Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.4
Di tepi pantai yang luas, seorang gadis buta terduduk sendirian. Matanya pokus pada horison yang jauh seolah mampu melihat segalanya. Angin laut melambai-lambai rambut indahnya yang terurai. Suara ombak yang tenang di pagi itu menciptakan latar belakang yang menyenangkan, membiarkan terbuai lamunan yang dalam. Wajahnya penuh pemikiran, sedang merenungi keindahan yang tak mampu dilihat misteri tersembunyi di balik samudra yang luas.
" Saya akan kembali bekerja, sudah beberapa hari ini saya tidak masuk di rumah sakit sementara banyak pasien yang menunggu," ucapnya masih terdengar datar.
" Mas sudah makan?" tanyanya terdengar begitu lembut tanpa merespon ucapan suaminya.
" Saya akan makan di luar dan tidak usah menungguku pulang."
Kata-kata suaminya selalu saja membuat hatinya menjerit kesakitan, tapi kenapa? Apakah suaminya j1jik dengannya?
Ralda nampak tersenyum kecut namun wajah itu terlihat tegar meski menahan sesak dalam dada.
" Baiklah, saya tidak akan menunggumu, Mas." ucapnya seraya memandang ke arah lain seolah mampu melihat sekitarnya.
Sangat nampak kekecewaan di wajah gadis buta itu. Apakah ada yang menghiraukannya, setidaknya Abrisam sebagai suaminya. Entahlah, ia tak mampu melihat cahaya sedikit pun terlebih wajah pria yang mulai tersemat di hatinya.
Sedangkan Abrisam tercengang, masih tidak mengerti apa yang dilakukan gadis buta itu. Pagi-pagi sekali Ralda pergi dan ternyata ke tempat ini, padahal tadi ia mengatakan ingin ke tempat lain.
" Gadis aneh," gumamnya sembari beranjak dari tempatnya meninggalkan wanita itu.
Ralda menghapus cairan bening yang seketika menghangat dari pelupuk mata. Dengan langkah pelan, gadis itu pulang menuju gubuknya. Ya, katakanlah gubuk lantaran rumah yang ditempati Ralda bersama pak Jaenab terlalu kecil dibandingkan rumah-rumah yang ada di sana.
Tangan Ralda tak sengaja menyentuh gelas yang dibuatkan untuk suaminya, miris sekali mas Abrisam tidak menyentuh sama sekali teh hangat itu.
Dadanya kian bergemuruh menahan rasa perih setelah tahu bahwa suaminya tak menyentuh makanan apa pun yang sudah disiapkan olehnya.
" Maaf jika Ralda terlalu berharap padamu mas, dan mulai saat ini saya pun mengerti dan tidak ingin berharap lagi." lirihnya.
Sementara di tempat lain, seorang pria tengah sibuk melayani beberapa pasien. Di tengah kesibukannya, ia menyempatkan diri menelpon sang kekasih yang ada di kota saat ini. Hana merajut karena Abrisam menunda kepulangannya dengan berbagai macam alasan.
" Kamu pasti punya kekasih di sana kan?" ketus Hana di seberang.
Abrisam terdiam, yang dikatakan Hana memang benar, bahkan bukan kekasih lagi melainkan istri sah yang halal untuknya. Saat ini ia masih bertahan, tidak ingin men0dai dirinya dengan tak ingin menyentuh Ralda.
Pria itu menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar.
Ponsel kembali berdering, nampaknya dari sang mama menelepon." Mungkin Hana mengadu pada mama," pikirnya.
" Kapan pulang, Abi ?" Mama sudah lama nunggu nih.
Abrisam merasa jantungnya berdebar ketika mendengar suara mama yang melengking keras melalui telepon. Dia langsung menjauhkan handphone-nya sedikit dari telinga karena suara mama yang begitu memekikkan.
"Mama, Abi belum pulang ya?" ucapnya dengan suara lemah, mencoba untuk menyembunyikan rasa cemas yang mendera. Ia mencoba merasuk dalam pikiran dan merasakan apa yang dirasakan mama saat ini.
" Lalu kapan, kamu selalu janji aja sama mama." ujar Rani terdengar kesal.
"Kalau Abi pulang sebelum waktunya, kan pelanggaran, Ma." katanya dengan nada penyesalan dan harapan agar mama mengerti keadaam saat ini.
Mungkin, hanya dengan sebuah penjelasan yang logis ini, akan bisa membuat mama mengerti dan sedikit meredakan kekhawatirannya. Namun, meski begitu, di dalam hati aku tetap merasa rindu yang sangat mendalam untuk kembali pulang.
Abrisam terdengar sabar membujuk orang tuanya yang tidak ingin mendengar alasan apapun.
" Jangan banyak alasan nak! Kemarin kamu bilang sama Hana, hari kamu kembali. Tapi kenapa kamu menunda lagi?" terdengar sang mama seolah tak terima atas penundaan kepulangannya.
" Tahan sedikit lagi mah, Abi mohon!"
Sang mama tidak bersuara lagi dan kini ponsel tersebut ada di tangan Hana sang kekasih.
" Hana kecewa sama mas Abi, kenapa harus berjanji jika tidak ingin menepati?"
" Ya ampun sayang, mas Abi di sini sedang kerja. Mana mungkin mas ninggalin pekerjaan begitu saja." ucapnya sudah mulai terdengar kesal.
Mendengar itu, suara Hana mulai melunak dan berbicara lembut pada kekasihnya.
"Baiklah mas, tapi setelah kepulanganmu nanti, kita langsung nikah tanpa embel-embel.
Abrisam berdiam diri mendengar penuturan sang kekasih. Saat ini ia adalah suami orang dan mana mungkin mengkhianati pernikahan sakral itu. Meski pun hatinya masih ragu dengan gadis yang bersamanya saat ini, namun ia sebagai pria tetap bertanggung jawab.
" Mas Abi kenapa diam? Hana tidak bisa menunda lagi." tegas sang kekasih di seberang sana.
" Sabar ya, Sayang." hanya ucapan singkat itu yang selalu didengar Hana berkali-kali. Hati wanita siapa yang tidak bergemuruh mendengar jawaban ketidakpastian pria itu.
" Sudah cukup kesabaran Hana, Mas. Kamu itu terlalu egois tidak pernah mikirin perasaan Hana." ucapnya setengah berteriak.
Abrisam tiba-tiba mematikan gawai yang ia pegang, ia merasa telinganya sangat bising dengan suara ocehan wanita yang ada di balik telepon. Dia mulai bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa aku merasa terganggu sekali dengan suaranya? Apakah aku sudah mulai bosan dengan kehadirannya? Tidak, aku harus berhenti berpikir seperti ini, mungkin aku hanya lelah dan stres akhir-akhir ini." Abrisam mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap ke luar jendela, berharap suasana hatinya bisa kembali tenang. Namun, dalam benaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menghantui, membuatnya merasa semakin bingung akan perasaannya sendiri.
"Jika saya kembali ke kota, lalu siapa yang akan merawat Ralda? Bagaimana kelanjutan hidup gadis buta tersebut?" Pemikiran Abrisam terhimpit oleh kecemasan.
Abrisam merasa kepalanya hampir pecah saat dia berpikir tentang dua wanita yang mengisi hatinya. Di satu sisi, ada wanita yang tinggal di pulau tersebut, yang mampu mengisi relung hatinya dan membuatnya merasa begitu nyaman. Di sisi lain, ada wanita yang saat ini menunggunya di kota, yang mengingatkannya pada janji untuk membahagiakan sang mama.
"Bagaimana mungkin aku harus memilih di antara keduanya?" gumam Abrisam dalam hati.
Dalam kebingungan ini, dia mencoba untuk memikirkan segala pertimbangan agar keputusan yang diambil nanti tidak membuat salah satu pihak terluka.
"Haruskah aku meninggalkan wanita yang berhasil membuat hatiku bahagia untuk wanita yang seharusnya menjadi pilihan mama? Atau sebaliknya, haruskah aku mempertaruhkan segalanya demi cinta yang baru kujumpai di pulau ini?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus bergulir dalam pikirannya, membuat Abrisam benar-benar bingung untuk menentukan keputusan terbaik.
Sesaat ia memejamkan mata demi menenangkan hati dan pikiran. Rasa kasihan pada Ralda hingga ia tidak tega meninggalkan sendirian, namun ia harus memikirkan wanita yang melahirkannya serta Hana.