Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Cuma salah paham?
Suasana di ruang kerja Harry siang itu begitu sunyi. Hanya suara detak jarum jam dinding dan dengungan lembut AC yang menemani pria muda itu. Di hadapannya, layar laptop terbuka menampilkan rekaman demi rekaman yang ia simpan sejak beberapa hari lalu—semua tentang pengkhianatan dua orang yang paling ia percaya dalam hidupnya: ayah kandungnya dan wanita yang pernah ia anggap sebagai calon istrinya.
Harry duduk membisu, matanya nyalang menatap layar, namun berkabut oleh air mata yang mulai menetes tanpa permisi. Salah satu video menunjukkan Calvin mencium kening Raline dengan begitu lembut, sementara tangan mereka saling menggenggam erat, seolah-olah dunia hanyalah milik mereka berdua. Dalam video lain, Calvin memeluk Raline dari belakang, membisikkan sesuatu yang membuat gadis itu tersenyum dan tertawa kecil. Momen yang indah… andai saja itu bukan antara seorang ayah dan tunangan putranya.
"Bajingan…" bisik Harry pelan, tangannya mengepal kuat.
Namun di balik kemarahan yang meledak-ledak itu, hatinya justru terasa lebih sakit. Lebih hancur.
Ia mencoba menguatkan diri, menyumpah dalam hati bahwa ia tidak akan lagi peduli pada Raline, bahwa semua ini adalah akhir dari cintanya—tapi ternyata tidak semudah itu. Walau berkali-kali ia mengulang kalimat itu dalam kepala, rasa cinta yang tersisa dalam dirinya tak bisa dibohongi. Raline masih bersemayam di hatinya, menyakiti sekaligus menolak untuk hilang.
Dengan gemetar, Harry menutup laptopnya. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menghapus air mata yang masih membasahi pipinya. Tapi kali ini, bukan hanya untuk menangis. Ia punya satu langkah lagi yang harus ia lakukan—dan itu dimulai sekarang.
Ia meraih ponselnya, membuka galeri, lalu memilih beberapa video paling jelas dan menyakitkan. Tanpa banyak pikir, ia menekan tombol "kirim" dan mengirim video-video itu ke nomor sang ayah, Calvin.
Tak butuh waktu lama, centang biru muncul. Tanda bahwa pesan sudah diterima dan dibaca.
>>>
Sementara itu, di sebuah ruangan dosen di kampus tempat Calvin mengajar sebagai pembicara tamu, pria berwibawa itu sedang duduk santai bersama beberapa rekan sejawatnya. Suara tawa ringan mengisi ruangan, membahas topik ringan seputar mahasiswa dan kegiatan perkuliahan. Namun, momen itu buyar saat ponsel Calvin bergetar pelan di atas meja.
Ia melirik layar. Notifikasi pesan dari Harry.
Tanpa pikir panjang, Calvin mengambil ponselnya dan membuka pesan itu. Tapi detik berikutnya, wajahnya berubah drastis.
Matanya membesar. Nafasnya tercekat.
Di layar ponsel, tayangan video mulai berjalan. Wajahnya sendiri tampak jelas di sana, sedang memeluk dan mencium Raline. Suaranya terdengar memanggil nama gadis itu dengan nada lembut. Satu-persatu video lain muncul, dan semuanya menunjukkan betapa dalam dan terlarangnya hubungan mereka.
Para dosen lain menoleh saat melihat ekspresi Calvin yang tiba-tiba berubah tegang. Namun ia langsung berdiri.
"Maaf, saya harus pergi dulu," ucapnya cepat, mengambil jas dan tasnya sebelum buru-buru keluar dari ruangan.
Begitu berada di koridor, Calvin menyandarkan punggungnya ke dinding dan menatap layar ponsel yang masih terbuka. Tangannya gemetar.
"Darimana Harry dapat semua ini?" gumamnya pelan. Ia mengusap wajahnya, panik mulai merayap dalam pikirannya.
Tapi lebih dari itu, satu pertanyaan menguasai benaknya:
Apa yang akan dilakukan Harry setelah ini?
Calvin tahu betul, putranya bukan orang yang gegabah. Jika Harry mengirim video itu, berarti ia punya rencana. Dan rencana itu jelas tidak akan baik untuknya… maupun Raline.
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Calvin merasa gentar.
Dan ia tahu, badai besar sedang menuju padanya.
÷÷÷
Pagi menjelang siang di kantor pusat milik Harry tampak seperti biasa—sunyi, tenang, dan beraroma kopi dari sudut ruang pantry yang baru dibersihkan. Namun suasana hati Harry jauh dari kata tenang. Ia duduk di ruangannya, pria itu masih dibayangi oleh rasa kecewa, marah, dan sesekali luka yang entah kenapa tak kunjung sembuh. Di hadapannya, layar laptop tetap menyala, tapi matanya kosong. Pikirannya sibuk memutar semua kenangan yang sudah tak lagi berarti.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu ruangannya.
Tok. Tok.
"Masuk!" ucap Harry datar, tanpa menoleh.
Pintu terbuka perlahan dan muncullah sosok yang sama sekali tidak ia duga. Raline. Dengan langkah pelan dan senyum yang dipaksakan, gadis itu masuk sambil menenteng rantang berwarna putih pastel. Wajahnya tampak lelah, namun harapannya masih terpancar jelas di balik tatapan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Hai…" ucap Raline pelan, mencoba tersenyum. "Aku bawain makanan buat kamu. Semua kesukaan kamu…"
Harry menoleh perlahan, ekspresinya langsung berubah tajam. Kedua matanya menyipit, rahangnya mengeras.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyanya dingin, menatap gadis itu tanpa sedikit pun kerinduan.
Raline menutup pintu, lalu mendekat ke meja kerja Harry. Ia meletakkan rantang itu di atas meja dan berusaha menjaga ketenangan meski dadanya bergemuruh.
"Aku cuma… ingin memperbaiki semuanya, Harry," bisik Raline. "Aku tahu aku salah. Tapi sungguh, semua ini cuma salah paham."
Harry mengangkat alisnya, lalu menyandarkan punggung ke kursi, menatap gadis itu seolah mendengar sebuah lelucon.
"Salah paham?" ucapnya pelan. "Yang kamu maksud… tidur dengan papa aku itu salah paham?"
Raline sontak menggeleng, panik. "Enggak! Aku enggak tidur sama dia! Aku… cuma dekat sama dia karena aku mau tahu lebih banyak tentang kamu. Aku pengen tahu apa yang kamu suka, apa yang bikin kamu bahagia. Itu aja."
"Jangan anggap aku bodoh, Raline!" ucap Harry dingin. Ia meraih ponselnya, membuka folder tersembunyi, lalu memutar salah satu video.
Gadis itu terdiam.
Di layar ponsel, tampak Calvin sedang memeluk Raline dari belakang di dapur apartemen. Mereka tampak nyaman, tertawa, bahkan Calvin mencium leher Raline sebelum membisikkan sesuatu yang membuat gadis itu tersipu.
Raline membeku. Wajahnya pucat. Tangannya mengepal.
"Kamu—kamu menyadap apartemen aku?" serunya tiba-tiba, suaranya meninggi. "Kamu ngintip aku?! Harry, kamu nggak punya hak buat lakukan itu!"
Harry tetap tenang. "Aku punya semua hak ketika kamu tunangan aku, dan kamu malah main belakang sama ayah kandungku sendiri."
"Video itu privasi!" Raline berteriak. "Kamu harus hapus sekarang juga!"
Harry menatapnya tajam. "Dan biarin kamu terus bohong, terus mainin dua laki-laki dalam satu waktu? Aku rasa cukup."
"Harry, please… Aku minta maaf," ucap Raline, suaranya melemah. "Aku—aku bingung waktu itu. Aku gak tahu harus milih siapa, tapi aku sadar sekarang… aku cuma cinta sama kamu."
Harry tertawa sinis, matanya mulai berkaca. "Kalau kamu cinta sama aku, kamu gak akan ngelakuin itu dari awal, Raline."
Raline mencoba menyentuh tangan Harry, namun pria itu menarik tangannya cepat.
"Kalau kamu maksa aku hapus video itu," lanjut Harry pelan, "Aku bisa saja pilih opsi lain… buat nyebarin video itu ke semua sosial media. Atau mungkin… kirim ke keluarga besar kita? Supaya semuanya tahu siapa kamu sebenarnya."
Wajah Raline pucat seketika. Bibirnya bergetar, tubuhnya melemas.
"Harry, jangan… tolong… jangan lakuin itu…"
Namun Harry hanya menatapnya dalam-dalam, penuh luka dan dendam yang tak semudah itu padam.
"Aku gak akan nyebarin, asal kamu pergi… dan jangan pernah muncul lagi di hidup aku. Mulai sekarang, anggap aja kamu gak pernah kenal aku. Deal?"
Raline menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang kembali memuncak.
Akhirnya, dengan langkah berat dan air mata yang menetes diam-diam, gadis itu mengambil rantangnya kembali dan beranjak keluar dari ruangan itu… meninggalkan hati yang sudah hancur, dan pria yang tak lagi sama.