NovelToon NovelToon
Cinta 'Terkontrak'

Cinta 'Terkontrak'

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Romansa / Slice of Life / Chicklit
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.

Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tawaran Sadewa, tidak masuk akal!

Maha keluar dari dapur dengan nampan di tangannya, membawa secangkir kopi hitam tanpa gula—kopi favorit Sadewa. Langkahnya terlihat ringan, tapi ada perasaan canggung yang menggelayuti hatinya.

“Ini… Pak. Kopi tanpa gula, biar nggak diabetes.” ucap Maha. Dengan lembut ia meletakkan secangkir kopi di meja, tepat di depan Sadewa.

Sadewa, yang mendengar ucapan Maha, merasa sedikit geli. Tanpa bisa ia tahan, ia merasa terhibur dengan cara Maha berbicara blak-blakan. Namun, ia tetap menahan ekspresi wajahnya, tetap datar dan tidak ada senyuman yang muncul.

“Terima kasih.” Ucap Sadewa dengan anggukan kecil.

Keheningan pun meliputi ruangan itu. Meskipun keduanya berada didalam ruangan yang hangat dan nyaman, suasana terasa sedikit canggung. Diantara mereka tidak ada yang mengucapkan kata-kata lagi, yang ada hanya bunyi detak jam di sudut ruangan, mengisi kekosongan.

Maha menundukkan wajahnya, seakan mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai mengusik pikirannya. Sadewa, ngapain sih pagi-pagi datang ke sini? Batinnya. Sebab, Maha merasa sangat tidak nyaman dengan kedatangan Sadewa yang tak terduga itu. Kalau Mas Danu sampai tahu, gimana? Batinnya lagi.

Maha menjadi cemas ketika membayangkan reaksi Danu jika mengetahui siapa yang bertamu pagi-pagi begini di unitnya. Sudah cukup rumit perasaannya yang mulai terbagi dua, ditambah dengan kehadiran Sadewa yang entah tujuannya apa.

Apa aku langsung tanya aja, apa maksud kedatangannya kesini? Pikir Maha yang semakin merasakan ketegangan menggelayuti suasana.

Sementara Sadewa, ia juga merasakan hal yang sama dengan Maha. Ia menghela nafas panjang untuk mengumpulkan keberaniannya. Dan tatapannya sesekali menatap Maha yang juga gelisah. Kemudian, suara mereka keluar bersamaan.

“Jadi…”

“Oh, silahkan, Pak…” ujar Maha buru-buru dengan nada suara sedikit ragu. Ia merasa tak enak untuk berbicara lebih dulu, merasa tidak harus mulai dari mana.

“Tidak, kamu duluan saja,” jawab Sadewa sambil memberi isyarat agar Maha berbicara lebih dulu.

Maha yang tidak ingin berdebat lebih lama, akhirnya mengumpulkan keberanian. Dengan sedikit mengerutkan kening, ia memandang Sadewa sejenak sebelum akhirnya berkata, “Untuk apa Anda datang kesini, Pak?” tanyanya pelan. Namun ada ketegangan yang terasa begitu jelas.

Sadewa menatapnya dengan tenang, namun dalam hatinya ada sebuah keraguan yang tidak mudah untuk diungkapkan. Mereka berdua saling berpandangan sejenak, dan merasa ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, dan kedua hati itu pun seakan saling bertanya apa yang sebenarnya terjadi? Atau mungkin lebih tepatnya, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Sadewa tampak diam, tapi tangan kanannya berkali-kali mengusap tengkuknya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Ia terlihat gelisah, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan tujuannya datang ke unit Maha.

Maha yang melihatnya, menatap dengan sedikit kerutan di keningnya. Sesuatu yang tampak tidak biasa dari pria itu, membuatnya semakin penasaran dan juga bingung.

“Pak…” Maha memanggil dengan nada lembut, sedikit sabar menunggu.

Sadewa akhirnya mengangkat kepalanya, seolah keberaniannya sudah terkumpul. “Ng… ibu saya minta mantu, Maha, dan beliau mendesak saya untuk segera menikah,” jelasnya dengan terburu-buru, tanpa banyak basa-basi. Sadewa itu bukan tipikal orang yang suka bertele-tele, dan langsung mengarah ke inti permasalahannya.

Maha terpaku, kalimat itu benar-benar membuatnya kebingungan. Mantu? Terus apa hubungannya sama aku, apa sih maksudnya? Pikirnya tak mengerti. Namun, ia tetap diam, menahan diri dan memberikan Sadewa untuk melanjutkan perkataannya.

Sadewa menarik nafas panjang, seakan menyiapkan dirinya untuk mengatakan hal yang lebih penting. “Saya… datang kesini karena ingin minta tolong sama kamu, untuk jadi pasangan saya,” ujarnya lagi. “Jangan salah paham dulu, ini hanya pura-pura,” tambahnya dengan tergesa-gesa, mencoba menjelaskannya dengan cepat.

“Huh?!”

Maha terbelalak, ia memekik tak terbendung. Matanya pun melotot dan mulutnya menganga. Benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Suasana yang semula tenang, kini berubah tegang. Maha yang terkejut, masih berusaha mencerna kalimat Sadewa yang menohok.

“Iya, Maha… saya benar-benar minta tolong sama kamu,” ujar Sadewa, menatap Maha dengan sorot mata penuh harap.

“Tapi kenapa harus saya, Pak? Saya cuma orang biasa, tidak punya latar belakang sosial tinggi seperti Anda. Lantas, bagaimana nantinya jika ibu Anda curiga? Bisa-bisa saya dituntut dan dipecat dari perusahaan Anda,” kata Maha, suaranya bergetar meski ia berusaha tetap tegar. Rasa ragu menguasai dirinya, karena tidak mudah baginya menerima permintaan seperti ini, apalagi dengan potensi resikonya yang besar.

“Itu tidak mungkin terjadi, Maha. Saya kenal betul bagaimana sifat Ibu saya, beliau hanya ingin melihat anaknya ini sudah punya pasangan atau belum, hanya itu… Tidak lebih,” jelas Sadewa, berusaha meyakinkan.

Maha menghela nafas panjang, merasa beban yang semula kini seakan menekan dadanya. Punggungnya bersandar kembali ke sofa empuk, seolah mencari kenyamanan di tengah kecanggungan yang mulai memenuhi ruangan.

Sementara itu, Sadewa yang duduk tak jauh dari Maha. Terus menatap gadis itu dengan harapan yang tak terucapkan. Ia menunggu jawaban, seakan setiap detik berlalu begitu berat baginya.

“Kalau misalnya kamu menolak, dengan terpaksa saya akan memotong gaji pokok kamu sebesar lima puluh persen,” ujar Sadewa memecah keheningan, datar dan tanpa kompromi.

Jelas saja Maha terkejut, lagipula siapa yang tidak terkejut jika tiba-tiba gajinya akan dipotong dengan alasan yang tidak masuk akal. Tubuhnya spontan terjaga tegak. “Loh, Pak! Yang bener aja, dong! Ini tidak masuk konteks dan jelas namanya pemaksaan! Nggak bisa seenak jidat Anda, dong!” protesnya, suaranya meninggi tak mampu lagi menahan emosi.

“Ya misalnya gaji kamu tidak mau saya potong, kamu harus setuju. Mudah, ‘kan?” ujar Sadewa tegas. Seakan itu adalah perintah yang tidak bisa dibantah. Di Matanya, tidak ada ruang untuk penolakan. Ia tidak suka jika ada yang menentang kehendaknya, dan Maha tahu itu.

Maha benar-benar terdiam, ia sangat bingung. Hari yang awalnya ia kira akan berjalan dengan tenang malah berubah menjadi semacam kekacauan yang tidak terduga. Ia merasa sangat geram, hatinya pun panas karena ulah Sadewa yang seolah-olah berkuasa penuh atas dirinya.

Kenapa harus seperti ini? Mengapa harus ada ancaman dengan hal yang begitu penting bagiku? Pikir Maha saat ini.

Tak lama kemudian, Sadewa berdiri, mengatur jasnya dengan rapi, dan seakan tidak peduli dengan suasana hati Maha. “Nanti saya tunggu di ruangan saya untuk tanda tangan kontrak, oke?” ucapnya, suaranya tidak menunjukkan penyesalan, malah seakan semuanya sudah pasti.

Maha lagi-lagi diam, ia tidak membalas ucapan Sadewa. Matanya kosong, tak lagi menatap kepergian Sadewa yang mulai melangkah keluar dari unitnya. Segala sesuatu terasa membingungkan, tawaran yang datang begitu mendesak dan memaksanya tanpa ruang untuk pilihan. Bahkan ancaman yang dilontarkan Sadewa terhadap gaji yang telah menjadi bagian dari hidupnya membuat hatinya semakin tercekik.

“Argh!”

Maha mengerang keras, hampir seakan tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Ia meremas bantal sofa dengan penuh emosi, guna melampiaskan kekesalannya terhadap Sadewa.

“Dasar CEO nyebelin, Sadewa!” teriaknya, penuh amarah yang sulit untuk Maha tahan.

Di sisi lainnya, tepatnya di luar unit. Sadewa yang baru saja melangkah keluar, pun bertemu dengan Danu, karyawannya. Danu menyapa dengan penuh hormat, ia sedikit membungkukkan tubuhnya.

“Eh, Pak Sadewa. Selamat pagi, Pak.”

Sadewa hanya melangkah tanpa memberi perhatian sedikitpun. Langkahnya tegas dan tidak ada waktu untuk basa-basi. Ia terus berjalan menjauh, meninggalkan Danu.

Sementara Danu, memandangi punggung Sadewa yang semakin menjauh. “Pak Sadewa ngapain, ya, pagi-pagi begini dari unit Maha? Apa ngasih kerjaan?” Gumam Danu pelan, rasa penasaran semakin menggelayuti pikirannya.

Di sudut lainnya, Sadewa duduk dengan gelisah di bangku belakang mobilnya. Matanya menatap keluar jendela, namun pikirannya melayang jauh. Ia terperangkap dalam serangkaian pertanyaan yang terus berputar tanpa henti.

“Untuk apa Danu datang ke apartemen Maha pagi-pagi begini? Apa seseorang yang Maha panggil ‘Mas’ tadi itu Danu?” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran mobil yang mengalun pelan.

Tanpa sadar, tangan Sadewa mengepal erat. Seakan ada yang mengganggu jiwanya. Perasaan yang mendalam tak terdefinisi mulai meresap, menggulung dalam dadanya yang pada akhirnya membuatnya gelisah. Seiring dengan pikirannya yang semakin kacau, rasa cemburu itu muncul begitu saja, entah dari mana.

“Apa mereka punya hubungan spesial?” pikirnya lagi.

Sadewa tahu dalam hatinya ada perasaan yang tidak beres. Sebuah perasaan yang sangat egois dan tidak wajar. Ia tidak mengerti mengapa harus merasa seperti ini, seolah ada sesuatu yang mengikat dirinya pada Maha, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Tapi kenyataannya, kehadiran pria lain di dekat sekretarisnya itu membuat perasaannya bergolak.

Ada perasaan tidak suka jika Maha dekat dengan pria lain selain dirinya, meski ia tahu, mungkin perasaan itu tidak seharusnya ada. Kendaraan yang mulai melaju pelan mencerminkan pikirannya yang terombang-ambing. Tidak ada jawaban untuk rasa bingung dan marah yang ia rasakan. Sepertinya, semua yang ia lakukan hanya memperburuk situasi yang sudah semakin rumit.

1
Bunda Mimi
thor bab 21 dan 22 nya kok sudah tidak ada ya
Bunda Mimi: ok siap thor
Lucky ᯓ★: terimakasih atas dukungannya kak, dan mohon maaf jika nanti update ulang dengan isi yang sama. aku revisi karena biar lebih nyaman untuk dibaca, juga ini saran dari editor saya
total 4 replies
Wayan Sucani
Luar biasa
Wayan Sucani
Rasanya berat bgt
catalina trujillo
Bikin ketawa sampe perut sakit.
Lửa
Ngakak sampai sakit perut 😂
Kiyo Takamine and Zatch Bell
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!