Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 17 Surat Peringatan
Kehidupan mereka di sekolah semakin berubah setelah episode podcast terbaru yang mereka unggah. Meski mendapat banyak dukungan, ada juga banyak yang mulai memandang mereka dengan curiga. Setiap hari, tatapan guru-guru berubah, beberapa di antaranya bahkan menghindari mereka. Ada yang memberi komentar sinis, dan ada yang diam seribu bahasa. Namun, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada surat peringatan yang mereka terima secara bersamaan.
Pagi itu, Nala menerima email dari pihak sekolah. Ia membuka pesan tersebut dengan hati-hati. Begitu melihat pengirimnya, ia langsung tahu bahwa ini bukanlah email biasa. Surat peringatan. Satu kalimat yang langsung membuat hatinya berdebar kencang.
Nala menatap layar ponselnya, membaca isi email yang tertera. “Dengan berat hati, kami memberitahukan bahwa Anda dan rekan-rekan Anda telah melanggar peraturan sekolah terkait dengan perilaku yang tidak sesuai dengan tata tertib. Surat peringatan ini dikeluarkan sebagai konsekuensi dari publikasi podcast yang mengandung ujaran yang dapat merusak citra sekolah.”
Dita, yang berada di sebelah Nala, langsung melihat apa yang sedang dibaca. “Nala, kamu juga dapet surat yang sama?” tanyanya dengan cemas.
Nala mengangguk, “Iya. Kita semua kena. Ini jelas akibat dari podcast itu.”
Raka yang mendengar percakapan mereka mendekat. “Aku tahu ini akan terjadi,” katanya pelan. “Tapi kenapa kita malah dianggap merusak citra sekolah? Kenapa mereka nggak mau mendengar kita?”
Juno, yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya berbicara, “Mereka merasa kehilangan kontrol. Itu kenapa mereka bereaksi seperti ini.”
Nala menggenggam surat itu erat-erat. “Tapi kita nggak bisa diam lagi. Ini sudah lebih dari sekadar podcast. Ini tentang kita yang akhirnya berbicara tentang apa yang kita rasakan, apa yang terjadi di dunia ini, dan ternyata mereka nggak siap dengan itu.”
Dita menarik napas dalam-dalam, “Tapi kita harus siap dengan segala kemungkinan, kan? Ini baru permulaan. Jika mereka terus-menerus memberi tekanan, kita harus tetap bertahan.”
---
Keesokan harinya, mereka semua dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ruangan yang biasanya terasa formal dan dingin, kini terasa lebih berat. Ketegangan di udara hampir bisa dirasakan. Mereka tahu, ini bukan hanya soal surat peringatan lagi. Ini soal siapa yang mereka pilih untuk menjadi di dunia ini.
Ketika mereka masuk ke dalam ruang tersebut, kepala sekolah langsung menatap mereka dengan tatapan serius. "Selamat pagi," katanya, suara formal dan tegas. "Saya ingin berbicara tentang podcast yang kalian buat beberapa waktu lalu. Apa kalian paham betul bahwa apa yang kalian lakukan bisa berdampak buruk pada citra sekolah ini?"
Dita membuka mulut, tetapi Nala segera menyela, mencoba tetap tenang. “Kami paham. Tapi kami juga ingin berbicara tentang apa yang kami alami, tentang apa yang kami rasakan. Sekolah ini bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Kami juga punya hak untuk didengar.”
Kepala sekolah itu mengangguk pelan. "Saya mengerti bahwa kalian mungkin merasa ini adalah cara untuk mengekspresikan diri, tapi kalian harus tahu, ada batasan-batasan yang harus dihormati. Kita hidup dalam masyarakat yang punya aturan, dan kalian harus mematuhi itu."
Raka menatapnya langsung. “Tapi kami juga manusia. Kami tidak bisa hidup dalam sistem yang hanya mementingkan nilai dan prestasi. Kami berhak merasakan hal lain selain itu. Dan kami tidak bisa diam kalau melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.”
Kepala sekolah itu diam sejenak, kemudian membuka laci meja dan mengeluarkan satu lagi surat. "Ini adalah surat peringatan kedua yang akan kami berikan kepada kalian. Kalau kalian melanjutkan perilaku seperti ini, ada kemungkinan kalian akan diambil tindakan lebih lanjut."
Juno menatap surat itu dengan cemas. “Jadi, kalau kami terus berbicara tentang ini, kami bisa dikeluarkan, begitu?”
Kepala sekolah mengangguk. “Kalian mengerti bahwa kami tidak bisa membiarkan hal seperti ini berlanjut. Jika ada orang tua yang merasa terganggu, atau lebih parahnya, jika ada pihak lain yang melaporkan kalian ke instansi terkait, itu bisa berdampak besar.”
Tiba-tiba Nala merasa dadanya sesak. Dia tahu bahwa mereka berhadapan dengan sistem yang sangat kuat. Mereka sudah melawan arus yang sangat besar. Selama ini, mereka hanya menganggap ini sebagai perjuangan untuk kebenaran. Tapi ternyata, ini jauh lebih berat dari yang mereka bayangkan. Ada ancaman yang nyata, ada konsekuensi yang bisa mereka hadapi.
“Apa yang kami katakan itu benar,” ujar Nala dengan suara bergetar. “Kami hanya berbicara tentang pengalaman kami. Kenapa itu dianggap sebagai pelanggaran?”
Kepala sekolah menarik napas panjang. “Terkadang, kebenaran tidak selalu dapat diterima dengan baik oleh semua orang. Itu adalah kenyataan yang harus kalian hadapi. Jadi, pikirkan baik-baik apa yang akan kalian lakukan selanjutnya.”
Mereka semua terdiam. Tidak ada yang bisa berkata-kata setelah pertemuan itu. Mereka berjalan keluar dari ruang kepala sekolah dengan kepala tertunduk, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rasa kecewa, marah, dan bingung bercampur aduk dalam hati mereka.
---
Setelah pertemuan itu, mereka kembali duduk di ruang podcast yang sudah mereka kenal sangat baik. Kali ini, suasananya sangat berbeda. Tidak ada lagi pembicaraan ringan seperti dulu. Semua terasa lebih serius. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah berbobot lebih dari sebelumnya. Mereka tahu bahwa mereka kini berada di titik balik. Mungkin mereka bisa bertahan, atau mungkin mereka akan jatuh. Tetapi apapun yang terjadi, mereka sudah menempuh jalan ini bersama-sama.
Dita menatap mereka semua satu per satu. “Gimana kalau kita mulai berbicara lebih keras? Apa kita siap menghadapi apa yang mungkin datang?”
Juno mengangguk. “Aku rasa ini saatnya. Kita tidak bisa mundur. Kita sudah sampai sejauh ini, dan kalau kita berhenti sekarang, apa yang kita perjuangkan akan sia-sia.”
Raka menghela napas. “Tapi aku nggak bisa janji kalau kita nggak akan terluka. Ini semakin berat, dan kalau kita terus melawan, pasti akan ada konsekuensi.”
Nala menatap ke luar jendela. Pikirannya melayang, berusaha mencari jalan keluar. Tetapi satu hal yang jelas, mereka tidak bisa berhenti. Mereka tidak bisa menyerah hanya karena ada ancaman di depan mata. Mereka tahu, kalau mereka menyerah sekarang, mereka akan kehilangan lebih dari sekadar kesempatan. Mereka akan kehilangan hak mereka untuk berbicara.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nala.
Dita berdiri dan mengangkat tangannya seolah memberi semangat. “Kita harus terus melawan. Kita harus tetap berjuang, karena kalau kita tidak, kita akan terlupakan. Dan kita tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Juno, Raka, dan Nala saling memandang. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang mereka lagi. Ini adalah tentang seluruh generasi yang merasa tak didengar. Tentang keberanian untuk berbicara meski ada harga yang harus dibayar. Mereka sudah melangkah terlalu jauh untuk berhenti.
---
Dengan penuh tekad, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mereka, tidak peduli apapun yang akan terjadi selanjutnya. Surat peringatan itu hanyalah batu loncatan dalam perjalanan panjang mereka. Tidak ada yang bisa menghentikan suara mereka sekarang.