NovelToon NovelToon
Sebatas Istri Bayangan

Sebatas Istri Bayangan

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Keluarga / Suami Tak Berguna / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:11.6k
Nilai: 5
Nama Author: rose.rossie

Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.

Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Tatapan Andi tetap tak beranjak dariku, dan entah mengapa, aku merasa bahwa sorot matanya bukan sekadar rasa simpati. Ada sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang selama ini aku abaikan di tengah kekacauan hidupku. Meski baru beberapa bulan mengenalnya, Andi sudah membuatku merasa dihargai, sesuatu yang tak pernah kudapatkan dari Dion. Tapi aku tak ingin terburu-buru, tak ingin terlalu percaya pada perasaan yang mungkin hanya sesaat.

Dia menghela napas, tangannya terangkat sejenak seperti ingin menyentuh bahuku, tapi kemudian terhenti di udara, ragu-ragu. “Kirana, kamu nggak sendirian. Apa pun yang kamu hadapi nanti, ingat, aku ada di sini.”

Aku tersenyum samar, berusaha meyakinkan diriku sendiri. “Terima kasih, Andi. Aku tahu kamu tulus… itu lebih dari cukup untukku sekarang.”

Dia menatapku dengan dalam, mencoba menangkap setiap kilasan emosi yang mungkin terlihat. “Kalau butuh waktu untuk sendiri, aku mengerti. Tapi kalau kamu siap berbagi cerita… kapan pun itu, kamu tahu di mana menemukanku.”

Aku hanya mengangguk. Kami berdua berdiri di bawah bayang-bayang gedung pengadilan yang menjulang, diam, namun dalam diam itu ada komunikasi tanpa kata yang sulit dijelaskan.

Beberapa hari berlalu sejak perceraian disahkan. Aku mulai menjalani hidupku kembali, bekerja sebagai konten kreator, dan perlahan mencoba menikmati hal-hal kecil yang dulu mungkin kuabaikan. Menyendiri di apartemen, tak lagi merasa seperti terpenjara di dalam pernikahan yang penuh kebohongan. Rasa sakit itu memang masih ada, seperti duri yang tertinggal di hati, tapi sekarang aku merasakan sedikit demi sedikit kelegaan.

Pada suatu malam, saat tengah tenggelam dalam pekerjaan, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak asing. Dion.

“Bisakah kita bicara? Hanya sebentar saja.”

Tanganku gemetar membaca pesan itu. Seluruh kenangan pahit kembali menyeruak, mengaburkan kedamaian yang baru saja kukenali dalam hidupku. Tidak ingin memberinya kesempatan lagi, aku mematikan ponsel, mencoba mengabaikan permintaan itu. Tapi, malam itu aku gelisah, bayang-bayang percakapan yang tak pernah terjadi terus menghantui pikiranku.

Keesokan harinya, aku bertemu Andi di kantor agensiku. Kami bekerja di sebuah proyek baru bersama, sebuah kolaborasi yang membuat kami harus menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Kepribadian Andi yang ramah dan humoris selalu berhasil mencairkan suasana. Tapi, hari ini, ia tampak sedikit berbeda.

“Kirana, kelihatannya kamu kurang tidur, ya?” Andi melirikku dengan kekhawatiran. “Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Aku menghela napas panjang, menyadari bahwa aku mungkin tak bisa menyembunyikan kegelisahan ini lebih lama. “Dion menghubungiku lagi tadi malam. Dia ingin bertemu… aku menolaknya, tapi… ada sesuatu yang membuatku gelisah.”

Andi terdiam sejenak, menatapku dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, “Apakah kamu… masih punya perasaan untuknya?”

Pertanyaan itu seolah menghantamku. Perasaan? Untuk Dion? Aku tertawa kecil, getir. “Aku nggak tahu, Andi. Yang pasti, bukan cinta lagi. Mungkin… perasaan ingin tahu, kenapa dia masih mencoba mendekat padaku. Apa yang sebenarnya dia inginkan?”

Dia mengangguk, memahami dengan baik dilema yang kurasakan. “Kadang-kadang, mereka yang menyakiti kita tak pernah benar-benar pergi. Mereka terus muncul, seperti bayangan. Tapi ingat, Kirana, kamu punya pilihan sekarang. Kamu bisa memilih untuk benar-benar meninggalkannya di belakang.”

Aku merenung, meresapi kata-katanya yang sederhana namun penuh makna. Mungkin memang inilah yang harus kulakukan—berhenti menoleh ke belakang, dan membiarkan bayangan Dion terkubur di masa lalu.

Tiba-tiba, Andi mengajakku pergi setelah jam kerja. “Butuh suasana berbeda. Ayo kita keluar sebentar. Anggap saja refreshing setelah kerja keras,” ajaknya sambil tersenyum.

Tanpa berpikir panjang, aku setuju. Kami pergi ke sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang tenang dengan suasana yang hangat. Duduk di sana, berbicara tentang banyak hal yang ringan dan sederhana, aku merasakan ketenangan yang tak pernah kutemukan selama ini.

Di tengah percakapan, Andi tiba-tiba terdiam, wajahnya sedikit memerah. “Kirana, ada sesuatu yang ingin kubilang,” katanya sambil menatapku dengan ragu.

Aku menatapnya, menunggu dengan cemas. “Ya, apa itu?”

Dia menghela napas, lalu menatapku dengan mata yang penuh ketulusan. “Aku… aku nggak tahu bagaimana mengatakannya, tapi selama ini aku… aku kagum dengan keberanianmu. Setiap kali melihatmu, aku merasa ada yang berbeda. Mungkin… aku mulai menyukaimu.”

Kata-kata itu membuatku terdiam. Aku merasa campur aduk, ada rasa bahagia, namun di saat yang sama ada ketakutan. Apakah aku benar-benar siap untuk membuka hati lagi? Apakah aku bisa mempercayai seseorang setelah luka yang masih segar ini?

Melihat reaksiku, Andi tersenyum canggung. “Aku nggak bermaksud mendesak atau membuatmu merasa nggak nyaman. Hanya saja… aku ingin jujur dengan perasaanku.”

Aku tersenyum, mencoba meredakan ketegangan. “Terima kasih, Andi. Kamu orang yang luar biasa. Tapi… aku nggak tahu apakah aku sudah siap untuk hal semacam ini.”

Dia mengangguk, menerima jawabanku dengan lapang. “Aku mengerti. Yang penting, aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, apa pun yang terjadi.”

Setelah itu, suasana kembali normal, seolah tak pernah ada pengakuan tadi. Tapi, hatiku terus berdebar-debar, memikirkan kemungkinan yang mungkin terjadi di masa depan.

Beberapa hari kemudian, aku menerima pesan lagi dari Dion, kali ini lebih mendesak. “Kirana, tolong jawab. Ini penting. Aku… butuh bantuanmu.”

Aku menghela napas panjang, merasa lelah dengan segala kehadirannya yang terus menghantui. Namun, sesuatu dalam diriku mendorong untuk menemuinya, entah demi kepastian atau sekadar penutupan.

Akhirnya, dengan hati yang berat, aku memutuskan untuk bertemu dengan Dion, di sebuah kafe dekat tempat kami tinggal dulu. Ketika aku tiba, dia sudah duduk di sana, menundukkan kepala, wajahnya terlihat kusut dan lelah.

“Kirana, terima kasih sudah mau datang,” ucapnya lirih saat melihatku duduk di depannya. Suaranya serak, dan sorot matanya tampak penuh dengan kesedihan yang mendalam.

“Ada apa, Dion? Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanyaku langsung, tanpa basa-basi.

Dia menatapku, mengusap wajahnya, lalu mulai berbicara pelan. “Kirana, aku tahu aku salah. Aku tahu aku menyakiti kamu… tapi aku dalam masalah besar sekarang. Keluargaku… mereka sedang mengalami kesulitan keuangan, dan aku nggak tahu harus bagaimana.”

Aku menghela napas panjang, mencoba menahan emosiku. “Jadi, kamu mau aku bantu, begitu?”

Dia mengangguk, tanpa rasa malu atau penyesalan yang seharusnya. “Aku tahu ini terdengar egois, tapi kamu satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu.”

Aku menatapnya tajam, merasa marah sekaligus kecewa. “Dion, kamu sudah menghancurkan hidupku, mengkhianatiku berkali-kali, dan sekarang kamu datang untuk meminta bantuan? Setelah semua yang terjadi, kamu masih punya keberanian untuk datang padaku?”

Dion menggigit bibirnya, tatapan matanya kosong. “Aku nggak tahu harus ke mana lagi, Kirana. Aku terdesak… aku nggak punya pilihan.”

Aku terdiam, mencoba mencerna semua ini. Di satu sisi, ada rasa benci yang membara, tapi di sisi lain, entah mengapa, ada perasaan iba yang tak bisa kuhindari. Mungkin karena aku terlalu baik hati atau mungkin karena aku masih manusia yang tidak bisa sepenuhnya membuang rasa kemanusiaan pada seseorang yang pernah hadir dalam hidupku.

Akhirnya, aku menghela napas panjang. “Dion… aku mungkin nggak bisa bantu kamu sepenuhnya, tapi aku bisa beri kamu satu nasihat. Mulailah belajar bertanggung jawab atas hidupmu sendiri, jangan bergantung pada orang lain.”

Dion terdiam, dan wajahnya seolah meredup, seperti orang yang kehilangan segala harapan. Dia hanya menatapku dengan kosong, tak lagi memohon atau memaksa. Sambil berdiri, aku menatapnya untuk terakhir kalinya, merasa bahwa ini adalah perpisahan yang sesungguhnya.

Ketika aku melangkah keluar dari kafe, perasaanku sedikit lebih lega. Tapi saat aku hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahku terhenti saat melihat seseorang berdiri di luar pintu. Andi. Dia menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan, antara kebingungan dan kekecewaan yang terselubung. Ternyata, sejak tadi, Andi melihat semuanya.

“Kirana…” suaranya nyaris berbisik, terdengar lebih sebagai pertanyaan daripada sapaan.

Jantungku seketika berdegup kencang, dan aku merasa tidak tahu harus berkata apa. Semua kata yang tadinya tertata di pikiranku mendadak menghilang. Aku tahu, melihatku bertemu dengan Dion bisa menimbulkan kesalahpahaman yang besar bagi Andi, apalagi setelah perasaan yang sempat ia ungkapkan.

“Ini… bukan seperti yang kamu pikirkan, Andi.” Aku akhirnya berbicara, mencoba menjelaskan meski aku sendiri tak yakin kata-kataku bisa meyakinkannya.

Andi memandangku, bibirnya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang ingin ia ucapkan. “Benarkah? Karena dari sini, aku melihatnya jelas, Kirana. Kamu bilang sudah selesai, sudah berakhir, tapi mengapa kamu masih memberi dia kesempatan? Mengapa kamu masih berada di dekatnya?”

“Aku… aku hanya ingin menutup semuanya dengan baik,” jawabku pelan, bahkan terdengar ragu di telingaku sendiri. “Dia meminta bantuan, dan aku merasa…”

“Merasa apa?” potong Andi, nadanya dingin. “Merasa bertanggung jawab? Atau masih punya perasaan yang belum bisa kamu lepaskan?”

Kata-katanya bagaikan cambuk yang menghujam, membuatku terdiam sejenak. Andi memang tak salah. Di satu sisi, aku tahu bahwa Dion adalah masa laluku, tapi di sisi lain, entah kenapa aku tetap merasa iba, atau mungkin… ada sisa ikatan yang tak sepenuhnya bisa kulepaskan.

Andi menghela napas panjang, tatapannya berubah dari tajam menjadi lembut namun terluka. “Kirana, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Tapi kalau masih ada Dion di dalam hatimu, mungkin… aku yang harus pergi.”

Kata-katanya membuat dadaku terasa sesak. “Andi, tunggu… tidak seperti itu. Aku hanya…”

Dia mengangkat tangan, memberi isyarat agar aku berhenti berbicara. “Sudah cukup, Kirana. Mungkin aku salah telah berharap. Mungkin kamu butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menyembuhkan dirimu.”

Andi berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku berdiri di depan kafe dengan hati yang remuk. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh, merasa seperti seseorang yang baru saja kehilangan harapan yang selama ini kubutuhkan.

Di saat itu, Dion muncul di belakangku, suaranya rendah namun penuh ironi. “Kamu kehilangan dia karenaku, ya?”

Aku menoleh, menatapnya dengan mata berkilat marah. “Kamu benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, Dion. Kau sudah menghancurkan hidupku sekali… dan sekarang kamu hancurkan lagi, kali ini lewat Andi.”

Dia hanya mengangkat bahu, seolah tak peduli. “Kirana, kau masih bisa memilih. Kalau kamu mau kembali, kita bisa coba dari awal…”

“Tidak!” seruku tegas, menatapnya dengan kebencian yang akhirnya aku biarkan muncul. “Jangan pernah harap aku kembali padamu. Apa yang terjadi dengan Andi… itu bukan alasan untuk memaafkanmu atau mengembalikan hubungan kita. Kau hanya bagian dari masa lalu yang ingin kutinggalkan.”

Dion terdiam, dan aku berbalik meninggalkannya, merasakan beban besar seakan terangkat dari bahuku. Tapi di sisi lain, hatiku terasa hancur karena Andi yang mungkin takkan kembali.

Malam itu, aku duduk di apartemen, sendiri, dengan perasaan campur aduk. Aku menatap layar ponselku, berharap ada pesan dari Andi—kata-kata yang mungkin akan mengobati luka ini. Namun, layar tetap kosong, hening seperti malam yang menyelimutiku.

Aku menghela napas panjang, merasakan betapa sepi dan sunyinya hatiku sekarang. Kehilangan Andi meninggalkan ruang kosong yang tak bisa kujelaskan. Mungkin, aku akhirnya mengerti bahwa selama ini dia adalah sosok yang benar-benar berarti, jauh lebih dari sekadar teman kerja atau orang yang peduli padaku.

Saat aku hendak meletakkan ponselku, layar menyala. Sebuah pesan masuk, tapi bukan dari Andi. Aku membuka pesan itu dengan tangan gemetar, menyadari bahwa pesan ini datang dari Dion lagi.

“Kalau ini keputusanmu, Kirana, baiklah. Tapi ingat, aku tidak akan diam. Jika kau tak bisa bersamaku, maka aku akan memastikan kau tidak bisa bersama siapa pun lagi.”

Membaca pesan itu, bulu kudukku berdiri. Terasa ada ancaman terselubung di balik kata-katanya. Aku tahu Dion bukan pria yang mudah menerima penolakan, tapi aku tak pernah membayangkan dia bisa sekejam ini. Perasaan takut mulai merayapi hatiku, dan malam itu aku terjaga, mendengar setiap suara di luar jendela, takut akan hal-hal yang tak terlihat tapi terasa mengintai.

Saat fajar hampir tiba, ponselku berdering lagi. Aku memeriksanya dengan hati-hati, berharap ini dari Andi, tapi ternyata panggilan itu berasal dari nomor tak dikenal.

Aku mengangkatnya, dan suara seorang wanita di ujung sana terdengar, suaranya gemetar dan terdengar panik.

“Maaf, apakah ini Kirana?”

“Ya, benar. Siapa ini?” jawabku, bingung.

“Aku… aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini, tapi tolong… jangan pernah dekat-dekat dengan Dion lagi. Kau tidak tahu siapa dia sebenarnya.”

1
Welsa Putri
dtggu lanjutannya
roserossie: Tunggu malam ini ya😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!