Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama 32 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19
#19
Malam itu Amara kembali ke rumah dengan riang, karena ia membawa kabar bahagia untuk Ibu dan tantenya. “Assalamualaikum, Bu, Tante. Coba tebak Aku ada berita apa?”
“Waalaikumsalam,” jawab Marina dan Farida bersamaan.
“Bersih-bersih dulu, terus makan, malah mau ngoceh gak jelas,” tegur Farida pada putrinya.
“Duh, bukan ngoceh gak jelas, ini soal sambal buatan Ibu dan Tante Marina,” sergah Amara.
Wajah Marina dan Farida seketika berbinar, “Gimana? Apa kata teman-temanmu?” tanya Marina.
“Tuh penasaran, kan?” ledek Amara.
Farida menjewer pipi Amara, “Anak nakal, berani-beraninya godain Ibu.”
Amara menyeringai, “Teman-teman bilang sambalnya enak.”
“Alhamdulillah,” ucap Marina dan Farida bersamaan. “Yang paling enak yang mana?”
“Semuanya enak, Bu. Sampe bersih botol sambelnya karena kalau gak di makan sama minyaknya, rasanya kurang sip.” Amara antusias menceritakan tingkah teman-temannya yang bahkan sengaja memasukkan nasi kedalam botol kemasannya, karena terlalu sayang untuk melewatkan sisa minyak di dalamnya.
“Hahaha … beneran ada yang sampai begitu?” tanya Marina tak percaya.
“Beneran, Tante, sampai jadi bahan tertawaan orang sekantor.”
“Alhamdulillah, Tante senang,” ucap Marina.
“Dan ini daftar pertama pemesanan sambal.” Amara mengeluarkan buku catatan kecil miliknya, yang bertuliskan daftar orang-orang yang memesan sambal. “Langsung, Di borong 50 botol berbagai varian.”
Marina dan Farida saling berpelukan, wajah keduanya berseri bahagia, tak menyangka dengan antusiasme teman-teman Amara. “Alhamdulillah, baiklah, besok kita belanja lagi, Rin. Bahan apa saja yang perlu ditambah?” tanya Farida.
“Kayaknya kita belanja saja semua, sekalian Aku mau kirim buat Rumah Sakit yang kemarin memberiku pengobatan gratis. Boleh kan?” tanya Marina memastikan, agar Farida tak tersinggung karena ia mengambil keputusan sendiri.
“Ide bagus, sepertinya itu bisa jadi sarana promosi, semoga si Tuan baik hati yang menolongmu tempo hari, bersedia jadi investor Kita,” cetus Farida asbun.
“Hush ngawur, mana mungkin bos besar seperti Beliau, mau melirik bisnis remah-remah debu begini.”
“Eeh, jangan bilang begitu, siapa tahu, rezeki bisa datang dari arah yang gak kita duga. Apalagi zaman sekarang, selera lidah orang
gak bisa di tebak. Kalau sudah suka harga makanan jutaan rupiah pun bakal dikejar.”
“Betul, Tante. Bisnis kuliner kalau sudah terkenal rasanya enak, siap-siap didatangi food vlogger, dan para influencer.” Amara menambahkan ucapan ibunya.
“Itu istilah apa lagi?” tanya Marina bingung.
Dengan sabar dan telaten, Amara menjelaskan apa itu food vlogger dan influencer, serta seperti apa cara kerja mereka. Tak lupa Amara juga memberi saran agar kedepannya, Marina dan juga Farida coba menjual sambal mereka secara online melalui marketplace, atau sosial media. Tentu saja setelah mereka menemukan kemasan yang bisa menyimpan sambal agar bisa tahan lebih lama di dalam kemasan.
“Aku baru tahu, ternyata selama ini aku terlalu sibuk mengurus keluarga, hingga tanpa sadar tenggelam di dalamnya,” gumam Marina.
“Dan kini, Aku baru menyadari bahwa dunia sudah banyak berubah, sementara Aku masih begitu-begitu saja. Pantas saja Diana marah, Burhan hanya datang padaku bila perlu, dan Johan lebih parah lagi, menganggap Aku seperti keset kumal yang bisa ia injak dan buang begitu saja jika sudah tak berguna.” Kedua mata Marina memanas, namun ia tak ingin menangis lagi, hanya bantal yang ada di pangkuannya yang jadi sasaran.
“Sudah, jangan lagi menangisi masa lalu, karena masa lalu tak akan berarti apa-apa jika Kita tak mencoba dan berusaha untuk masa depan yang lebih baik,” hibur Farida, Ia sangat mengerti seperti apa perasaan Marina saat ini, karena ia pun pernah mengalaminya.
Tak lama kemudian mereka kembali sibuk membicarakan langkah kedepan, Amara bahkan lupa dengan rasa lelahnya, gadis itu sama seperti ibunya, tipe-tipe gadis pekerja keras yang tangguh.
“Yang ini saja, Bu. Kelihatan lebih elegan, dan kalau dibawa bepergian jauh, tak khawatir tumpah atau pecah kemasannya.” Amara menunjuk sebuah kemasan yang cukup menarik perhatiannya, tapi secara harga masih terlalu mahal untuk mereka yang baru mulai merintis.
“Iya, Ibu tahu, tapi saat ini kami inginnya fokus ke rasa dan kualitas. Dan jika nanti prospeknya semakin cemerlang, kita akan buat dengan skala besar dan menggunakan kemasan yang Kamu maksudkan tadi.”
Sementara dua orang itu sibuk berdebat tentang kemasan produk, serta bagaimana cara yang tepat memasarkannya, Marina mulai memikirkan inti dari usaha rintisan yang baru mulai berjalan saat ini. Yakni kualitas rasa sambal, mendadak ia ingat sambal kemasan yang pernah Burhan beli ketika pulang dari luar kota.
Burhan anak bungsu Marina yang benar-benar maniak sambal, tapi selalu rewel soal rasa. Ia pernah membeli berbagai macam sambal namun tak menghabiskannya, justru sambal tersebut ia bawa pulang. Ada saja keluhannya ketika Marina menasehatinya agar jangan menyia-nyiakan makanan, katanya terlalu asam, gak terasa bawangnya, terlalu berminyak, dan entah apalagi.
Dan karena Marina merasa sayang membuangnya, maka ia pun memperbaiki rasa sambal tersebut. Hasilnya, Burhan bahkan tak tahu bahwa sambal yang ia makan adalah sambal yang dibelinya.
•••
Di apartemen Burhan, pria itu semakin meradang manakala mendengarkan jawaban istrinya.
“Masih di resto lah, kan Aku udah bilang tadi,” jawab Ina dengan suara keras, karena disana suasana sangat ramai.
“Jam berapa Kamu bisa sampai rumah?” Burhan menahan agar jangan sampai amarahnya meledak.
“Entahlah, mungkin lewat tengah malam. Karena Kami juga membicarakan rencana proyek baru perusahaan.”
“Tapi ini sudah di luar jam kerja?!” Burhan mulai emosi, hingga nada suaranya mulai naik.
“Kamu marah?” tanya Ina.
“Salah, kalau Aku marah?!” tanya Burhan lagi.
“Kamu sedang mendikte Aku? Bukannya sejak awal Kamu tahu pekerjaan dan aktivitasku?” Ina mulai tak terima, wanita itu terlalu modern hingga tak mau dikekang aktivitasnya.
“Aku tahu, dan tak masalah Kamu bekerja tapi Kamu juga harus tahu batasan, paham bahwa Kamu sudah tak sendiri lagi.” Burhan mencoba menasehati, namun Ina tak suka, bahkan mulai marah karena Burhan yang mulai mengatur hidupnya, Ina tak suka.
“Jadi Kamu ingin Aku terkurung di rumah, setiap hari hanya masak, bersih-bersih, mengurus anak, dan memakai daster kumal, begitu maksudmu?!’ cecar Ina yang kini emosinya seperti bahan bakar tersulut percikan api, seketika wanita itu meninggikan intonasi suaranya.
“Bukan begitu mak … “
“Aku ingatkan sekali lagi ya, sebelum menikah, kita sudah menandatangani perjanjian pranikah, pisah harta, bahkan tak ada larangan bekerja di luar rumah, atau melanjutkan kuliah. Lalu kenapa sekarang Kamu mulai bersikap seenaknya?!”
Burhan diam kehabisan kata-kata, memang semua tertulis di perjanjian pranikah yang mereka tandatangani di depan pengacara, dan sudah memiliki ketetapan hukum. Jadi kini Burhan seolah tak bisa apa-apa walau sekedar untuk menyuruh Istrinya segera pulang karena hari sudah sangat larut.
Tangan Burhan lunglai ke sisi tubuhnya, Kekecewaannya sangat besar, bahkan membuatnya lupa dengan rasa lapar yang semakin melilit. Di saat begini barulah ia ingat betapa mamanya adalah wanita luar biasa, tapi kini Burhan bahkan tak tahu dimanakah Marina.
bawang jahatna ya si Sonia
aku ngakak bukan cuma senyum2
itu bapak Gusman kira kira puber keberapa ya🤣🤣🤣