Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Alya Dengan Tenang
Sejak kejadian mengerikan yang menimpa Dita dan Bu Rini, suasana di Apartemen Sky Haven Residence berubah drastis, semakin suram.
Beberapa penghuni memutuskan pindah, sementara yang bertahan hidup dalam ketakutan. Bisikan samar masih terdengar di lorong-lorong, lampu sering berkedip tanpa alasan, dan hawa dingin yang tiba-tiba muncul membuat bulu kuduk meremang.
Namun, yang paling mencemaskan adalah Raka.
Raka, yang masih berusaha memahami semua yang terjadi, terus dihantui oleh sosok Alya. Namun, kali ini, Alya tidak lagi menebarkan ketakutan. Justru sebaliknya, ia terlihat lebih rapuh, seolah kehilangan arah.
Malam itu, Raka sedang berjaga di lobi. Jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Ia menyesap kopi hitamnya, mencoba melawan kantuk, ia merasakan suhu di sekelilingnya turun drastis, menjadi dingin. Aroma anyir mulai memenuhi ruangan. membuat perutnya mual.
Lampu redup berkedip, menimbulkan bayangan aneh di sudut ruangan. Suara langkah kaki kecil menggema di lantai marmer. Raka menegakkan punggung, matanya waspada.
Raka menelan ludah, tubuhnya merinding. Perlahan, ia mengangkat kepalanya.
Dan di sana, di balik meja resepsionis, Alya berdiri.
Ia mengenakan gaun putih yang kotor dan robek. Rambut panjangnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Tapi kali ini, ekspresinya berbeda. Tidak ada senyum menyeramkan, tidak ada sorot mata penuh dendam. Hanya tatapan kosong, seolah-olah ia tersesat.
“Apa yang kau inginkan, Adik Alya?” Raka bertanya, suaranya sedikit bergetar.
Alya menatapnya dengan mata sayu. Tidak ada senyum menyeramkan, tidak ada teror seperti sebelumnya. Ia tampak seperti seorang anak kecil yang tersesat, menanggung luka yang terlalu dalam.
Alya menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Mereka harus tahu... Mereka harus merasakan...” suaranya terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.
Raka menghela napas. Ia sadar, Alya tidak akan bisa pergi dengan tenang sebelum semua dendamnya tuntas. Tetapi, apakah membalas dendam benar-benar jalan terbaik?
Dengan hati-hati, ia mendekati Alya.
“Alya, kakak tahu kamu sakit hati, kakak tahu kamu tersakiti, tapi... kalau kamu terus begini, kamu juga akan terjebak di sini selamanya. Kamu nggak mau tenang?”
Alya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Alya menggigit bibirnya, tampak ragu. “Mereka menyakitiku... Mereka tidak peduli...”
“Tapi sekarang mereka tahu,” Raka membujuk dengan lembut.
“Dita sekarang koma, Bu Rini kehilangan penglihatannya... Mereka sudah menerima akibat dari perbuatannya. Sekarang saatnya kamu pergi, Alya.”
Namun, Alya tetap bergeming. Raka tahu bahwa ada satu hal yang belum terjadi. Pelaku harus benar-benar meminta maaf, dan menyesali perbuatannya.
Keesokan harinya, Raka memutuskan mengunjungi rumah sakit tempat Dita dirawat.
Koma selama hampir dua bulan lebih telah membuat tubuh Dita lemah dan kurus. Wajahnya pucat, matanya tertutup rapat seakan masih dihantui mimpi buruk.
Raka duduk di sampingnya dan berbisik lirih, “Alya masih menunggumu.”
Seakan mendengar suara itu, tiba-tiba monitor jantung Dita berbunyi lebih cepat. Jari-jarinya bergerak sedikit. Perawat yang melihat kejadian itu segera memanggil dokter.
Setelah 49 hari dinyatakan koma, Dita akhirnya siuman.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Matanya kosong, dan bibirnya bergetar saat mengucapkan nama Alya.
“Dia di sini... Dia masih ada...”
Suara Dita terdengar parau, penuh ketakutan. Ia memegang erat selimutnya, seolah takut sesuatu akan menariknya kembali ke kegelapan.
Dalam kondisi lemah, Dita meminta bertemu dengan orang tua Alya. Meski masih sulit berbicara, ia bersikeras. Ia ingin mengaku.
Ketika kedua orang tua Alya datang, dengan tubuh masih lunglai, ia bersimpuh di hadapan mereka, menangis sesenggukan. Air matanya jatuh tanpa henti.
“Aku... Aku yang membuat Alya seperti ini...” suaranya gemetar. “Aku minta maaf... Aku minta maaf...”
Tangisnya pecah, penuh dengan penyesalan yang begitu dalam.
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan. Orang tua Alya yang sudah lama dirundung duka hanya bisa terdiam dan menatap Dita, mata mereka basah oleh air mata.
“Semua ini salahku... Aku menyebarkan rumor tentangnya... Aku mengabaikannya ketika dia meminta tolong... Aku tidak berpikir bahwa itu akan menjadi... akhir baginya...”
Tangis Dita semakin keras. “Aku seharusnya tidak membiarkan mereka melakukan itu padanya... Aku seharusnya menolongnya... Aku terlalu takut...”
Kesaksian Dita mengguncang semuanya. Orang tua Alya menangis, bukan karena marah, tetapi karena kesedihan yang selama ini tidak pernah tuntas.
Dan di sudut ruangan, Raka bisa merasakan sesuatu berubah.
Hawa dingin yang biasa menyelimutinya kini perlahan memudar.
Malam itu, Alya kembali menemui Raka untuk terakhir kalinya.
Namun kali ini, tidak ada hawa dingin. Tidak ada ketegangan. Hanya keheningan yang begitu menenangkan.
Alya berdiri di tengah lobi, tubuhnya tampak lebih samar dari sebelumnya.
“Apa kamu yakin sudah siap pergi?” Raka bertanya.
Alya menatapnya dengan senyum kecil. Tidak ada lagi sorot mata penuh kebencian. Tidak ada aura gelap yang menyesakkan. Yang tersisa hanyalah seorang anak kecil yang akhirnya menemukan kedamaian.
“Aku hanya ingin mereka tahu aku ada... Aku ingin mereka sadar...” suaranya bergetar.
“Sekarang mereka sadar. Kamu bisa pergi dengan tenang,” jawab Raka sambil tersenyum.
Alya mengangguk perlahan. Tubuhnya mulai memudar, seperti kabut yang tertiup angin.
Sebelum benar-benar menghilang, ia menatap Raka sekali lagi.
“Terima kasih kak Raka...”
Dan kemudian, ia menghilang. Apartemen kembali sunyi, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Sky Haven Residence terasa damai.
Epilog :
Beberapa minggu kemudian, orang tua Alya memutuskan untuk pindah. Mereka tidak ingin lagi tinggal di tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit. Dengan langkah berat, mereka meninggalkan apartemen, berharap bisa menemukan kedamaian di tempat lain.
Sementara itu, Dita yang masih dalam masa pemulihan, memilih untuk mengabdikan dirinya dalam kegiatan sosial. Ia merasa perlu menebus kesalahannya dengan cara yang lebih baik.
Bu Rini, meski masih trauma dengan kejadian yang menimpanya, mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya sebagai penyandang tunanetra. Namun, sesekali ia masih mendengar suara bisikan kecil di telinganya, meski samar.
Dan Raka...
Ia tahu semuanya belum benar-benar berakhir.
Karena suatu malam, saat ia menutup lobi dan berjalan menuju apartemennya, ia melihat sesuatu di ujung lorong.
Sosok lain.
Berdiri diam dalam bayangan, mengawasinya.
Sky Haven Residence masih menyimpan banyak rahasia kelam.
Dan mungkin, Alya bukan satu-satunya penghuni yang belum tenang...
Raka membeku di tempatnya. Matanya terpaku pada sosok samar di ujung lorong. Bayangan itu berdiri diam, mengawasinya tanpa bergerak. Hawa dingin mulai merayapi tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang.
Jantungnya berdebar cepat, namun ia mencoba mengendalikan napasnya. Alya sudah pergi. Lalu siapa ini?
Perlahan, sosok itu melangkah maju. Cahaya redup dari lampu lorong memperlihatkan siluetnya lebih jelas.
“Siapa... kau?” Raka bertanya, suaranya hampir berbisik.
Tidak ada jawaban.
Namun tiba-tiba, pintu salah satu unit apartemen terbuka dengan sendirinya.
ke unit lantai 7