Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 06 - Jangan Menolak Kewajiban
Nadin masih bertanya? Sungguh Zain tak habis pikir melihat wajah polosnya ketika melontarkan pertanyaan semacam itu. Padahal, di atas nakas sudah berjejer obat magh dan lainnya, hal itu sudah membuktikan jelas jika dia sudah lama mengidap penyakit itu.
Tatapan Zain yang tertuju ke atas nakas tersebut membuat Nadin mengerti tanpa perlu dijelaskan. "Persiapan, mana tahu kambuh," ucapnya kemudian beralih merapikan meja belajar yang sedikit berantakan.
Banjir malam itu membuat beberapa barang berharga bertumpuk si sana. Nadin tak sempat menatanya lebih dulu, terpenting buku-buku dan yang lain selamat lebih dulu.
Sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi Nadin yang telanjur panik memilih menyelamatkan diri ke kost temannya yang dirasa lebih aman. Dan, hari ini dia harus kembali bertempur untuk menata kamarnya agar terlihat lebih rapi.
Walau memang sempat dibersihkan sekali oleh ibu kost-nya, tapi tetap saja untuk hal-hal kecil semacam itu mana mungkin turut dirapikan juga.
Tak lagi sendiri, hari ini Nadin ditemani seseorang yang sebenarnya sangat dia segani sejak dulu. Kharisma Zain sebagai dosen di kampusnya membuat Nadin mendadak tak enak hati.
Seolah masih lupa jika sudah suami istri, Nadin mempersilahkan Zain untuk duduk dan menunggu saja. Bahkan, Nadin juga mengatakan jika dia tidak keberatan andai ditinggal saat ini.
"Penerbanganku jam 2 siang, masih ada waktu."
"Tapi, bukannya Bap_ aduh siapa manggilnya? Panggil nama makin marah nanti." Nadin hendak bicara, tapi seketika terhenti lantaran sadar wajah Zain benar-benar tak suka ketika dia kembali memanggil pria itu dengan sebutan bapak. "Ehem, bukankah harus siap-siap? Pakaian atau lainnya ... Mas?"
Sial, Nadin gugup sekali, bahkan panggilan mas-nya itu terdengar begitu kecil. Antara malu, takut yang punya nama tidak suka dan semacamnya karena di mata Nadin, tampang Zain tidak begitu cocok dipanggil Mas.
Akan tetapi, hendak dia panggil abi juga makin tak cocok lagi, jatuhnya jadi geli. Sementara ini, Nadin hanya ingin menyelamatkan diri dan selebihnya dia bisa pikirkan lagi.
"Mas?"
Jauh dari dugaan, hati Zain berdesir mendengar panggilan sang istri untuknya. Memang dia tidak akan melompat kegirangan hanya karena mendapat panggilan itu, tapi yang jelas pria perlahan tersenyum tipis.
Gampangan sekali sepertinya Zain, baru juga Nadin panggil mas dia pikirannya sudah melayang kemana-mana. Terlebih lagi panggilan itu dia dapatkan dari seorang wanita lemah-lembut seperti Nadin.
Sama-sama salah tingkah, Nadin yang sadar Zain terus menatap dengan senyum tipis di wajahnya menunduk dan meremmas jemarinya. Agaknya saat ini dia merutuki kebodohannya, wajahnya terasa memanas dan Nadin mengira jika senyuman Zain bermaksud ejekan untuknya.
"Ehm, yang ini mau diletakkan kemana?" Cukup lama keduanya berusaha untuk menguasai keadaan, Nadin mendongak usai Zain bertanya padanya.
Sungguh begitu dalam lamunan Nadin hingga dia sampai tak sadar jika Zain tidak lagi berada di dekatnya. Melainkan sudah berada di sudut ruangan seraya mengangkat keranjang pakaian kotor yang sebenarnya memang di sana.
"Memang di sana tempatnya, biarkan saja."
"Di sini? Kenapa tidak di kamar mandi atau langsung dimasukkan mesin cuci saja?" Zain lupa, dia mengira semua orang itu sama sebagaimana dia menjalani hidup di dunia.
"Aku tidak setiap hari bisa nyuci, kalau ditumpuk kamar mandi nanti bau ... kalau mau dimasukkin langsung ke mesin cuci, di sini tidak ada yang seperti itu."
"Tidak punya? Terus kamu cucinya gimana? Laundry?" tebak Zain kemudian kembali mendekat usai meletakkan benda itu ke tempat semula.
"Pakai tangan."
Mata Zain membulat sempurna, terlahir sebagai putra dari seorang billionaire ternama membuat Zain terbiasa dengan segala kemudahan hingga begitu mendengar pengakuan Nadin jelas saja pria itu tercengang.
"Serius? Sebanyak itu? Apa tidak kaku jarimu?"
"Itu belum banyak, biasanya aku nyuci seminggu sekali ... hari minggu."
Sempat tercengang karena tidak ada mesin cuci, dia lebih tercengang lagi kala mendengar penjelasan Nadin yang kedua ini. Zain juga tinggal sendiri, tapi dia tidak pernah menumpuk pakaian kotor sebanyak itu sebelum dicuci, tepatnya dia yang tidak pernah mencuci.
"Seminggu? Terus itu pakaianmu berapa hari?"
"Tiga hari mungkin."
"Tiga hari sebanyak itu, seminggunya bagaimana." Tidak lagi bertanya, kali ini Zain hanya bergumam dan menatap keranjang pakaian kotor Nadin.
Sesibuk itu Nadin sampai mengabaikan banyak hal. Asam lambung yang dia derita dan tumpukan pakaian kotor itu sudah menjelaskan seberapa ambisius istrinya. Rela telat makan dan menunda pekerjaan demi mengutamakan pelajaran, ya Zain tahu itu tanpa perlu dijelaskan.
Lagi dan lagi, perasaan bersalah itu terbesit kembali. Nadin masih terus menyibukkan diri, sementara Zain yang bingung hendak melakukan apa hanya memantau kegiataan sang istri dari tepian tidur.
Bukan karena tidak ingin membantu, tapi memang Nadin yang memerintahkan karena sejak lantaran yang Zain lakukan sama sekali tidak meringankan pekerjaan, semakin merepotkan mungkin iya.
.
.
Cukup lama mereka bersama di hari pertama, hampir lima jam Zain berada di kost Nadin. Berawal dari sekadar memantau istrinya beres-beres, berakhir tidur demi menebus begadangnya semalam.
Nyenyak sekali tidurnya, bahkan sewaktu Nadin bangunkan untuk makan siang pria itu enggan dan memilih tidur saja. Jika menurut keinginannya, mungkin sampai besok pagi masih ingin tidur karena ngantuknya luar biasa.
Namun, sebagai tenaga pengajar yang diberikan kepercayaan, mau tidak mau Zain harus professional. Tepat jam satu siang, dia terbangun berkat Nadin yang begitu sabar membangunkan tidurnya yang persis mati suri itu.
"Jam berapa?" Sudah lebih dari tiga jam, tapi matanya sangat menjelaskan jika tidurnya sangat kurang.
"Jam satu," jawab Nadin menjauhkan tubuhnya.
Sejenak Zain dibuat terpana melihat penampilan istrinya. Padahal tidak ada yang berbeda, Nadin masih menggunakan kerudung, hanya saja lebih simple dan wajahnya lebih segar hari ini, tak sepucat kemarin.
Tidak ingin terlalu kentara jika dirinya terpesona, Zain segera beranjak ke kamar mandi. Secepat kilat dia bergerak hingga Nadin mengira pria itu sakit perut atau semacamnya.
Tak berselang lama, dia keluar dengan wajah yang sedikit lebih segar, kemungkinan hanya cuci muka karena memang dikejar waktu juga. Tidak banyak yang Zain persiapkan, dia memang pergi dengan tangan kosong.
Sigapnya Zain bersiap Nadin saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Tak heran kenapa dijuluki si paling sat set karena memang cepat dan tidak banyak basa-basi.
"Aku tidak tahu kapan pulangnya, gunakan ini untuk keperluanmu ... pinnya sudah aku catat di bukumu." Entah kapan Zain melakukan hal semacam itu, Nadin sungguh terkejut begitu Zain memberikan debit card untuknya.
"Aku masih punya satu juta di rekening kok, Mas."
"Pegang, aku tidak bertanya berapa sisa uangmu," tegas Zain tak terbantah hingga Nadin mengerjap pelan, dia masih terdiam hingga Zain meraih telapak tangannya. "Jangan menolak kewajibanku ya, nanti dosaku makin banyak," tambah Zain lagi.
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"