15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04 - Oh ternyata
Perkuliahan semester baru dimulai. Setelah merenungi hidupnya seharian penuh kemarin, Rimba kembali dengan semangat baru. Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan uang 4 juta itu untuk melunasi utangnya sama seseorang.
"Mata kuliah pilihan biasanya diisi sama dosen tamu kan? gue harap bukan Pak Bian," gumam Ellena.
"Pak Bian bukannya udah ngampu di blok biomedik, nggak mungkinkan seminggu dia ngampu dua mata kuliah di kelas yang sama?' balas Rimba menebak.
"Lemahnya mata kuliah pilihan itu ya gini. Kita nggak tau siapa dosen pengampunya pas KRS-an," Ellena mendengus, "inget nggak mata kuliah blom reproduksi di semester lalu? kita dapet dosen tamu yang killer maksimal?"
"Yang pas ujian kita suruh ngegambar dan ngerjain tulis tangan 10 halaman itu kan?" sahut Rimba mengenang.
"Nggak mungkin kan Bu Rini lagi pengampu mata kuliah yang ini?" harap Ellena was-was.
"Nggak mungkin ah, masa dia lagi," ujar Rimba.
Ellena mengangguk-angguk menenangkan diri. Ketika keduanya sampai di dalam kelas, suasana sudah cukup ramai. Cukup banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah pilihan ini.
"Si menor, Rim!" Ellena menyenggol Rimba saat melihat Angela masuk ke dalam kelas.
Reaksi Rimba sudah sangat biasa, ia tidak peduli sama sekali sama perempuan yang dulu pernah merebut Marvin darinya. Apalagi sekarang sudah tak tersisa sedikitpun perasaan untuk Marvin yang lebih memilih Angela.
"Tumben sendirian. Cowok hasil jambretannya kemana nih?" ujar Ellena sengaja mengeraskan suaranya agar didengar Angela.
Rimba menyenggol lengan kawannya itu. "Gila lu. Itu udah lama lho Elle, nggak perlu dibahas lagi deh," ujarnya.
"Biarin! biar tau diri dia. Pacar temen sendiri kok diembat. Temen apaan tuh namanya?" sewot Ellena masih kesal bila kembali mengingat kelakuan Angela dan Marvin saat kepergok mesum di kostan. Dan berujung hancurnya persahabatan diantara Rimba-Ellena dan Angela.
Gadis bernama Angela itu nampak berpura-pura tak mendengar. ia memilih duduk sedikit di pojokan, menghindari tatapan laser Superman dari Ellena dan Rimba.
"Dia udah tau diri tuh, duduk dipojokan." desis Rimba.
"Kalo nggak gitu mau apa dia dicibir satu kelas?" ujar Ellena ikut tersenyum penuh kemenangan.
"Ya gitu, sanksi sosial adalah hukuman paling efektif buat manusia yang nggak punya perasaan kayak dia," sahut Rimba puas.
Tak ingin mempedulikan Angela lagi, Rimba memilih fokus pada buku modul yang sebelum berangkat sempat dipinjamnya ke perpustakaan.
Tak lama kemudian, konsentrasi Rimba sedikit terganggu saat gumaman-gumaman manja para mahasiswi didalam kelas semakin riuh. Bahkan Ellena pun ikut bergosip bersama Arini yang duduk di deretan mereka.
"Kenapa ribut banget sih?" Rimba mendongak.
"Dia kayanya mahasiswa transfer dari Eropa deh, Rim," jawab Ellena dengan mata berbinar.
Rimba mengikuti arah pandang Ellena dideretan kursi depan dan jantungnya bagai berhenti berdetak. Beberapa kali ia coba mengucek matanya, berharap jika itu hanya mimpi. Namun bayangan itu nyata, tidak hilang sekejap mata. Apalagi saat sosok yang dikatakan sebagai mahasiswa transfer itu menoleh ke samping dan Rimba masih ingat betul siapa dia.
"Mati gue!" gumam Rimba tertegun.
"Gantengnya bikin jantung gue terjun ke perut, Rimba..!!" jerit Ellena gemas.
Di lain sisi, Lelaki itu sudah terbiasa menjadi pusat perhatian dan nampak lebih sibuk memainkan ponselnya dengan tenang. Ia mengabaikan beberapa gadis disampingnya yang sengaja mengajaknya bicara. Sebaliknya, beberapa kali ia melihat jam dipergelangan tangannya. Sejak pertama masuk ke dalam kelas, radar di mata tajamnya sudah langsung mengidentifikasi keberadaan gadis yang sempat membuatnya geram beberapa waktu yang lalu tapi berakhir penasaran. Begitu membekasnya perlakuan tak biasa Rimba padanya hingga ia rela mengikuti gadis konyol itu hingga ke dalam kelasnya.
"Gue berharap dosen pengampu mata kuliah ini nggak masuk," doa Ellena yang diamini Arini dan dua mahasiswi lain di sampingnya.
"Biar apa?" tanya Rimba.
"Biar kita puas memandangi si dewa cinta itu sampe waktu kuliah selesai," Arini yang menyahuti.
"Dewa cinta? Dia?" tunjuk Rimba pada Lelaki yang saat ini menjadi sorotan kaum hawa.
"Kayanya di kehidupan gue sebelumnya, gue pernah ikut menyelamatkan dunia deh. Makanya sekarang dikasih anugerah buat ngeliat manusia berwujud dewa kayak dia sebelum gue mati," ucap Ellena lebay.
Rimba menjulurkan lidahnya seolah ingin muntah, "Dan kayanya di kehidupan gue yang sebelumnya, gue turut serta merusak dunia, makanya gue dipertemukan lagi sama tuh cowok tak berperasaan," gumamnya lirih.
"Ya? Lo kenal?" Ellena melirik singkat pada Rimba yang nampak acuh.
Seperti tak memperdulikan keributan yang sudah ditimbulkan oleh efek ketampanannya, Lelaki itu justru berdiri dari kursinya setelah menatap jam tangannya terakhir kali. diambilnya jas berwarna hitam yang tadi ia gantungkan ditali tas ranselnya. Perhatian semua orang menjadi tertuju padanya, apalagi saat lelaki itu dengan santai dan percaya diri mendatangi meja dosen dan duduk dikursinya. Suasana menjadi makin riuh dan penuh gumaman, tak paham.
"Saya rasa kita bisa mulai kuliah pertama kita," ucapnya tanpa senyum, begitu datar.
Ruangan kelas berubah hening setelah Lelaki itu berbicara. Wajah-wajah tak mengerti menatap lurus ke arah si tampan, menuntun penjelasan. Sadar bahwa ia bak orang asing yang tak tahu diri, Lelaki itu berdiri menghadapi sekitar 4 lusin para mahasiswa dan mahasiswi dihadapannya.
"Saya Stevan Arga Lewiss, Dosen tamu untuk mata kuliah yang sudah kalian pilih ini di sistem akademi," ujar lelaki itu memperkenalkan diri secara resmi.
"Dosen?"
Rimba tersedak, napasnya tersengal. Inilah akhir hidupnya. Sosok lelaki yang benar-benar tak ingin ia temui lagi justru menjadi dosennya untuk satu semester ke depan. Cobaan apa lagi ini? Serasa ia ingin menghilang saja dan berubah menjadi asap dalam sekejap, asal tidak perlu bertemu dengan sang dosen tampan itu.
"Bagi yang ada pertanyaan silahkan!" ujar Steven menebar pesonanya didepan kelas.
"Bapak masih single?" tanya Arini nyengir yang kemudian disambut seruan mengejek dari mahasiswa lain.
"Apa perlu dijawab?" balas Steven datar.
"PERLUU!" jawab sebagian suara diruangan.
"Bapak kan muda banget nih, gelarnya apa Pak?" Ellena ikut mengangkat tangannya tak sabar bertanya, membuat mata Steven mengarah pada deretan Rimba. "Boleh nggak kalo kita manggil Kakak atau Mas aja diluar perkuliahan?" lanjut Ellena genit.
Steven tersenyum irit, matanya fokus pada Rimba, "Saya rasa status saya adalah persoalan pribadi. Tapi kalau itu penting, saya akan bilang, saya lajang!" ucapnya semakin mencipta jeritan histeris, "Untuk gelar, kalian bisa cek di bagian informasi akademi online, lengkap ada data saya di sana. Sekarang Kita mulai bahas kontrak kuliah satu semester ini!' ujarnya tegas.
"Berarti bolehkan manggil Kakak atau Mas diluar perkuliahan?" kali ini Angela yang angkat bicara, ia menggeliat sok seksi mirip ulat bulu kepanasan.
"Whatever you want, tapi tidak dikelas saya!" tegas Steven benar-benar berhasil menghipnotis seluruh mahasiswi kecuali Rimba.
.
.
.
Cinta itu selalu tahu siapa pemiliknya, sejauh apapun ia pergi dan berusaha menghindar, kalau semesta sudah berkehendak apa mau dikata.