NovelToon NovelToon
Deonall Argadewantara

Deonall Argadewantara

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mycake

Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.

Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.

Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Deonall Story

Ruang rapat lantai tujuh terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC-nya, tapi karena suasananya yang begitu tegang. Semua karyawan duduk berjajar rapi, saling melirik penuh tanda tanya.

Deon dalam wujud Agra duduk di pojokan, berusaha terlihat tenang padahal jantungnya berdetak seperti genderang perang.

Di depan, Pak Aditya, salah satu kepala divisi paling ditakuti seantero perusahaan, berdiri dengan tangan bersedekap dan tatapan tajam ke seluruh ruangan.

Kertas-kertas laporan berserakan di meja, menandakan pertemuan ini bukan sekadar rapat biasa.

“Saya mau tahu,” ucap Pak Aditya dingin. “Siapa yang sempat mengakses folder Confidential 2030 di server pusat minggu ini?”

Ruangan seketika hening. Bahkan suara napas pun terdengar jelas. Deon menelan ludah pelan. Satu gerakan salah, bisa tamat riwayatnya di perusahaan ini.

Ia menatap ke depan pura-pura bego, seperti anak magang lugu yang salah masuk ruangan karena nyasar cari pantry.

Pak Aditya menyapu pandangan, menatap tajam setiap wajah.

“Gak usah pura-pura amnesia. Ini bukan sinetron. Yang merasa, ngaku aja. Sebelum saya kerahkan tim IT buat lacak IP address.”

Gwen yang duduk tak jauh dari Deon mendesah pelan. “Kayaknya gue tau siapa,” bisiknya datar sambil melirik ke arah Deon sekilas.

Deon menoleh pelan. “Ngomong-ngomong, ini rapat apa sidang pengadilan sih?” bisiknya balik, mencoba mencairkan suasana.

"Kayaknya, dua duanya sih." jawab Gwen lebih berbisik.

Pak Aditya menepuk meja keras.

“Buat yang merasa tidak sengaja, masih ada waktu buat ngomong baik-baik sekarang. Sebelum saya ngomong dengan Pak Presiden Direktur langsung.”

Deon angkat tangan setengah, wajahnya polos.

“Pak, kalau saya cuma lagi belajar klik-klik file karena pengen belajar sistem perusahaan itu termasuk niat mulia, kan?”

Semua kepala langsung menoleh ke Deon.

Pak Aditya mengerutkan dahi. “Kamu siapa?”

Deon kaku sebentar. “Agra, pak. Anak magang.”

Pak Aditya mendekat dengan tatapan curiga. “Agra, kamu baru dua minggu di sini, ya?”

“Baru dua hari sih, pak,” jawab Deon sambil senyum kaku. “Tapi semangat saya udah kayak dua tahun.”

Beberapa orang menahan tawa. Gwen memutar bola matanya. “Tuh anak emang niat hidupnya absurd.”

Pak Aditya akhirnya mendesah panjang. “Saya kasih peringatan terakhir. Gak ada yang boleh otak-atik file itu tanpa izin.”

Deon mengangguk cepat. “Siap, pak! Saya cukup otak-atik hati perempuan aja, file gak akan saya otak atik lagi, sumpah.”

Seketika, seisi ruangan meledak dalam tawa kecil yang tertahan. Ketegangan menurun, walau atmosfer waspada masih terasa. Gwen melirik Deon lagi, kali ini dengan wajah setengah bingung, setengah kagum.

“Lo emang cari mati dengan cara yang kocak ya,” bisiknya sambil nyengir kecil.

Deon cuma nyengir, dalam hati berkata, Satu langkah lebih dekat ke rahasia perusahaan dan mungkin juga ke pemecatan kalau gak hati-hati.

Suasana ruang rapat perlahan kembali tenang, tapi aura serius masih menggantung seperti kabut tebal.

Deon atau Agra bagi semua orang di ruangan itu sedang berdiri di sisi kanan meja panjang, membagikan selembar demi selembar kertas laporan ke setiap peserta rapat.

Tangannya bergerak otomatis, tapi matanya awas. Setiap kata yang diucapkan oleh Pak Aditya di depan ruangan, dia resapi dalam-dalam.

“…dan proyek yang akan kita bahas berikutnya adalah Proyek R. Mohon kerahasiaannya tetap dijaga seperti biasa, karena ini menyangkut konsorsium strategis yang sudah ditandatangani oleh pihak luar.”

Deon nyaris menjatuhkan tumpukan kertas di tangannya. Proyek R? Jantungnya langsung menghentak keras di dadanya.

Itu nama yang sama yang dia lihat di folder rahasia tempo hari. Nama yang tidak pernah disebutkan secara gamblang di permukaan, tapi terus menghantui pikirannya.

Dia segera menyelesaikan tugas membagikan kertas, lalu duduk di kursinya, matanya tak lepas dari layar proyektor yang mulai menampilkan grafik dan dokumen dengan label CONFIDENTIAL.

Pak Aditya melanjutkan, “Untuk sekarang kita hanya bisa bocorkan bahwa proyek ini bersinggungan dengan akuisisi dan pengembangan lahan strategis milik grup sebelah. Target selesai di Q3 tahun ini. Mohon masing-masing kepala divisi siapkan strategi backup.”

Deon bersandar ke depan, kedua sikunya bertumpu di meja. Sorot matanya tajam, berbeda dari biasanya yang santai dan asal.

Bahkan Gwen yang duduk di sebelahnya melirik heran, melihat Agra yang biasanya nyeleneh kini tampak fokus seperti seorang profesional tulen.

“Pak maaf, boleh saya tanya?” suara Deon tiba-tiba memecah kesunyian.

Semua mata beralih padanya. Bahkan Pak Aditya tampak agak terkejut. Tapi dia mengangguk, memberi izin.

“Dalam dokumen ini,” Deon menunjuk lembaran yang baru saja dibagikan, “terdapat indikasi bahwa proyek ini sudah dirancang sejak 2015. Kenapa baru dijalankan sekarang? Apakah ada kendala hukum sebelumnya?”

Seketika suasana menegang. Beberapa peserta rapat saling pandang, seolah pertanyaan itu terlalu tajam untuk dilontarkan oleh anak magang.

Pak Aditya menyipitkan mata. “Itu pertanyaan yang cukup spesifik, Agra.”

Deon tertawa kecil, canggung. “Kebetulan saya suka sejarah, Pak. Dan ini kayak semacam misteri yang belum ketebak ending-nya.”

Pak Aditya menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kita tidak bisa bahas lebih dalam di forum terbuka. Tapi kamu bisa tulis laporan pemahamanmu tentang proyek ini, kirim ke saya lewat email. Saya suka anak magang yang aktif.”

Deon mengangguk cepat, walau dalam hatinya bergemuruh. Proyek ini ternyata benar-benar besar. Dan sudah ada sejak gue belum sadar diri.

Di sampingnya, Gwen mencolek lengan Deon. “Lo seriusan barusan? Gue kira lo udah diculik alien terus digantiin.”

Deon melirik Gwen, senyum tipis.

“Atau mungkin gue baru sadar siapa yang sebenernya harus gue lawan,” gumamnya pelan, hampir seperti bicara ke diri sendiri.

Dan di balik senyumnya, ada ribuan pertanyaan yang mulai bermunculan di kepalanya. Tentang proyek ini. Tentang Bastian. Dan tentang ayahnya sendiri.

Pak Aditya kembali berbicara, namun suara pria paruh baya itu kini terasa seperti gema samar di telinga Deon.

Pikirannya masih tertinggal di tiga huruf yang terpampang jelas di layar Proyek R. Jantungnya berdetak tak karuan, seperti menyadari bahwa dia semakin dekat ke pusat badai yang selama ini tersembunyi rapat.

Deon menggenggam pulpen di tangannya dengan erat. Napasnya perlahan, berusaha tenang, tapi matanya tak pernah lepas dari layar presentasi.

Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan-tatapan aneh dari beberapa peserta rapat yang mungkin merasa heran dengan sikapnya yang tiba-tiba terlalu serius untuk ukuran anak magang.

"...dan nilai investasinya kemungkinan akan melonjak dua kali lipat jika konsorsium dari pihak luar menyetujui renegosiasi kontrak," lanjut Pak Aditya dengan nada dingin.

Kening Deon berkerut. Ia menunduk, mencatat cepat beberapa poin penting yang menurutnya aneh.

Kata-kata seperti konsorsium, renegosiasi, dan lahan strategis grup Ramelan terasa seperti potongan teka-teki yang selama ini ia cari.

Seketika, Deon mengangkat kepala. “Maaf, Pak,” ucapnya pelan, namun tegas. “Kalau boleh tahu, siapa yang pertama kali menginisiasi proyek ini? Di sini hanya disebut tim lama tanpa nama.”

Ruangan langsung hening. Beberapa orang mulai saling pandang, dan Pak Aditya tampak menimbang-nimbang jawabannya.

“Informasi itu hanya untuk level direktur, Agra. Fokusmu cukup di analisa laporan dan strategi pemasaran,” jawabnya tenang, namun nadanya mengandung peringatan halus.

Deon menelan ludah. “Baik, Pak. Maaf, hanya ingin tahu konteks.”

Gwen melirik tajam. “Lo mau mati ya?” bisiknya dari samping.

Deon membalas lirikan itu dengan gumaman nyaris tak terdengar, “Justru gue mau hidup.”

Tiba-tiba, layar presentasi berpindah halaman, menampilkan bagan struktur pelaporan proyek. Di sudut bawah layar, tertulis nama kecil yang membuat bulu kuduk Deon meremang, yaitu Bastian Ramelan, Koordinator Proyek sebagai bayangan.

Bayangan? Maksudnya apa? pikir Deon, matanya membelalak pelan. Tangannya mencengkeram kertas rapat seperti ingin menembus isi laporan itu dengan tatapan.

“Rapat ditutup sampai di sini. Terima kasih untuk semua yang hadir,” ucap Pak Aditya kemudian.

Semua mulai berkemas, namun Deon tetap duduk di tempatnya, termangu. Hatinya berdegup kencang, bukan karena takut tapi karena dia yakin satu hal.

Semakin dalam gue gali, semakin kotor semuanya terlihat.

__

Sambil pura-pura sibuk merapikan kertas di meja, Deon masih menatap layar yang baru saja mati. Rapat sudah bubar, tapi pikirannya belum benar-benar meninggalkan ruangan itu.

Nama Bastian Ramelan terus terngiang-ngiang di telinganya. Kata bayangan seperti alarm bahaya yang terus berdentang tanpa henti di kepala.

Gwen yang sudah berdiri dan hendak melangkah keluar, melirik sekilas. “Lo kenapa diem aja? Kena guna-guna presentasi barusan?”

Deon hanya nyengir kecil. “Ya bisa di bilang semacam kutukan informasi setengah-setengah.”

“Lo tuh aneh banget sumpah,” gumam Gwen sambil berjalan keluar, tapi ekor matanya masih memperhatikan Deon.

Begitu ruangan benar-benar sepi, Deon bergerak cepat. Dia kembali duduk, menyalakan laptop miliknya, lalu pura-pura mencari dokumen kerja. Padahal, diam-diam dia membuka direktori data rapat dan mencoba menelusuri ulang file presentasi tadi.

Tapi file itu tiba tiba saja hilang.

“Lah? Tadi kehapus?” bisiknya panik.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Deon buru-buru menutup semua tab dan berdiri tegap, memasang wajah polos. Ternyata, hanya OB yang masuk mengambil gelas-gelas sisa rapat.

Deon menghela napas lega. Tapi rasa penasaran di dadanya makin menggila. Dia tak bisa diam. Dia harus tahu lebih. Harus. Sekarang.

Sambil melangkah keluar dari ruang rapat, Deon bergumam pelan, “Bastian Ramelan, lo main api di ruang gelap, dan sekarang gue yang bakal nyalain senter.”

Tapi langkahnya terhenti mendadak ketika dari ujung koridor dia melihat sosok Bastian sedang berbicara serius dengan seseorang dan pria itu bukan karyawan kantor ini. Deon menyipitkan mata.

“Bentar, itu yang nagih utang kemarin?” bisiknya, kaget.

Deon langsung berbalik arah. “Oke. Ini udah gila. Tapi gue lebih gila.”

Dia melangkah cepat. Mulutnya komat-kamit.

“Waktunya operasi tikus kantor dimulai.”

Sambil berjalan cepat menyusuri koridor kantor, Deon nyaris tersandung kabel printer yang menjulur dari salah satu ruangan.

“Astaga! Siapa sih yang naruh kabel kayak ular piton di tengah jalan gini?!” gerutunya setengah bisik, takut dicap berisik, tapi tetap mengumpat penuh semangat.

Langkahnya terhenti di dekat sudut dinding, tempat biasa orang numpang ngadem kalau lagi males kerja.

Dia mengintip pelan, berharap bisa menangkap sedikit percakapan Bastian dan si pria misterius tadi.

Tapi sialnya, yang dia temui malah bukan Bastian.

Melainkan dua staf HRD yang lagi gibah sambil ngemil risoles.

“Oh my God! Itu si Agra ya?” bisik salah satunya.

“Dia ngapain sih ngendap-ngendap gitu? Nyari hantu?”

Deon langsung tersentak, berdiri tegak, dan berusaha pasang muka innocent. “Eh halo mba-mba HRD yang cantik. Aku cuma lagi hmm eh cuma lagi latihan roleplay jadi detektif. Buat bonding sama tim!”

Mereka saling pandang, lalu tertawa geli. “Kamu tuh ya, aneh tapi lucu.”

“Udah, gih, latihan jadi detektifnya di pantry aja, jangan di sini. Ntar malah dikira kamu ngintip ruang bos!”

Deon nyengir kuda. “Noted mba. Demi keselamatan masa depan Agra dan dompetnya.”

Setelah para HRD berlalu, Deon memukul pelan dahinya sendiri. “Gila, ini kantor isinya plot twist semua. Gue belum tau siapa dalangnya, tapi kayaknya jadi badut duluan.”

Tapi, saat dia hendak balik ke ruangannya, matanya tak sengaja melihat sesuatu. Di antara celah pintu ruang arsip yang sedikit terbuka ada map cokelat besar dengan stiker merah di ujungnya bertuliskan sesuatu yang sedang dia cari tahu, tulisan itu PROYEK R - TERBATAS.

Mata Deon membelalak. “Proyek R lagi?!”

Dengan hati-hati, dia mendekat. Tapi baru setengah jalan, suara dari belakang membuyarkan fokusnya.

“AGRA! Lo nyolong risoles siapa?!” teriak satpam iseng.

Deon langsung lompat kecil kayak kecoak kejebak lem tikus.

“Oke. Fokus, Deon. Fokus! Tapi risoles juga enak sih gak bisa nolak gue.”

1
🌻🍪"Galletita"🍪🌻
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
Isabel Hernandez
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Mycake
Mampir yukkk ke dalam cerita Deonall yang super duper plot twist 🤗🤗🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!