Keira Maheswari tak pernah menyangka hidupnya akan berubah begitu drastis. Menjadi yatim piatu di usia belia akibat kecelakaan tragis membuatnya harus berjuang sendiri.
Atas rekomendasi sang kakak, ia pun menerima pekerjaan di sebuah perusahaan besar.
Namun, di hari pertamanya bekerja, Keira langsung berhadapan dengan pengalaman buruk dari atasannya sendiri.
Revan Ardian adalah pria matang yang perfeksionis, disiplin, dan terkenal galak di kantor. Selain dikenal sebagai seorang pekerja keras, ia juga punya sisi lain yang tak kalah mencolok dari reputasinya sebagai playboy ulung.
Keira berusaha bertahan menghadapi kerasnya dunia kerja di bawah tekanan bosnya yang dingin dan menuntut.
Namun, tanpa disadari, hubungan mereka mulai membawa perubahan. Apakah Keira mampu menghadapi Revan? Atau justru ia akan terjebak dalam pesona pria yang sulit ditebak itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teddy_08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Aku Bukan Perempuan Manja
Bandung , sore hari
Pukul 16.10 WIB
Keira melirik jam dinding berulang kali. Entah kenapa perasaannya kini menjadi tak nyaman, diliputi rasa gelisah. Kini ia menyadari jika Revan memperlakukan dirinya berbeda dengan wanita lain. Atau mungkin ini semua hanya perasaan Keira saja yang terlalu kepedean?
Jari-jari lentiknya mengetuk-ngetuk meja berulangkali. Seolah tak sabar menunggu waktu pulang sambil menengok ke sana kemari, setelah seharian mengalami masa-masa kurang menyenangkan tentu saja ia ingin segera melepas penat.
“Beresin meja sebelum pulang!” peringatan singkat, yang keluar dari bibir pria dingin seperti Revan selalu diartikan perintah oleh siapapun yang mendengarnya.
“Apa?” Keira nampaknya tidak mendengar dengan jelas ucapan Revan. Ia masih memikirkan hubungan Debra dengan Wina. Dan bagaimana hari esoknya ketika bertemu dengan Wina.
Akankah Wina memusuhinya? Atau justru profesional mengikuti perintah si Boss untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadinya.
Semua itu ternyata mampu membuat pikiran Keira frustasi.
“Bereskan meja kamu, Keira! Aku menunggu,” tukas Revan dengan nada meninggi ketika berdecak kesal.
Keira terlonjak, hampir saja ia terpelanting ke samping setelah suara bariton Revan membuyarkan lamunannya. Untung saja jemarinya gesit berpegangan pada ujung meja.
Segera gadis itu meraih kanebo, beberapa spirtus ia teteskan di kaca meja, dengan cekatan ia mengelapnya hingga bersih.
“Dari mana kamu tahu jika ini mampu membersihkan noda tinta?” Revan mengernyitkan dahi, menyelidik.
“Mama sering melakukannya di meja kerja Papa dan Kak Alan sebelum ini.
Revan manggut-manggut. Ternyata tak sepenuhnya yang dikatakan Alan jika Keira hanyalah gadis manja penghambur uang benar adanya. Setidaknya, ada rasa lega di rongga dada Revan saat mengetahui ada sisi baik dalam diri si gadis manja.
“Ayo pulang,” ajak Revan yang mulai melangkah mendekatinya.
Keira segera meraih tas branded miliknya. Ia bahkan lebih mirip emak-emak sosialita yang mau arisan. Dandanannya terlalu menor meski masih terlihat cantik.
Sesekali Revan menoleh dan menggelengkan kepalanya, saat menyadari dandanan Keira terlalu berlebihan.
Keduanya berjalan beriringan. Di saat yang sama ketika sampai di koridor hotel, Wina dan Debra muncul dari arah lainnya.
Menyadari hal itu, Revan segera menggenggam jemari Keira. Tentu saja seluruh karyawan dan karyawati hotel menyoroti sosok Keira kala itu. Tak luput juga chef restoran yang ikut serta mengabadikan momen kebersamaan keduanya.
Revan terlihat tak acuh dengan sekitar. Ia bahkan sengaja membukakan pintu mobil untuk Keira sesampainya di parkiran. Membuat Debra yang menyaksikan hal itu semakin tersiram bensin karena iri.
Keira duduk menunggu di dalam mobil. Setelah itu, Revan menghampiri Debra dengan sengaja. “Jika aku melihatmu lagi mondar-mandir di hadapanku, aku akan melaporkan kamu atas tuduhan perbuatan kurang menyenangkan. Aku merasa terganggu.”
Debra melotot, lalu Revan meninggalkannya begitu saja memasuki mobil. Kemudian, ia melajukan kuda besinya hingga melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan usaha properti yang sejak delapan tahun silam dirintisnya.
“Bapak mau antar saya ke kost?” Keira mencondongkan badannya mendekati Revan yang fokus mengemudi.
“Ya. Kenapa memangnya.”
“Jangan Pak, bahkan menapakkan kaki di sana saja tidak pantas untuk seorang CEO sekelas Bapak,” sahut Keira, sengaja menguji kesabaran Revan sambil tersenyum kecut ke arahnya.
Revan tergelak, kemudian mengacak-acak rambut Keira. Membuat mata Keira melebar. Ia terkejut melihat perubahan sikap Revan di luar jam kerja. Sikapnya begitu luwes dan suka bercanda. Berbeda ketika sedang berada dilingkungan hotel yang dikelolanya, Revan terkesan kaku bahkan terkesan sadis. Disiplinnya tingkat dewa.
“Pertama, aku tidak pernah mempermasalahkan berpijak di manapun. Kedua, aku ingin kamu pindah di apartemen sebelahku. Ketiga, jika diluar jam kerja cukup panggil Kakak, atau Mas juga boleh.”
Keira tercengang. Ia berpikir sejenak. Udara seolah lebih mencekit dari biasanya. Dingin.
“Ini maksudnya gimana ya? Aku ‘kan Cuma asisten pribadi. Bukan istri,” Keira berdecak kesal.
“Ya itu aturannya, jika mau tetap bekerja dengan saya. Atau nasibnya bakal sama seperti asisten pribadiku yang sebelumnya.”
Keira refleks membuka bibirnya. Bagaimana ia menjelaskan pada Alan jika sampai ia menuruti keinginan si Boss gila itu.
“Pak, ku pikir kamu berbeda dengan sosok-sosok lainnya. Bapak sengaja datang di saat aku membutuhkan seseorang. Tapi aku bukan wanita yang mudah hanyut dalam bujuk dan juga rayuan!”
Lagi. Keira mampu membuat Revan tercekat berusaha mencerna ucapannya. Kehilangan kedua orang tuanya, dan menjadikannya seorang yatim piatu membuat gadis itu berhati-hati pada siapapun tanpa terkecuali.
“So, apa yang akan kamu lakukan jika aku memecat kamu!”
Revan kembali menampakkan sikap dinginnya dengan sengaja. Sorot matanya yang tajam, tidak sedetik pun terlepas dari wajah ayu gadis belia bernama Keira.
“Pak, lihat ke depan. Nanti nabrak orang, bahaya,” desis Keira, buku jemarinya yang lentik memalingkan wajah Revan hingga tatapan matanya kembali lurus menatap jalanan.
Rasa yang tak biasa kembali berdesir di dada Revan. Ada rasa senang, bahagia, dan berdebar bercampur jadi satu, ketika Keira memberanikan diri menyentuh pipinya.
Setelahnya, ia justru meraba pipinya sendiri. Revan sendiri bingung ada apa dengan dirinya.
Sepanjang perjalanan setelah kejadian itu mereka saling diam. Keira memilih menatap ke arah luar jendela. Sedangkan Revan, berusaha fokus mengemudikan mobil ke alamat yang diberikan oleh Keira sebelumnya.
Lima belas menit berlalu. Mobil pun terhenti di sebuah gang sempit, perumahan padat penduduk.
Sebuah kost sederhana, dengan ruangan yang saling berderet ternyata mampu menyita perhatian Revan.
“Kamu betah tinggal di sini?” tanyanya, dengan raut kesal.
Keira sejenak diam. Lalu membalikkan badannya. “Aku harus apa? Aku bukan seorang putri, atau bahkan Cinderella.”
“Jadi, apa keputusan kamu sekarang? Memilih untuk tinggal? Atau bersiap dipecat?”
Ucapan Revan terdengar seperti menyuguhkan buah simalakama. Membuat Keira berpikir keras, gadis itu terlihat bingung bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Tunggu, aku telepon Kak Alan saja dulu,” ujar Keira, segera mengeluarkan benda pipih berbentuk persegi di sakunya.
Akan tetapi, dengan cekatan Revan menggapai benda yang tersebut. “Alan gak boleh tahu tentang ini.”
Mata Keira terbelalak. Ia takut jika Revan memiliki rencana buruk pada dirinya.
“Jawab sekarang, aku tidak suka menunggu yang membuatku membuang waktu!” Revan memekik sembari memajukan langkahnya, bahkan ia membuat tubuh ramping Keira bersandar di dinding tanpa bisa bergerak lagi.
Keira memejamkan matanya. Sementara kedua bola mata Revan menjelajahi seluruh pahatan cantik di depan wajahnya, yang semakin lama semakin mendekat.
“Aku pergi jika tidak menjawab,” ucap Revan, kemudian mulai melangkahkan kakinya menjauh dari Keira.
“Jangan!” teriak Keira.
Revan menyembunyikan senyum kecil misterius di balik tubuhnya. “Akhirnya, kamu tidak bisa menolak, Keira.”
“Tunggu aku berkemas,” sahut Keira kemudian.
Keira hanya membawa sedikit pakaian. Ia bahkan berpamitan jika sedang ada pekerjaan untuk beberapa waktu pada ibu kost. Bukan tanpa alasan Keira mengatakan kebohongan itu. Ia hanya tidak ingin membuat Alan kecewa padanya.
—To Be Continued.