Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 MERASA KESEPIAN
Laras mengangguk, lalu segera bergegas pergi, meninggalkan aku sendiri di rumah. Aku berpaling ke arah Aisyah yang sedang duduk di ruang tamu, dan kemudian meminta dia untuk menyiapkan sarapan. Meskipun hubungan kami sudah berbeda, aku merasa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai bagian dari rumah tangga, meskipun aku tahu ini tidak mudah baginya.
Aisyah menatapku dengan tatapan dingin. Melihat tatapan Aisyah yang begitu dingin, aku merasa canggung dan ragu untuk meminta tolong lagi. Hubungan kami sudah tidak seperti dulu, dan sepertinya, setiap kata yang keluar dariku hanya akan semakin memperburuk suasana. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri sejenak, namun tetap saja, terasa sulit untuk berhadapan dengan Aisyah yang sekarang seperti ini.
“Aisyah, aku akan beli sarapan di luar saja,” kataku akhirnya, berusaha menjaga suasana tetap tenang meskipun ada ketegangan di antara kami.
Aisyah hanya diam, tidak ada reaksi apapun dari dirinya. Tidak ada anggukan, tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang semakin menebal. Aku bisa merasakan betapa jauh jarak di antara kami sekarang, dan itu semakin membuatku merasa terasing.
Tanpa menunggu balasan, aku berbalik dan melangkah pergi menuju pintu. Tidak ada lagi kehangatan yang bisa kurasakan di rumah ini. Aku hanya berharap, suatu saat nanti, semuanya bisa lebih baik—entah itu dengan Aisyah atau dengan Laras. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berjalan dalam kesendirian yang semakin menguatkan rasa hampa di hatiku.
Hari ini aku benar-benar sangat lelah, pekerjaan di kantor terus saja menumpuk, aku pun pulang dalam keadaan lelah, sedangkan Laras sudah pulang lebih dulu. Saat aku masuk kamar ternyata dia sedang bermain ponsel.
Aku melihat Laras sedang duduk di atas tempat tidur, fokus pada ponselnya. Dia tampak asyik, seolah tidak ada yang mengganggu, sementara aku baru saja pulang dengan tubuh yang lelah dan kepala yang penuh dengan stres dari pekerjaan. Rasanya seperti dunia luar tidak bisa lebih jauh dari kenyataan yang aku hadapi di rumah ini.
Aku berdiri sebentar di pintu, mencoba untuk menenangkan diri sebelum masuk lebih jauh. Setiap langkah yang kuambil mendekat ke arahnya terasa lebih berat, seakan ada hal yang mengganjal dalam pikiran.
"Laras," aku memanggilnya dengan suara yang agak pelan, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa lelahnya aku. "Kamu sudah makan?"
Laras mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihatku berdiri di sana, dan menggeleng pelan. "Belum," jawabnya singkat, sambil kembali fokus pada layar ponselnya.
Aku menghela napas, merasa ada sedikit rasa kecewa yang tumbuh. Aku tahu dia lelah, tapi aku juga lelah, dan kadang-kadang aku berharap dia bisa lebih perhatian. Aku mencoba menahan perasaan itu dan berkata lagi, "Kalau begitu, nanti kita makan bareng. Aku nggak sempat beli makan siang tadi."
Laras hanya mengangguk pelan, tanpa banyak bicara. Aku bisa merasakan ada jarak yang semakin besar antara kami, seolah-olah kami hidup dalam dua dunia yang berbeda meskipun berada di dalam satu rumah.
Dengan lelahnya tubuh dan perasaan yang tak terucapkan, aku duduk di sisi tempat tidur, mencoba melepaskan beban yang ada. Namun, semakin lama aku tinggal dalam diam, semakin terasa sepi dan hampa.
Suara tawa kedua anakku yang terdengar dari ruang tamu membuatku merasa sedikit tenang. Tawa mereka seperti angin segar yang datang di tengah kekosongan yang ada di rumah ini. Meski aku merasa begitu lelah dan terjebak dalam rutinitas, suara riang mereka membawa sedikit kebahagiaan yang hilang sejenak.
Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju ruang tamu. Menyadari aku akan keluar kamar, Laras menatapku heran.
"Kamu mau ke mana, Mas?"
"Aku mau menemui kedua anakku dulu, sudah beberapa hari ini aku tidak bermain dengan mereka." Laras hanya diam, dan membiarkanku pergi meninggalkannya di kamar.
Setiap langkahku terasa lebih ringan mendekati mereka. Begitu aku memasuki ruang tamu, aku melihat Safira dan adiknya, Rani, sedang bermain bersama dengan gembira. Senyuman mereka yang cerah, meskipun ada sedikit kesedihan yang aku rasakan, tetap memberi rasa hangat di hati.
Aku berdiri sebentar di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan perasaan campur aduk. Keinginan untuk lebih dekat dengan mereka semakin kuat, namun perasaan bersalah dan keraguan tentang apa yang sudah terjadi di antara kami selalu menghantui.
"Hei, kalian lagi ngapain?" aku mencoba untuk menyapa mereka dengan suara yang lebih ceria dari yang aku rasakan.
Kehangatan yang tadi ku rasakan seakan langsung sirna begitu Safira menatapku dengan wajah dingin. Aku bisa merasakan perubahan itu dalam sekejap. Semua tawa dan keceriaan yang sebelumnya menggema di ruang tamu tiba-tiba menghilang, digantikan dengan suasana sunyi yang terasa berat.
Safira berdiri perlahan, tanpa sepatah kata pun ia pergi meninggalkan ruang tamu, meninggalkanku bersama Rani yang masih asyik bermain puzzle. Rani pun tidak berani menatapku, matanya tertunduk, tidak ingin ikut campur dalam ketegangan yang aku rasakan.
Perasaan itu datang lagi—sebuah perasaan kesepian yang semakin menyesakkan dada. Safira... anak sulungku, yang dulu selalu ceria dan dekat denganku, kini menjauh tanpa memberi kesempatan untuk berbicara. Semua yang terjadi sepertinya meninggalkan bekas yang begitu dalam, bahkan di hati anak-anak.
Aku berdiri diam sejenak, melihat Rani yang masih sibuk dengan permainannya. Aku ingin mengatakan sesuatu, apapun, untuk mengembalikan keceriaan itu, tapi rasanya sudah terlambat. Safira sudah memilih untuk menjauh, dan aku hanya bisa berdiri di sini, terjebak dalam perasaan hampa yang semakin menyesakkan.
Dengan hati yang berat, aku berjalan perlahan ke arah sofa dan duduk. Pandanganku kosong, berusaha mencari cara untuk memperbaiki semuanya, tapi aku tahu itu tidak akan mudah. Aku hanya berharap suatu saat nanti, Safira dan Rani bisa memahami mengapa semua ini terjadi. Namun, untuk sekarang, aku hanya bisa merasa sangat jauh dari mereka.
Aku mengusap wajahku perlahan, merasa lelah setelah hari yang panjang di kantor. Perutku mulai menggerutu, tanda bahwa aku memang perlu makan. Sebentar lagi, larut dalam suasana hati yang tak tentu, aku akhirnya memutuskan untuk tidak keluar dan memilih meminta pada Laras untuk menyiapkan makan. Meskipun awalnya aku berniat membeli di luar, tapi rasanya lebih baik aku meminta Laras untuk melakukannya, meski dalam kondisi seperti ini.
Aku berdiri dan berjalan menuju dapur, melihat Laras sedang sibuk dengan pekerjaannya di sana. “Laras, bisa tolong siapkan makan malam?” tanyaku dengan suara yang lebih tenang, meskipun hatiku masih penuh dengan banyak perasaan yang tak terucapkan.
"Bu... Bukanya kita akan beli makan di luar dan makan bersama?"
"Niatku memang begitu. Tapi aku ingin merasakan masakanmu, Laras." Aku bisa merasakan rasa kecewa yang tumbuh perlahan. Aku berharap Laras bisa menyiapkan makan malam, tapi melihat wajah lelahnya setelah seharian bekerja, aku akhirnya mengerti. Meeting yang menguras tenaga, ditambah dengan pekerjaan lainnya, membuatnya kelelahan. Meski rasa kesal sempat muncul, aku berusaha menahan diri dan tidak meluapkannya.
Aku tahu, Laras bukan hanya istri, dia juga manusia yang punya batas kemampuan dan rasa lelah. Keinginanku agar semuanya berjalan sesuai kehendak seringkali berbenturan dengan kenyataan. Aku mungkin berharap terlalu banyak, atau terlalu terbiasa dengan rutinitas yang dulu—di mana Aisyah selalu siap sedia.
Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/