berbalik ketika mendengar perkataan Ammar, dia bisa melihat jika keponakannya itu terlempar jauh karena hempasan kuat dari Ammar.
"Tidak usah ikut campur kau, aku tidak akan memberikan adikku kepada lelaki kere sepertimu". hinanya kepada ammar.
"Memang berapa yang kau inginkan untuk melepaskan adikmu untuk kupinang??". Tanya nya dengan datar.
"Berikan saya mahar 1 milyar dan perhiasan emas 50 gram". ucapnya meremehkan.
"Aku akan memberikanmu uang tunai satu milyar pas tanpa embel-embel , tapi kamu harus menandatangani surat perjanjian hitam diatas putih dan bersedia untuk meninggalkan keluarga dan tak akan mengusik mereka lagi terutama calon istriku, dan kau juga bersedia dipidakan jika melanggar perjanjian. Bagaimana?? Tanyanya dengan menantang
"Jangan kak Ammar, jangan turuti keinginan manusia biadab itu". teriak Safa dengan murka.
"Tidak usah banyak bicara kamu, turuti perkataanku jika kalian ingin menikah". hardiknya dengan keras.
dia berdiri dan akan menghampiri sang adik untuk memberinya pelajaran.
"Sekali kau melakukan sesuatu untuk melukainya akan kupatahkan tanganmu". Ucap Ammar dingin dan datar.
"kak". ucap dafa memelas, memandang Ammar dengan tatapan memohon
"Biarkan saja Safa, aku memenuhi keinginanya, ini untuk kebaikanmu kedepannya. tenang saja aku akan bertanggung jawab penuh karena kamu calon istriku dan akan menjadi keluarga kami. Uang segitu tidak lebih berharga darimu bagiku.
"Benar yang dikatakan Ammar nak, biarkan dia menyelesaikannya karena yang akan dia berikan itu adalah uangnya sendiri". Shofiyah mengelus sang calon menantu untuk menenangkannya.
"Tapi Ummi, uang itu sangat banyak, kasihan kak Ammar ". Ucap Safa dengan sendu dengan rasa bersalah karena belum menikah, mereka sudah direpotkan seperti ini.
"Tenang saja, aku tak akan menyanggupinya jika aku tak mampu Safa". Ucapnya dengan lembut tanpa memandangnya karena dia juga menjaga pandangannya karena mereka memang belum menikah.
"Baiklah jika seperti itu keinginan kakak, aku tidak bisa melarangnya". Ucapnya dengan pasrah.
Dia merasa sangat bersalah dengan insiden yang terjadi. Sedangkan keluarga Gibran hanya memandang mereka tanpa melerai. mereka akan mengambil keputusan saat semuanya dalam keadaan tenang. Begitu juga dengan Umar dia tidak bertindak apapun asal tidak melukai orang dia sayang.
"Baiklah, datanglah ke notaris besok dan akan saya bawahkan uangnya, jangan pernah mangkir karena kami memiliki kakak seorang tentara dan polisi serta seorang pengacara jadi jangan coba-coba menipuku". Ucap Ammar dengan tegas.
"Aku akan menginap disini, sekaligus mengambil rumah ini dan menjualnya begitupun dengan tanah warisan ayah dan bunda". Ucapnya dengan sombong.
Mendengar perkataan sang kakak, Safa sangat murka.
"Jangan seenaknya, karena sebentar ada notaris yang datang untuk membaca surat wasiat bunda, jangan berbicara sembarangan". Nafas Safa tidak beraturan karena emosi.
"Apa maksudmu berkata seperti itu??, Aku ini anak lelaki mendapat bagian paling banyak dan kau hanya mendapatkan setengah dari bagianku". Hardiknya dengan sangat marah.
'Itu memang benar nak Safwan, itu berlaku ketika orang tua kalian tidak membagikan langsung atau memberikan surat wasiat tapi dalam kasus ibumu, itu tidak berlaku.
"Jangan ikut campur tante, anda tak berhak berbicara disini. Anda itu orang lain!!". Teriaknya kepada Shofiyah.
Ammar melangkah mendekati Safwan dengan murka. Dia akan menghajar lelaki sialan yang berani meneriaki ibunya.
Ibunya menghadangnya, dia sangat tahu jika Ammar seperti ini, dia tidak akan bisa mengendalikan dirinya apalagi jika menyangkut dirinya.
Shofiyah menggelengkan kepalanya tanda melarang sang anak untuk menghajar sang calon ipar itu.
"Apa yang kau lakukan??". Teriak Umar menghampirinya dengan wajah yang sangat merah. dia mengepalkan tangannya kuat-kuat akan menghajar lelaki kurang ajar pada ibunya.
"Berhenti disitu Umar Khoir Ahmad". Tekan sofiyah ketika melihat sang anak ingin kembali menghajar Calon iparnya.
"Ummi". Ucapnya dengan melas dan berhenti mendengar perkataan sang ibu.
"Tidak apa-apa nak, sabar yah, jangan luapkan emosimu menghadapi lelaki seperti itu, tidak ada gunanya". ucapnya dengan lembut kepada sang anak.
Umar dan Ammar menghampiri sang Ibu dengan wajah cemberut kemudian memeluknya karena dilarang olehnya, padahal mereka ingin menghajar lelaki sialan yang berani meneriaki ibu kesayangan mereka.
"Dasar lelaki lemah, baru digertak oleh orangtua lemah seperti itu saja langsung diam, kenapa?? tidak malu sama burung kalian itu??. ejeknya dan merendahkan.
Shofiyah melepaskan pelukan sang anak kemudian maju berjalan menghampiri lelaki itu.
Dia mengancingkan jaketnya dengan erat dan bersiap untuk menyerang lelaki ini. dia harus memberikan pelajaran kepadanya jika tidak semua perempuan itu lemah seperti perkataannya.
Bugh". Tendangan maut dia berikan kepada lelaki yang menghina anaknya dan menantunya ini.
Safwan terlempar mendapatkan tendangan pada wajahnya oleh shofiyah. Wajahnya penuh darah dan ada giginya rontok karena tendangan keras itu.
"Tidak semua perempuan lemah, sejak tadi aku diam untuk memberikanmu kesempatan, tapi kelihatannya memang kau harus di beri pelajaran. Ucapnya datar.
"Saya melarang anak-anak menyerangmu karena kemampuanmu yang tidak sebanding dengan mereka dan itu tidak adil".
"Bahkan jika kau menuntut dimanapun, surat wasiat itu akan sah dan dipidanakan secara hukum". Ucap Shofiyah dengan tangan mengepal.
Semua yang ada disana sangat terkejut dengan tindakan Shofiyah yang tidak pernah mereka lihat. Perempuan lemah lembut bisa menghajar orang sampai seperti itu??
"Itu baru Ummi kami". Teriak kedua anak lelaki itu dengan bangga.
Sedangkan Safa dan Shifa sudah membuka mulutnya karena terkejut. Bagaimana bisa mertuanya yang mungil itu menghajar Safwan yang besar dan tinggi.
" Saya memang seorang perempuan, memangnya kenapa??, bagaimana rasanya tendangan maut saya barusan, enak bukan?? Tanya Shofiyah meremehkan.
Setelah memberikan hadiah pada Safwan, Shofiyah mendatangi Safa dan memeluknya dengan sayang
Melihat betapa pedulinya dan dekatnya ibu mertuanya dengan sepupunya itu, timbul sedikit rasa iri dihati Shifa karena dia tidak bisa akrab seperti itu dengan sang mertua.
"Apakah karena aku tidak mangabrabkan diri padanya sehingga aku tidak dekat dengannya??. Bahkan Safa saja yang baru calon sudah seperti itu??, bagaimana jika dia sudah menikah dengan Ammar??". Monolognya dalam hati.
"Ummi memang paling the best pokoknya". Ucap kedua lelaki itu dengan senyuman lebar dan tawa kecil.
Shifa terpesona melihat tawa dan senyuman Umar yang tak pernah dia lihat selama ini. Mungkin karena jarangnya interaksi dirinya dengan sang suami. Dia hanya bisa melihat pertengkaran yang terjadi di hadapannya itu.
"Ya sudah kalau begitu kami pulang dulu, oh iya kami akan menugaskan beberapa anggota kepolisan untuk berjaga disini untuk melindungi kalian". Shofiyah berkata sambil berdiri kemudian memeluk calon menantu nya itu dan kemudian berjalan memeluk sang besan dan terakhir menantu tertuanya itu.
"Kalau kamu sempat, pulanglah kerumah nak, bagaimanapun kamu adalah seorang istri yang memiliki tanggung jawab". Ucap Khumairah memeluk sang menantu dengan sayang kemudian mengecup keningnya dan tersenyum sampai matanya menyipit.
Dia tidak ikut campur dengan permasalahan rumah tangga sang anak, hanya saja dia sebagai orangtua selalu ingin yang terbaik kepada kedua anaknya.
"Ummi pulang dulu, jangan membatasi dirimu dengan kami, karena kami juga keluargamu nak". Ucapnya mengelus kepala sang menantu kemudian pergi dari hadapan mereka mengajak anak-anak untuk pulang dan mempersiapkan acara besok.
Mata Shifa berkaca-kaca mendengar penuturan sang mertua yang ternyata begitu menyayanginya, bahkan tak pernah menghakiminya ketika dia berbuat kesalahan fatal pada suaminya.
"Kami pulang dulu semuanya". Ucap Umar menyalimi kedua mertuanya kemudian pergi meninggalkan istrinya yang kini menatapnya. Tanpa berkata apapun dan menghiraukan sang istri karena hatinya masih sakit dan belum bisa memaafkannya.
" Tidakkah kamu mau berpamitan padaku kak?? Tanya begitu Umar melangkah menjauh darinya.
"Apakah aku boleh berpamitan denganmu?? Tanyanya dengan sendu.
Jujur saja dia sudah mencintai perempuan yang dia nikahi hampir setengah tahun itu, tapi istrinya selalu bersikap tidak baik padanya dan belum bisa menerima kehadirannya bahkan untuk hubungan badan pun mereka tidak pernah melakukannya karena istrinya selalu menolak.
"Maaf". Ucapnya menunduk menyadari jika selama ini dirinya sangat jahat kepada suaminya yang sangat baik kepadanya.
" Kami akan pulang, jika kamu mau, rumah selalu terbuka untukmu karena itu juga rumahmu". Ucapnya tersenyum kemudian meninggalkan sang istri.
Dia ingin menyentuhnya tapi takut ditepis kasar seperti biasanya, dia tidak mau jika semua orang tahu jika istrinya tidak pernah bersikap baik kepadanya.
Kalau boleh kasih masukan dikit, Umar nyelamatin si wanita yang mau bundir di jembatan atau dimana lah. Si wanita depresi karena cowoknya. Karena kasihan dan ingin mengayomi takut kejadian terulang, Umar ngelamar wanita itu. Nah.. di situ tuh.. baru jalan cerita lika-liku ketulusan Umar menyadarkan isterinya sembari mencoba meraih hatinya. Maaf ya mbak, aku sok-sokan ngasih saran segala. Moga sehat dan sukse selalu. Semangat!