Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinding Rahasia Yang Diruntuhkan
Brian berdiri di depan wastafel ruang dokter, membiarkan air dingin mengalir deras sementara tangannya gemetar halus. Matanya sembab, kurang tidur, dan kepalanya terus dihantui oleh kata-kata Gunawan semalam.
"Kami tidak akan membiarkan anak kami menikah hanya karena seseorang merasa bertanggung jawab."
Kalimat itu menohoknya—bukan karena salah, justru karena itu benar adanya.
Suasana rumah sakit pagi ini terasa sibuk, seperti biasa. Lorong-lorong dipenuhi perawat yang lalu-lalang, pasien duduk mengantri untuk rawat jalan, dan suara alat-alat medis samar-samar terdengar di kejauhan. Namun, bagi Brian, semuanya terasa seperti gema yang jauh.
Di kepalanya, ia hanya mendengar suara ayahnya, Wisnu, bergema.
"Kamu harus menikahi Naya."
"Kita tidak bisa membiarkan aib ini keluar."
"Kamu tahu apa jadinya kalau Naya hamil dan orang-orang tahu? Itu akan merusak bukan hanya kehidupan mu, tapi juga martabat Naya dan keluarganya."
Brian memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang, lalu meraih jas dokternya yang tergantung.
“Dokter Brian,” seorang perawat menghampiri. “Pasien di ruang 307 sudah siap diperiksa.”
Brian mengangguk lemah. “Baik, saya ke sana.”
Namun, langkahnya terasa berat.
Bukan karena kelelahan fisik, tapi karena pikirannya terlalu bising.
Selama ini, dia terus meyakinkan dirinya bahwa menikahi Naya adalah jalan keluar terbaik. Tapi, apa benar untuk Naya? Atau hanya demi meredam amarah ayahnya?
Satu-satunya alasan dia sampai pada titik ini bukanlah karena cinta.
Itu karena rasa takut.
Bukan takut kehilangan Naya, melainkan takut kalau kesalahannya di malam itu harus diungkapkan pada orang orang yang tidak terlibat langsung. Takut ini akan menjadi kesalah pahaman yang makin lebar.
Ditambah lagi ketakutan kalau Naya benar-benar hamil dan aib itu tidak keburu mereka tutupi dengan pernikahan ini.
---
Sepanjang pagi, ia memeriksa pasien satu per satu, berusaha bersikap profesional meskipun pikirannya berantakan. Beberapa pasien menatapnya heran, menyadari dokter muda mereka terlihat lebih pucat dan tak bersemangat dari biasanya. Bahkan beberapa perawat saling berbisik, membicarakan gosip lama yang tak kunjung padam — soal hubungannya dengan Naya.
“Udah seminggu lebih tapi dokter Brian kelihatannya makin murung" bisik salah satu perawat.
“Iya. Sesuatu pasti udah terjadi, semenjak malam pasien wanita itu datang. Semua tentang dokter Brian seperti berubah.” sahut yang lain.
Brian mendengarnya. Telinganya menangkap setiap kata. Tapi dia tak bereaksi.
Entah karena lelah, atau karena dia sudah tak peduli lagi.
Selesai memeriksa pasien terakhir untuk rawat jalan, Brian kembali ke ruang dokter. Ia duduk, melepas jasnya, lalu memijat pelipisnya.
Namun, kepalanya terasa semakin penuh.
---
“Gila, lu kenapa sih?”
Suara itu datang dari pintu.
Brian mendongak, dan melihat Rayhan berdiri dengan tangan di saku celana medisnya. Sahabatnya itu menatapnya tajam, penuh rasa penasaran bercampur prihatin.
“Gue baik-baik aja,” jawab Brian datar.
Rayhan terkekeh sinis, melangkah masuk. “Baik apaan? Muka lu kayak orang habis kalah taruhan. Lu tuh dokter, harus kelihatan profesional.”
Brian menghela napas. “Gue capek, Rey.”
“Capek kerja atau capek mikirin Naya?”
Brian mendongak, terdiam.
Rayhan menarik kursi, duduk di hadapan Brian. “Gue tahu lu terlalu mikirin itu. Jadi, gimana kelanjutannya ? Lo udah dapet solusi.”
" Solusi udah ada, tapi restu .. "
Brian menggelengkan kepalanya “Belum.”
" Kenapa ?"
" Keluarga Naya bersikeras nolak gue, karena mereka ngerasa alasan gue pingin nikahin Naya terlalu dibuat buat. Mereka gak yakin sama perasaan gue padahal gue sama bokap nyokap udah dateng ke rumahnya. Kemarin siangpun keluarga Naya udah gantian ke rumah gue dan masih belum juga ada keputusan." Brian menghela nafas panjang terus menerus.
Rayhan bersiul pelan. “Parah sih… Tapi, gue nggak kaget juga.”
Brian mengernyit. “Maksud lu?”
“Ya, gue ngerti posisi keluarganya Naya,” ujar Rayhan, menatap tembok kosong. “Mereka pasti ngelihat lu bukan sebagai cowok yang beneran cinta sama dia. Mereka lihat lu sebagai cowok yang datang karena merasa bersalah.”
Brian menghela napas panjang. Itu kenyataan yang tak bisa dia bantah.
Rayhan mengamati raut wajah sahabatnya. “Jujur deh, lu cinta nggak sama Naya?”
Pertanyaan itu membuat Brian membatu.
Matanya menatap kosong ke depan, rahangnya mengeras, tapi tak ada jawaban yang keluar.
Karena dia tahu jawabannya.
Dia tidak pernah mencintai Naya.
Hubungan mereka bermula dari sebuah malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Malam di mana Brian dalam keadaan mabuk, kehilangan kendali, dan Naya menjadi korban dari kebodohannya.
Semua ini adalah kesalahan.
Satu-satunya alasan Brian berusaha menikahi Naya adalah karena tekanan.
Desakan ayahnya.
Rasa takutnya sendiri.
Dan kemungkinan terburuk: jika Naya benar-benar hamil, ia tidak punya pilihan lain selain segera menikahinya sebelum berita itu menyebar.
Brian meremas rambutnya frustrasi. “Gue nggak tahu, Rey.”
Rayhan tertawa kecil. “Itu artinya lu nggak cinta.”
Brian terdiam.
“Dan lu kira keluarga Naya nggak bisa lihat itu?” Rayhan melanjutkan. “Mereka bukan orang bodoh, Brian. Mereka tahu lu di sini karena tanggung jawab, bukan cinta.”
Brian memijat pelipisnya, merasa terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.
“Apa yang harus gue lakuin, Rey?” suara Brian nyaris bergetar.
Rayhan menatapnya tajam. “Berhenti bohong.”
Brian mengernyit. “Maksud lu?”
Rayhan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Lu tahu, satu-satunya cara mereka bisa ngelihat lu lebih dari sekedar 'cowok yang bertanggung jawab' adalah dengan tahu kebenarannya.”
Brian terdiam.
Rayhan melanjutkan, “Lu harus jujur. Katakan ke mereka. Akui semuanya. Lu buat kesalahan besar malam itu, dan semua ini cuma usaha lu buat nutupin dampaknya.”
Brian menggeleng cepat. “Gue nggak bisa, Rey.”
“Kenapa nggak?”
Brian terdiam. “Karena mereka bakal benci gue lebih dari sekarang.”
Rayhan terkekeh sinis. “Mereka udah nggak suka sama lu, Brian. Nggak ada yang lebih buruk dari ini.”
Brian menggigit bibirnya. Kata-kata Rayhan benar, tapi ia tak sanggup membayangkan dampaknya.
Reyhan menepuk pundak Brian. “Lu pikir, kalau mereka tahu lu cuma nikahin Naya karena takut dia hamil dan takut nama keluarga lu rusak, mereka bakal lebih respek sama lu?”
Brian mengalihkan pandangan.
“Kalau lu jujur,” lanjut Rayhan, “mungkin mereka bakal ngamuk. Mungkin Gunawan bakal hajar lu habis-habisan. Tapi setidaknya... lu nggak lagi berpura-pura. Dan yang lebih penting Bi, mereka gak akan nahan lagi restu karena mereka pun pasti takut dengan konsekuensinya. Utamanya takut anak nya yang dengan label janda saja sudah terlihat buruk maka akan semakin buruk jika ketahuan hamil anak kedua dan itu diluar nikah.”
Brian menarik napas berat.
" Lo bener. Gue harus hadapin ini"
Kebenaran memang menyakitkan.
Tapi kebohongan, terutama yang satu ini, justru membunuhnya perlahan.