Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Mulai sekarang!
Setelah kepergian Raline, ruangan itu terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding dan desiran pendingin ruangan yang menemani Harry. Ia duduk lemas di kursinya, wajahnya penuh amarah yang berusaha ia redam. Tangan kirinya meraih dasi di leher, melepas simpulnya dengan kasar, lalu melempar benda itu ke sembarang arah tanpa peduli jatuh di mana.
Dadanya masih bergemuruh. Jika bukan karena ia masih memiliki sisa cinta, mungkin tadi Raline sudah merasakan perlakuan lebih buruk darinya. Mungkin saja Harry sudah mendorongnya keluar dari kantor itu, atau bahkan mendorongnya dari tangga hingga terguling—tak peduli luka seperti apa yang akan ia derita. Tapi tidak, Harry memilih cara lain. Ia akan menyiksa gadis itu dengan siksaan batin. Sesuatu yang lebih pelan, tapi jauh lebih menyakitkan. Raline akan merasakan kehilangan. Bukan hanya kehilangan Harry, tapi juga masa depannya. Dan semua itu akan ia rancang dengan rapi.
Namun, ketenangan singkat itu segera pecah ketika pintu ruangannya diketuk keras.
Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka dan sosok yang sudah sangat ia kenal masuk dengan wajah merah padam: Calvin, ayah kandungnya sendiri. Pria paruh baya itu langsung menghampiri meja kerja Harry dan—Brak!—mengebrak meja dengan keras hingga beberapa kertas berhamburan.
"Apa-apaan kamu?" bentak Calvin dengan nada tinggi. "Apa maksud kamu kirim video kayak gitu ke Papa, ha?!"
Harry menoleh pelan, sama sekali tak terguncang. Wajahnya datar, bahkan sedikit tersenyum sinis.
"Aku cuma mau kasih tahu kalau aku udah tahu semuanya, Pa," jawab Harry santai. "Dan sekarang… tinggal Mama yang perlu tahu. Aku penasaran, gimana reaksi Mama waktu lihat suaminya tidur bareng tunangan anaknya sendiri."
Mata Calvin membelalak. Rahangnya menegang. "Kamu—kamu mau apa sebenarnya? Mau rusak keluarga kita, iya?!"
"Bukan aku yang ngerusak keluarga kita, Pa," potong Harry tajam. "Papa yang mulai duluan. Papa yang nggak bisa jaga diri. Jangan salahin aku kalau sekarang semuanya berantakan."
Calvin terdiam. Wajahnya mulai kehilangan warna. Ia memang tidak memikirkan sejauh itu—tentang video yang mungkin tersebar, tentang Ziva, istri sahnya yang selama ini membiayai hidupnya, memberikan fasilitas, termasuk apartemen yang dulu ia pakai untuk berselingkuh dengan Raline. Semua itu bisa lenyap hanya karena satu video.
"Itu—itu pasti editan! Kamu yang edit video itu, ya? Kamu mau fitnah Papa?!" seru Calvin.
Harry mendengus. Ia lalu membuka laci meja, mengeluarkan sebuah flashdisk kecil, dan melemparkannya ke arah meja.
"Video aslinya ada di situ," katanya pelan. "Direkam langsung dari kamera pengintai yang aku pasang sendiri di apartemen Raline. Kalau Papa masih mau bilang itu editan, silakan Papa lapor ke polisi. Tapi siap-siap aja, karena rekamannya ada lima jam durasinya."
Calvin mematung. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang bisa ia keluarkan. Wajahnya kini benar-benar panik. Ia tahu Harry tak main-main.
Harry bangkit dari kursinya, melangkah mendekati ayahnya, lalu berdiri tepat di hadapan pria itu.
"Aku muak sama semua kebohongan ini," ucap Harry lirih tapi penuh tekanan. "Dan mulai sekarang, aku bukan anak yang bisa Papa peralat lagi. Aku bukan anak kecil yang cuma bisa diam dan nangis."
Calvin menunduk, mencoba mencari celah untuk membela diri, tapi semua kata terasa sia-sia. Ia tahu, posisinya sekarang benar-benar terancam.
"Aku belum kirim videonya ke Mama," lanjut Harry sambil menatap langsung ke mata ayahnya. "Tapi kalau Papa masih berani muncul di hadapanku atau coba dekati Raline lagi… aku akan pastikan bukan cuma Mama yang tahu. Tapi semua rekan dosen, semua mahasiswa, bahkan media juga akan tahu siapa Calvin Hartanto sebenarnya."
Detik itu juga, tubuh Calvin terasa lemas. Ia tahu, reputasinya bisa hancur seketika. Ia kehilangan kendali.
"Sekarang keluar dari ruangan aku!" ucap Harry tegas. "Sebelum aku bener-bener muak dan kirim semuanya sekarang juga."
Calvin memandang putranya sekali lagi, lalu memutar tubuhnya dan berjalan keluar dengan langkah berat. Pintu kembali tertutup.
Harry berdiri diam di tengah ruangan, menghembuskan napas panjang. Di balik kekuatannya, ada luka yang masih berdarah. Tapi untuk sekarang, satu-satunya yang membuatnya bertahan hanyalah satu hal: balas dendam.
÷÷÷
Sinar matahari sore menembus jendela besar kantor Harry, menyinari meja kerja yang dipenuhi berkas dan laptop yang belum sempat ditutup. Namun Harry tak memedulikannya. Setelah pertemuannya dengan Calvin tadi, pikirannya dipenuhi banyak strategi, rencana, dan permainan psikologis yang akan ia gunakan untuk mengguncang dunia kecil milik ayah dan mantan tunangannya.
Dengan cepat, Harry meraih ponsel dari saku jasnya. Ia mencari satu nama yang tak asing: Robert—asistennya sekaligus orang kepercayaannya sejak lama. Tak butuh waktu lama, panggilan tersambung.
"Robert, kamu bisa mulai sekarang," kata Harry tanpa basa-basi.
"Mulai apa, Pak?" Suara pria di seberang sana terdengar tenang.
"Sebarkan isu soal Calvin Hartanto! Buat gosipnya ramai. Jangan yang terlalu terang-terangan dulu. Cukup desas-desus yang bisa bikin dia dan Raline panik. Gunakan media kampus, forum-forum, atau akun anonim di media sosial. Aku nggak butuh video itu viral sekarang. Cukup permainan kecil dulu."
"Baik, Pak!" jawab Robert, cepat memahami maksudnya. "Saya akan urus secepatnya."
"Dan ingat, jangan libatkan nama saya. Kita lihat seberapa kuat mereka bisa bertahan dengan tekanan publik."
Setelah panggilan berakhir, Harry meletakkan ponsel dan bersandar di kursinya. Sebuah senyum tipis terbentuk di wajahnya. Ia menikmati sensasi mengendalikan situasi, membuat dua orang yang telah mengkhianatinya menari dalam jerat ketakutan.
Namun, lamunan itu segera terputus saat terdengar ketukan pelan di pintu ruangannya. Tak lama kemudian, suara gadis lembut nan imut menyusul dari balik pintu.
"Pak Harry, ini Sandrina… Boleh saya masuk?"
Wajah Harry langsung berubah cerah. Senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Suara itu, selalu berhasil mengalihkan pikirannya dari segala kekacauan.
"Masuk, Sandrina!" sahutnya cepat.
Pintu terbuka dan masuklah gadis berambut panjang dengan penampilan rapi namun tetap manis. Di tangannya ada beberapa map berisi dokumen yang harus ditandatangani Harry. Ia berjalan perlahan, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati.
"Ini berkas yang tadi Bapak minta," ucap Sandrina sambil menunduk sopan. "Kalau tidak ada lagi, saya permisi dulu."
Namun sebelum ia sempat melangkah menjauh, tangan Harry terulur dan menggenggam pergelangan tangannya.
"Jangan pergi dulu!" ucapnya lembut namun penuh tekanan. "Temani aku sebentar. Hari ini berat banget buatku."
Sandrina tampak ragu sejenak, menoleh dengan mata lebar dan bingung. Namun, sebelum sempat berkata apa pun, Harry sudah menariknya perlahan hingga gadis itu terduduk di pangkuannya.
"Pak Harry…," ucapnya pelan, sedikit canggung. "Ini… nggak pantas…"
"Tenang aja, aku cuma butuh teman bicara," ujar Harry sambil menatap mata gadis itu dalam-dalam. "Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku tenang sekarang."
Sandrina hanya terdiam. Pipinya memerah, namun ia tidak melawan. Ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa Harry sedang rapuh, dan di sisi lain… ia memang menyimpan rasa pada pria itu sejak lama. Mungkin ini hanya bagian dari permainan, atau mungkin sesuatu sedang berubah dalam hubungan mereka.
Harry menyandarkan kepalanya ke bahu Sandrina, memejamkan mata sejenak. "Kadang aku ngerasa... semua orang bisa berkhianat. Bahkan orang yang paling kita percaya sekalipun. Tapi kamu... kamu beda, kan?"
Sandrina menunduk, menyentuh rambut Harry perlahan. "Aku nggak akan berkhianat," jawabnya pelan.
Harry hanya tersenyum. Untuk sesaat, beban di dadanya terasa sedikit ringan. Tapi ia tahu, permainan belum selesai. Ia hanya butuh istirahat sejenak sebelum memulai babak berikutnya—yang pastinya lebih kejam, lebih licik, dan lebih membekas bagi mereka yang telah menyakitinya.
Sementara di luar sana, gosip tentang Calvin Hartanto mulai menyebar seperti virus. Dan ini… baru permulaan.