Novel ini menceritakan kisah seorang Naila Shababa, santri di pondok pesantren Darunnajah yang di cap sebagai santri bar-bar karena selalu membuat ulah.
Namun, siapa sangka nyatanya Gus An, putra dari pemilik pesantren justru diam-diam menyukai tingkah Naila yang aneh-aneh.
Simak selalu di novel yang berjudul “GUS NACKAL VS SANTRI BARBAR.” Happy reading🥰🥰...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Naila kembali ke kamarnya. Rasanya sudah sangat rindu dengan kawan-kawannya. Terutama si Laras yang suka makan dan selalu menghawatirkan dirinya. Naila berjalan dengan gontai, ingin segera memeluk Laras yang memiliki tubuh bak kasur. Di carinya teman yang satunya itu. Namun Naila tidak menemukan di kamar. Kemudian Dia coba mencari ke kamar mandi mungkin saja Dia sedang mengantri atau mencuci baju, namun tidak menemukan keberadaanya. Naila mencoba menanyakan ke beberapa teman sekamarnya, namun tidak ada yang bisa menjawab.
“Tadi sih perasaan Aku ketemu Dia di depan sekolahan. Entah ngapain Dia sendirian disana. Tapi keliahatannya sedang bersedih sih Nai...” ucap Rara yang ikut serta mencari Laras.
“Coba kita lihat kesana. Soalnya ini Aku bawa makanan banyak, mau dimakan siapa nanti. Jatah untuk anak-anak sekamar juga sudah ada.”
Keduanya menuju ke sekolahan seperti apa yang di katakan Rara. Dan benar ternyata mereka menemukan Laras sedang duduk sendirian di taman. Saat ini Dia sedang menangis tersedu-sedu. Naila dan Rara mendekati Laras. Tatapannya kosong.
“Kamu lagi sedih ya Laras. Boleh kok cerita ke kita. Kamu nggak boleh sedih sendirian. Kita akan selalu ada buat kamu.” Dengan spontan Laras memeluk Naila dengan erat. Naila yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil darinya tentu sedikit kesusahan bernafas. Apalagi bau badan Laras yang kurang bersahabat di indra penciuman membuat Naila sedikit engap. Rara mengerti arti ekspresi wajah Naila. Andai saja situasinya lebih baik, Rara pasti sudah tertawa terbahak-bahak.
“Coba ceritakan, ada masalah apa sampai kamu menangis seperti ini...?” Naila berusaha menenangkan Laras terlebih dahulu agar bisa bercerita kejadian sebenarnya. Ketika Laras sudah mulai tenang dan nafasnya mulai teratur, Dia mulai angkat bicara.
“Nai...” isak tangis Laras kembali menjadi. Padahal belum menceritakan apapun.
“Kok kamu nangis lagi...?”
“Ayahku Nai, Ayahku...”
“Ada apa dengan Ayah kamu Laras...?”
“Ayahku kecelakaan Nai. Saat ini beliau sedang di operasi. Kakinya harus di amputasi satu. Aku takut kalau Ayah tidak bisa menemaniku lagi Nai...”
“Innalillahi, kamu yang kuat dan sabar ya. Kita do’akan Ayahmu agar operasinya berjalan dengan lancar dan selamat. Ayahmu saat ini butuh support, kamu jangan nangis nanti yang ada malah Ayahmu ikut sedih juga.”
“Tapi Aku takut Nai, aku takut...”
“Kita berdo’a sama-sama, Ayahmu pasti akan baik-baik saja. Oke...” setelah lama membujuk dan menghibur Laras, akhirnya berhasil. Dia bisa tersenyum kembali. Saat Naila dan Rara mengajak Laras untuk kembali ke kamar, air mata Laras luruh kembali.
“Udah jangan sedih. Ayo kembali ke kamar. Aku punya sesuatu buat kamu.”
“Ada yang membuatku sedih lagi Nai...”
“Apa...? ceritakan semuanya ke kita.” Laras mulai bercerita lantaran dirinya telah diejek oleh beberapa orang. Mereka selalu mengejek fisik Laras yang katanya tidak memiliki bodi, atau disamakan dengan gentong. Padahal faktanya memang benar. Naila dan Rara sebenarnya menahan tawa tapi di urungkan. Takut jika Laras akan marah dengan keduanya.
...****************...
“Eh, udah balik aja tuh anak...” Fatma dengan gengnya membicarakan Naila dan kawan-kawannya yang sedang makan bersama. Naila yang telah menyadari sejak tadi memang sengaja pura-pura tidak tau. Biarkan saja mereka membicarakanku sampai habis, toh nanti Aku akan membalasnya juga. Batinnya dengan licik. Tatapan Fatma semakin sinis saat melihat Naila bertingkah receh yang hampir membuat teman-temannya sakit perut menertawakan dirinya.
“Hei, dasar duri. Sekolah nggak bener, nyantri nggak bener, jangan sok belagu deh. Mentang-mentang jadi khodam di Ndalem, sekarang sok berkuasa.” Fatma tiba-tiba melabrak Naila yang sedang bersenda gurau. Semua yang berkumpul membentuk bundaran untuk makan itu seketika diam tidak ada yang berani bersuara. Mengingat Fatma sudah di kenal sebagai ketua circle paling besar di pesantren itu.
“Ngapain tuh orang...?” Naila dengan santainya pura-pura bertanya kepada teman di sampingnya tanpa melihat Fatma.
“Nggak usah sombong. Kamu tau sedang berhadapan dengan siapa...?”
“Siapa Dia...?” Fatma semakin geram dengan Naila. Baru kali ini ada yang berani melawannya. Dia menarik hijab Naila dengan brutal. Pertengkaran itu di saksikan oleh sebagian besar santri yang sedang di asrama.
“Segitu doang kemampuan kamu...?” Naila mengejek Fatma yang saling jambak menjambak dengannya. Perlu di akui, Naila lebih kuat daripada Fatma. Dia mencakar wajah Fatma dengan kukunya hingga sedikit tergores dan mengeluarkan darah.
“Aww...” Fatma meringis. Naila memanfaatkan kesempatan ini untuk mengusap wajah Fatma dengan tangannya yang terkena sambal sehabis makan.
“Aww, perih...” Fatma menjauh. Untuk kali ini boleh jadi Dia kalah, tapi jangan harap akan kalah untuk yang kedua kalinya. Batinnya.