NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 - Jam Tangan Tua

Luna terdiam sejenak, matanya masih terfokus pada Lucius, lalu akhirnya ia menggeleng pelan. "Tidak ada yang salah, hanya... luka yang ada di tubuh kalian, itu bukan seperti luka karena berburu." jawabnya jujur, suara lembut namun tajam. "Tapi, itu bukan urusanku"

"Kalian harus membayar biaya perawatan dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan dia," lanjutnya dengan suara datar, sambil menyerahkan lembar tagihan pada mereka. "Klinik ini sedang kekurangan obat-obatan, dan perawatan kalian memakai banyak obat dan sumber daya kami. Jadi, kami perlu segera mendapatkan pembayaran itu."

Rudolf dan Lucius saling pandang sejenak, seolah berbicara tanpa kata-kata, saling mencoba mengukur situasi dan apa yang harus dilakukan. Keduanya tampak ragu, dan Luna bisa merasakannya. Namun, saat Rudolf akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar sedikit cemas, meskipun ia berusaha untuk terdengar meyakinkan.

“Maaf, tapi untuk saat ini tidak memiliki uang, Luna,” kata Rudolf, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, seperti mencari cara untuk menyampaikan kenyataan pahit ini. "Tapi... kami berjanji, saat kami kembali ke rumah, kami akan membayar biaya perawatan kalian. Kami akan mengatur semuanya."

Luna merengut, ekspresinya sedikit kesal. Ia memandang Rudolf dan Lucius dengan mata yang tajam, meskipun ada sedikit rasa empati yang sulit disembunyikan. "Kalian berjanji akan membayar nanti?" katanya, suara sedikit mencibir. "Aku sudah mendengar banyak janji kosong sebelumnya."

Rudolf merasa sedikit terpojok, meskipun ia tahu tidak ada niat buruk dalam ucapannya. "Luna, kami benar-benar tidak punya uang sekarang. Tapi, kami tidak akan lari dari tanggung jawab kami. Kami akan membayar secepatnya."

Luna masih menatapnya, sejenak, seolah mencerna apa yang baru saja dikatakan. "Hahhh....," katanya akhirnya dengan nada sedikit kecewa, meskipun ia berusaha untuk tetap menunjukkan sikap profesional. "Kalau kalian ingin membayarnya nanti, setidaknya kalian harus ada jaminan kan? Kalau tidak ada, kalian berdua harus bekerja disini secara sukarela"

Lucius menatap Luna sejenak dengan tatapan serius, lalu perlahan ia melepas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam itu tampak sederhana, dengan tali kulit berwarna cokelat tua yang sudah agak pudar, dan wajah jam yang terlihat tidak begitu mencolok. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lucius yang membuat jam tangan itu tampak lebih berharga dari sekadar benda biasa.

"Ini," ujar Lucius pelan, seraya menyodorkan jam tangan itu kepada Luna, "Sebagai jaminan sampai kami bisa membayar biaya perawatan."

Luna memandang jam tangan itu dengan pandangan ragu. Jam itu memang terlihat sederhana, bahkan bisa dibilang tua dan agak kusam. Tali kulitnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, dan meskipun wajah jam itu tampak terawat, tak ada logo atau ciri khas mewah yang biasa ditemukan pada jam tangan berkelas. Bagi Luna, ini hanya sekadar benda biasa. Tidak ada yang istimewa.

Namun, saat dia akan menerima jam itu, Rudolf berbisik, "Boss, jangan!" serunya, dengan ekspresi tidak setuju yang jelas terpancar di wajahnya. "Itu... itu sangat berharga! Selain itu harganya sangat mahal!" bisiknya

Lucius menoleh dan memandang Rudolf dengan tajam, mata mereka bertemu dalam pertempuran tatapan yang mematikan. "Diam," kata Lucius dengan suara rendah, namun penuh kekuatan. "Ini satu-satunya cara kita bisa menunjukkan niat baik kita. Aku tidak ingin mereka berpikir kalau kita akan mengingkari janji."

Rudolf terdiam, meskipun ekspresinya masih terlihat keberatan. Dia tahu betul betapa bernilainya jam tangan itu bagi Lucius. Jam itu bukan hanya benda mewah yang bisa dijual dengan harga tinggi, melainkan juga memiliki nilai sentimental yang dalam. Jam tangan itu adalah peninggalan dari ibunya, yang merupakan salah satu simbol dari kekuatan dan status keluarganya. Bagi Lucius, itu adalah tanda dari warisan yang tak bisa dia lepaskan begitu saja.

Tapi Lucius tampaknya lebih memilih untuk mempertaruhkan semuanya demi menunjukkan keseriusannya dalam memenuhi janji mereka. Dengan tegas, ia menatap Luna lagi. "Terimalah," katanya, suaranya penuh tekad. "Kami akan membayar, dan aku akan menebus ini setelah kami kembali."

Luna menerima jam tangan itu dengan tangan yang sedikit ragu, meskipun dia menyembunyikan perasaannya dengan hati-hati. Dalam pikirannya, ia hanya terbesit satu pertanyaan: Apa gunanya jam tangan tua ini?

Luna menatap jam tangan itu sejenak, merasakan beratnya bukan hanya dari materi, tapi juga dari beban emosional yang dibawa oleh benda itu. Perlahan, dia mengangguk. "Jam tangan ini terlihat tua dan usang, kalaupun aku jual mungkin hanya akan laku beberapa puluh dolar saja" katanya, meskipun ada keraguan yang tersisa di matanya. "Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Aku akan terima. Tapi ingat, kalian harus segera menepati janji kalian."

Lucius hanya mengangguk, matanya berseri dengan rasa terima kasih, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Rudolf menggeser posisi duduknya di kursi tua dekat meja pemeriksaan, berusaha menahan nyeri yang masih terasa di sekujur tubuhnya. Meskipun ia tahu dirinya tidak dalam kondisi terbaik, ada dorongan dalam dirinya untuk tidak hanya berdiam diri. Dengan suara serak namun tegas, ia berkata kepada Luna yang sedang membereskan botol-botol obat di rak kayu.

"Hei, Luna," panggil Rudolf sambil mencoba tersenyum ramah. "Apa yang bisa aku kerjakan? Aku bisa membantu apa saja untuk mengurangi hutang kami."

Luna berhenti sejenak, menatapnya dengan sudut matanya tanpa benar-benar mengangkat kepala. "Apa yang bisa kau kerjakan dengan kaki patah dan tubuh penuh luka seperti itu?" balasnya tajam, disertai nada sinis yang begitu menusuk. "Kalau pun kau mencoba, yang ada malah menambah kerjaan kami merawatmu."

Tanpa menunggu jawaban Rudolf, Luna berbalik dan segera melangkah keluar dari ruangan dengan bunyi langkah yang terdengar tegas di lantai kayu.

Rudolf, yang awalnya berusaha menahan harga dirinya, hanya bisa menatap punggung Luna yang semakin menjauh. Rahangnya mengatup rapat, jelas merasa terpukul oleh ucapan pedas itu. Dengan raut muka masam, dia akhirnya bersandar di kursi sambil bergumam cukup keras agar terdengar oleh Lucius yang berbaring di ranjang dekatnya.

"Lihat dia, mulutnya benar-benar sadis," keluh Rudolf, sambil melirik ke arah pintu yang baru saja ditutup Luna. "Aku bersumpah, malang sekali pria yang akan menjadi suaminya nanti. Siapa pun dia, pasti butuh pelindung mental."

Lucius, yang sedang berusaha duduk meski tubuhnya masih lemah, melirik bawahannya dengan sudut mata dan mengangkat satu alis. "Mungkin," katanya dengan nada datar namun penuh sindiran halus. "Atau mungkin justru pria itu akan belajar banyak soal kesabaran."

Rudolf mendengus keras, matanya masih menatap pintu. "Kesabaran?" ia menirukan dengan suara rendah sambil menggelengkan kepala. "Lebih tepatnya keberanian. Hidup dengan gadis seperti itu lebih menantang daripada berhadapan dengan musuh di lapangan."

Lucius tertawa pelan, suara seraknya membuat candaannya terdengar lebih hangat daripada biasanya. "Kurasa kau hanya merasa tersudut, Rudolf. Mungkin kalau kau bersikap lebih sopan, dia akan memperlakukanmu lebih baik."

"Sopan?" Rudolf membulatkan matanya, seolah tak percaya. "Boss, aku merendahkan harga diriku dihadapannya..."

Pintu terbuka dengan cepat, dan Luna muncul lagi, membawa secangkir teh di tangannya. Pandangannya langsung mengarah ke Rudolf yang langsung terdiam, wajahnya berusaha memasang ekspresi seolah tidak ada yang terjadi.

"Jangan banyak bicara," kata Luna dengan dingin sambil meletakkan cangkir teh di meja dekat Lucius. "Minum tehmu, biar kau punya energi untuk melanjutkan keluhanmu nanti."

Luna berbalik lagi dengan anggun, meninggalkan mereka berdua yang kini saling memandang dalam diam, hingga akhirnya Rudolf mengangkat bahunya, menyeruput teh itu dengan perlahan. "Tajam seperti pisau," bisiknya lagi, kali ini hanya untuk dirinya sendiri.

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!