NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 - Dia

Minggu pagi dimulai lebih awal dari yang Tari harapkan. Pukul enam tepat, ponselnya bergetar dengan pesan singkat dari Gilang, sekarang dia mengirim pesan singkat bukan meminta pelayan mengabai Tari. Kemajuannya cukup cepat.

Gilang A. : Sarapan pukul tujuh. Sesi dimulai delapan tepat. Jangan terlambat.

Tari mendesah, menatap langit-langit kamarnya yang masih asing. Ia merasa belum siap untuk hari kedua pelatihan, tapi jelas Gilang tak memberi ruang untuk kemalasan. Setelah mandi dan berdandan sederhana, ia turun ke ruang makan utama, tempat meja panjang telah diisi berbagai pilihan sarapan: roti panggang, salad buah, telur rebus, dan teh panas.

Namun, tidak ada Gilang.

Tari sarapan sendiri dalam sunyi. Tak ada obrolan hangat atau ucapan selamat pagi. Hanya dentingan sendok dan jam antik di dinding yang berdetak tenang namun menyebalkan.

Pukul delapan kurang dua menit, Tari masuk kembali ke perpustakaan.

Gilang sudah di sana, berdiri di depan layar monitor, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, dan celana hitam. Kali ini, suasananya jauh lebih serius.

“Duduk,” ucapnya tanpa menoleh.

Tari duduk, kali ini dengan iPad dan catatan di tangan. Ia berniat untuk lebih fokus. Nggak boleh gagal dua kali.

“Mulai hari ini kamu akan mempelajari struktur operasional harian perusahaan, mulai dari supply chain, pemasaran, hingga pengendalian mutu produk,” ujar Gilang, mengetik cepat di laptopnya, lalu layar di depannya menampilkan data real-time dari dashboard Kartanegara Beauty.

Tari menatap layar. Angka-angka terus bergerak—grafik penjualan, status produksi, laporan distribusi. Sangat kompleks dan teknis. Tidak seperti merangkai bunga yang bisa ia bentuk seindah mungkin sesuka hati.

“Masih bisa mengikuti?” tanya Gilang datar, matanya menelusuri grafik.

“Masih… walau setengahnya cuma lewat,” jawab Tari jujur.

“Bagus. Lebih baik jujur daripada sok paham. Kamu harus kerja keras, dengan situasimu ini tak ada alasan malas-malasan.”

Ia memutar layar ke bagan proses produksi, dari riset formula di laboratorium hingga pengepakan di pabrik. Gilang menjelaskan alur kerja dengan cepat, tetapi rapi. Ia seperti pemandu di dunia yang asing bagi Tari.

“Untuk mengatur semua ini, kamu nggak cuma butuh intuisi. Kamu butuh sistem,” kata Gilang. “Kreatifitasmu sebagai florist akan membantu, tapi jika kamu nggak paham logika bisnis, kamu akan habis di minggu pertama.”

Tari mencatat secepat mungkin. Beberapa istilah ia lingkari untuk ditanyakan nanti. Tapi kepalanya sudah terasa penuh meski hari baru saja dimulai.

Saat istirahat pukul sepuluh, Tari bersandar di kursinya dan menatap langit-langit ruangan. “Kamu biasa ngajarin orang seperti ini?”

Gilang duduk di kursi seberang, membuka botol air mineral. “Tidak.”

“Jadi?”

“Aku diminta Ibu. Itu sudah cukup.”

Tari mengangguk.

Tapi ia penasaran. “Kenapa kamu nggak ambil alih perusahaan ini saja? Kamu jelas lebih tahu dari siapa pun.”

Untuk pertama kalinya, wajah Gilang berubah. Tidak sepenuhnya marah. Tapi ada bayangan kekecewaan lewat di matanya.

“Aku anak angkat,” ucapnya pelan. “Kata orang, aku hanya penjaga gawang sebelum pewaris asli datang.”

“Dan kamu nggak marah?”

“Sudah terlalu sering untuk dihitung.”

Suasana jadi hening sejenak. Tari merasa bersalah telah bertanya. Tapi juga merasa lebih dekat dengan sisi manusia dari pria itu.

Waktunya istirahat, mereka makan di meja makan. Berhadapan tapi seperti tidak satu meja. Hening.

Tari mengunyah sop buntutnya, masakan di rumah ini selalu enak, dengan daging kualitas tinggi dan nasi pulen import jepang.

“Bu Tirta kemana?” Tanya Tari memecah keheningan. Gilang menaruh gelasnya, “Ada arisan dengan para pengusaha Kosmetik. Ibu selalu sibuk dan kelelahan dan aku tak mungkin ikut arisan.”

Tari tertawa geli, sampi ia melihat wajah masam Gilang. “Eh maaf.”

“Tak apa, Ibu memang membutuhkan cucunya. Aku kurang cocok dengan semua kegiatannya.” Gilang meminum teh kental dan gelap yang selalu ada dimeja untuknya sambil membuka ponsel.

Tari baru selesai makan, Ia sedang meminum air putih saat ponselnya berbunyi. Santi. Melihat namanya saja Ia sudah senang.

“Santi”

”Teh Tari, ini toko meni ramee.” Santi menunjukan live video pada kegiatan Toko. Minggu memang selalu ramai di toko.

“Ah, gimana pesenan?”

”Banyak Teh, cuma ini.” Santi terlihat masuk ke dalan rumah. “Teh, itu supplier nagih.”

Tari merasakan tatapan Gilang dan baru sadar Ia berada di depan orang lain. Ia segera berlari ke area kolam renang.

“Iya Santi, lagi diusahain ya.”

”Diminta lunas minggu ini teh.” Santi memelas. “Sama uang operasional juga.”

Tari menghela nafas, “Iya diusahain ya San.”

”Tolong ya Teh, itu aja dari aku mah. Santi ke toko lagi ya.”

”Iya kabarin kalau ada apa-apa ya San.”

”Iya Teh.”

Tari memegangi keningnya, kepalanya semakin pusing. “Kamu butuh uang?” Suara Gilang mengagetkan Tari.

Tari mengerutkan alis, “Menguping?”

”Tidak juga, suaramu dan pegawaimu cukup ketas untuk didengar dalam jarak 5 meter.” Gilang duduk disebelah Tari, ia merebahkan tubuhnya di kursi berjemur itu. “Lebih baik kamu bereskan hutangmu. Saat ada yang tahu kamu penerus perusahaan hutangmu bisa tiba-tiba membesar.”

“Aku juga maunya gitu.” Tari menggigit bibirnya. “Berapa?”

Tari sedikit enggan tapi Ia takut masalah ini semakin besar. “Kamu gak akan ngasih tau Bu Tirta.”

“Enggak. Gak ada keuntungan untukku.”

Terdiam sejenak Tari berkata lirih, “Seratus enam puluh juta.” Gilang lalu duduk tegap kembali kakinya kembali di lantai, membuka ponselnya. “Done seratus enam puluh juta ke rekeningmu.”

“Hah apa? Secepat itu? Kamu tahu rekeningku?” Tari membelakakan mata. Gilang berdiri lalu menunduk dengan jarak wajah hanya satu jengkal, “Percayalah aku tahu semuanya.” Ia lalu berlalu masuk kedalam sambil berteriak, “Lima menit lagi dimulai.”

Tari mengecek rekeningnya dan benar 160 juta rupiah itu sudah masuk. Ia memproses apa yang terjadi lalu segera bergegas ke perpustakaan, dimarahi orang yang meminjamkannya uang bukan hal yang baik

Setelah istirahat, pelatihan berlanjut dengan simulasi pengambilan keputusan. Gilang memberi Tari beberapa kasus: misalnya, jika bahan baku terlambat, apa yang harus dilakukan? Jika pelanggan komplain soal produk, siapa yang harus dikontak? Jika target penjualan tidak tercapai, siapa yang harus dimintai laporan?

Tari menjawab semampunya, sering ragu, dan kadang salah. Tapi Gilang tidak marah. Ia hanya mencatat dan memberi koreksi. Suaranya tetap tenang.

“Kesalahan bukan masalah. Tapi kebodohan karena tidak belajar dari kesalahan, itu yang berbahaya,” katanya sambil menunjuk diagram solusi.

Di akhir sesi, Tari merasa otaknya hampir meledak. Tapi untuk pertama kalinya juga, ia merasa… hidup. Ada tekanan. Ada tantangan. Ada seseorang yang menuntut lebih darinya, bukan karena ingin menjatuhkannya, tapi karena yakin ia bisa lebih baik.

Saat ia membereskan catatannya, Gilang menghampirinya dan berkata,

“Besok kamu akan ikut rapat divisi kreatif. Dengarkan saja dulu. Tapi kamu wajib buat satu ide kampanye dalam seminggu. Dan kamu tempati divisi kreatif selama dua minggu. Setelah itu bisa di rotate kembali. Sepertinya sebulan waktu yang cukup.”

Tari mematung. “Sebentar-sebentar. Satu ide? Untuk produk baru? Dua minggu, sebulan apa ini?”

“Ya dua minggu ini fokus di divisi kreatif. Aku aku mengaturmu menjadi pegawai trainee yang bisa dipindah-pindah.”

Gilang menatapnya, lalu berbalik dan melangkah keluar tanpa kata tambahan.

Tari berdiri di tengah ruangan, memandangi layar yang baru saja mati.

Pegawai Trainee. Dunia baru ini jelas melelahkan.

Dan Ia ingin pulang.

Malm haru

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!