Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan Damian
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah sepatu formal menggema di sepanjang lorong rumah besar itu. Damian Alexander Wiratama baru saja tiba di kediaman keluarga Wiratama setelah menghadiri acara ulang tahun kampus yang dihadiri oleh perusahaannya. Dia melangkah dengan tenang, tetapi pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja terjadi hari ini.
Di ruang keluarga, tiga orang sudah menunggunya. Rendra Wiratama, ayahnya sekaligus kepala keluarga, duduk di kursi utama dengan tatapan penuh wibawa. Di sebelahnya, Mega Wiratama—kakak perempuan Damian—duduk dengan sikap anggun dan sedikit waspada.
Dan di seberang mereka, Rivan duduk dengan ekspresi santai, tampaknya tidak terlalu peduli dengan apa yang sedang terjadi.
Saat Damian masuk, semua mata langsung tertuju padanya.
"Damian," sapa Rendra dengan suara dalam yang khas.
"Ya, Yah," jawab Damian singkat sambil melonggarkan dasinya dan duduk di salah satu sofa.
"Bagaimana acara tadi? Lancar?"
"Lancar," jawab Damian, lalu mengambil segelas air mineral di atas meja dan meneguknya perlahan. "Tidak ada hambatan berarti."
Rendra mengangguk puas. "Terima kasih, Damian. Kamu memang bisa diandalkan."
"Tentu saja, Yah. Itu sudah menjadi tugas saya."
Mega menatap adiknya dengan ekspresi sedikit penasaran. "Tadi aku dengar perusahaan kita memberikan beasiswa simbolis untuk mahasiswa berprestasi. Kamu yang menyerahkannya, kan?"
Damian menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Ya." Dia melirik ke arah Rivan yang terlihat sibuk memainkan ponselnya. "Dan ngomong-ngomong, tadi saya ketemu pacar bocah itu."
Ucapan Damian langsung menarik perhatian Rivan, yang seketika mendongak dengan ekspresi sedikit terkejut.
"Oh ya?" Rendra tertarik. "Bagaimana kesanmu melihatnya?"
Damian menyipitkan matanya sedikit, menatap Rivan dengan tatapan meneliti sebelum akhirnya berucap dengan nada menggoda, "Guna-guna apa yang kamu pakai, bocah? Sampai kamu bisa punya pacar yang berprestasi dan cantik seperti dia?"
Rivan tertawa kecil, mencoba menutupi keterkejutannya. "Haha, om bisa aja. Aku kan juga punya pesona."
Mega yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang kini angkat bicara. "Dia penerima beasiswa perusahaan kita?"
"Betul." Damian meletakkan gelasnya kembali ke meja dengan perlahan. "Shanna Viarsa Darmawan. Mahasiswi aktif, ketua panitia acara tadi, dan salah satu mahasiswa terbaik di kampusnya."
Mega mengangguk kecil. "Bagus, tapi Rivan, kamu ingat kan fokus utama kamu saat ini?"
Rivan menghela napas. "Kuliah, kuliah, dan kuliah. Iya, aku tahu, Bun."
"Bagus," kata Mega lagi. "Bukan berarti aku melarang kamu berhubungan dengan seseorang, tapi kita tidak tahu bibit, bebet, bobotnya. Kamu tahu sendiri bagaimana keluarga kita."
"Namanya juga anak muda," timpal Rendra, berusaha menengahi. "Biarkan saja dia menikmati masanya. Asal tidak melupakan tanggung jawab, itu sudah cukup."
Damian tidak berkomentar. Dia hanya duduk diam, memperhatikan ekspresi Rivan dengan seksama. Ada sesuatu yang terasa janggal.
Sesuatu tentang cara Shanna bereaksi ketika berada di dekat Rivan tadi.
Bocah ini memang keponakannya, tapi itu tidak berarti dia tidak bisa menaruh curiga.
"Bagaimana hubungan kalian, Van?" tanya Damian tiba-tiba, nadanya ringan, tetapi ada sedikit tekanan di baliknya.
Rivan mengangkat bahu. "Baik. Biasa aja, Om. Kami pacaran seperti pasangan pada umumnya."
"Seperti pada umumnya, ya?" Damian mengetuk-ketukkan jarinya ke meja. "Shanna kelihatan tidak nyaman tadi. Kamu yakin dia benar-benar pacar kamu?"
Seketika Rivan menegang, meskipun hanya sepersekian detik. "Ya iyalah, Om. Kenapa sih?"
Damian tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Nggak. Hanya ingin tahu."
"Sudah jangan berlebihan. Jangan terlalu keras pada Rivan." Bela Rendra pada cucunya.
Damian menatap ayahnya, lalu mengangguk pelan. "Tentu, Yah. Aku hanya ingin memastikan segalanya baik-baik saja."
"Bagus," kata Rendra. "Sekarang, lebih baik kita beristirahat. Damian, kamu pasti lelah setelah acara tadi."
Damian berdiri, merapikan jasnya. "Ya, saya akan ke kamar."
Saat Damian berjalan pergi, Rivan menghela napas panjang, merasa sedikit lega.
Tapi Damian tidak benar-benar melupakan percakapan ini.
Keesokan Harinya
Damian terbangun lebih pagi dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang Shanna Viarsa Darmawan. Semalam, ia sudah menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari tahu lebih dalam tentang gadis itu.
Saat turun ke ruang makan, Damian menemukan Rivan sedang duduk santai menikmati sarapan, sementara Mega terlihat sibuk dengan tablet di tangannya.
"Selamat pagi," sapa Damian seraya duduk di kursinya.
"Pagi, Om," jawab Rivan dengan mulut penuh roti.
Mega menoleh sekilas. "Kamu ada jadwal apa hari ini?" tanyanya pada Damian.
"Meeting di kantor sebentar. Setelah itu, aku ingin mampir ke kampusnya Rivan," jawab Damian santai sambil menuangkan kopi ke cangkirnya.
Rivan hampir tersedak mendengar itu. "Ngapain, Om?" tanyanya cepat.
Damian mengangkat alis, menatap keponakannya dengan tajam. "Kenapa? Ada yang salah kalau aku ke sana?"
Rivan langsung menggeleng. "Nggak… nggak ada, cuma… ya, tumben aja."
Damian tersenyum kecil. "Aku cuma ingin melihat bagaimana perkembangan kerja sama antara Wiratama Group dan kampus kalian. Lagipula, aku tertarik untuk mengenal lebih banyak mahasiswa berprestasi di sana."
"Tertarik mengenal mahasiswa atau seseorang tertentu?" tanya Mega curiga.
Damian terkekeh. "Bisa dibilang begitu."
Di Kampus
Shanna baru saja tiba di kampus ketika melihat beberapa mahasiswa berkumpul di dekat gerbang. Mereka tampak berbisik-bisik, membicarakan sesuatu yang menarik perhatian mereka.
Saat mendekat, ia melihat sebuah mobil hitam mengilap terparkir di sana. Dan ketika pintunya terbuka, sosok Damian Alexander Wiratama turun dengan elegan, mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku serta celana panjang hitam.
Wajahnya tetap serius, tatapannya tajam, dan auranya begitu mendominasi hingga banyak mahasiswa yang menundukkan kepala saat melewatinya.
Jantung Shanna berdegup lebih kencang.
Kenapa Damian ada di sini?
Seolah merasakan tatapan Shanna, Damian menoleh ke arahnya.
Sejenak, Shanna merasa kakinya ingin melangkah mundur. Tatapan pria itu terlalu tajam, seolah bisa membaca semua rahasia yang ia simpan.
Tapi Shanna menegakkan bahu. Ia tidak boleh terlihat takut.
Damian berjalan mendekatinya dengan langkah santai, lalu berhenti tepat di hadapannya.
"Shanna Viarsa Darmawan," sapanya dengan nada rendah yang mengintimidasi.
Shanna berusaha tetap tenang. "Ya, Pak Damian. Ada yang bisa saya bantu?"
Damian memperhatikan wajahnya dengan seksama, mencari tanda-tanda ketidaknyamanan seperti yang ia lihat kemarin. "Saya kebetulan mampir ke kampus ini untuk melihat bagaimana perkembangan kerja sama dengan perusahaan kami. Dan saya juga tertarik untuk mengenal lebih jauh para penerima beasiswa dari Wiratama Group."
Shanna menggenggam jemarinya erat. "Saya mengapresiasi perhatian Anda, Pak Damian."
Damian menyelipkan satu tangan ke sakunya. "Kita bisa bicara sebentar?"
Shanna menelan ludah, tapi tetap mengangguk. "Tentu, Pak."
Mereka berdua berjalan ke arah taman kecil di dekat gedung administrasi. Damian membiarkan keheningan berlangsung beberapa saat sebelum akhirnya bertanya, "Sudah berapa lama kamu berpacaran dengan Rivan?"
Shanna sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Uhm… beberapa tahun."
Damian memperhatikan ekspresinya. "Kamu terlihat tidak yakin."
Shanna berusaha tetap tenang. "Kami memang tidak sering menunjukkan hubungan kami di depan banyak orang."
Damian tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak terasa hangat. "Begitu ya?"
Shanna semakin waspada. Damian jelas tidak mudah dibohongi.
"Rivan bilang kalian baik-baik saja," lanjut Damian. "Tapi kemarin aku melihatmu tampak gelisah saat di dekatnya."
Shanna terdiam.
Ia tidak bisa menceritakan semuanya.
Tidak sekarang.
"Mungkin saya hanya gugup saat acara kemarin."
Damian mengangguk, tapi matanya masih menyelidik. "Baiklah."