Daniel Van Houten, mafia berdarah dingin itu tak pernah menyangka dirinya di vonis impoten oleh dokter. Meski demkian Daniel tidak berputus asa, setiap hari ia selalu menyuruh orang mencari gadis per@wan agar bisa memancing perkututnya yang telah mati. Hingga pada suatu malam, usahanya membuahkan hasil. Seorang gadis manis berlesung pipi berhasil membangunkan p3rkurutnya. Namun karna sikap tempramental dan arogannya membuat si gadis katakutan dan memutuskan melarikan diri. Setelah 4 tahun berlalu, Daniel kembali bertemu gadis itu. Tapi siapa sangka, gadis itu telah memiliki tiga anak yang lucu-lucu dan pemberani seperti dirinya.
____
"Unda angan atut, olang dahat na udah tami ucil, iya tan Ajam?" Azkia
"Iya, tadi Ajam udah anggil pak uci uat angkap olang dahat na." Azam
"Talau olang dahatnya atang agi. Tami atan ucil meleka." Azura.
_____
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Apa Nona ingin mandi?" tanya Susi setelah Ayang menghabiskan mangga yang di bawanya.
Ayang menggeleng sambil menyilangkan kedua tangan di dada, seperti orang tengah kedinginan.
"Baiklah, kalau begitu saya mau bawa piring ini kebelakang dulu."
Ayang mengangguk.
Susi pun pergi keluar kamar membawa piring kotor bekas mangga dan sarapan tadi.
Ayang merebahkan tubuh di ranjang, sambil menatap langit-langit kamar, karna memang keadaan fisiknya belum begitu pulih.
Abang kemana? Kenapa belum juga datang?
Ayang membatin, teringat kata-kata Dani yang berjanji akan datang membawanya pergi.
"Selamat pagi Nona!" sapa seorang wanita berjas putih, masuk kedalam kamar bersama Susi.
Ayang segera duduk. Menatap heran kehadiran dokter tersebut.
"Bagaimana keadaan Nona?"
Ayang mengambil alat tulisnya, lalu menulis sesuatu di sana. Saya baik-baik saja, Dok.
Dokter tersenyum ramah. "Syukurlah kalau begitu," ucap dokter, kemudian duduk di sebelah Ayang. "Kata Bik Susi, Nona kedinginan ya?" ujar dokter seraya meraba kening Ayang.
Sedikit Dok. tulis Ayang.
"Tadi Susi juga bilang Nona habis makan mangga ya?"
Ayang mengangguk pelan seraya tersenyum kikuk.
Kemudian dokter meraih sebelah tangan Ayang, yang masih terlihat bekas jahitan. "Lukanya sudah lumayan kering. Biar Bu Dokter bantu bersihkan ya?"
Ayang mengangguk.
Dokter mulai membersihkan luka di pergelangan tangan Ayang sambil mengajaknya mengobrol ringan.
Tiba-tiba Ayang kembali merasakan mual, lalu berlari ke kamar mandi. Dokter tersebut mengikutinya, membantu mengusap tengkuk Ayang.
Setelah selesai, dokter membantu Ayang berjalan menuju ranjang.
"Apa bulan ini Nona sudah haid?" tanya dokter setelah duduk di ranjang.
Ayang menggeleng pelan, tubuhnya memang terasa lemah akibat sudah beberapa kali muntah pagi ini.
"Kapan Nona terakhir haid?" tanya dokter lagi.
Ayang mengingat-ingat, memang rasanya sudah lama sekali tamu bulanan itu tidak mendatanginya.
"Lupa." Ayang menggerakkan bibirnya sambari menggelengkan kepala.
"Sekarang apa yang Nona rasakan?"
Ayang mengambil alat tulisnya, dan menulis sesuatu di sana. Pusing, mual dan lemas, Bu Dokter.
"Sekarang Nona istrahatlah. Obatnya jangan lupa di minum. Nona sudah sarapan kan?"
Ayang mengangguk.
.
.
.
.
Baru saja dokter keluar kamar, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Hallo Tuan?"
"Apa kau sudah memeriksanya?" tanya Daniel di ujung sana.
"Hm, sudah Tuan, tapi...?" Dokter menggantung kalimatnya.
"Tapi apa? Katakan yang jelas!" tekan Daniel.
"Sepertinya, gadis itu sedang hamil Tuan."
"Hamil?
"Ka-kau serius?"
"Baru prediksi saya Tuan, untuk memastikan, ada baiknya di lakukan pemeriksaan di rumah sakit."
"Baiklah."
Sambungan telepon pun dpuruskan Daniel.
Kemudian dari tempatnya berada, Daniel menghubungi Susi, menyuruhnya membawa Ayang ke rumah sakit.
.
.
.
Setelah Ayang bangun tidur, Susi melakukan apa yang di perintahkan Daniel, membawanya kerumah sakit. Tadinya Susi beralasan hanya ingin memeriksa pembengkakan di leher Ayang yang masih menggunakan alat bantu.
Namun, tiba dirumah sakit Ayang keheranan karna ia di bawa ke poli kandungan.
"Kita mulai periksa ya."
Ayang semakin kebingungan ketika dokter mulai menaruh benda kecil yang sudah di beri gel bening ke perutnya.
Kemudian dokter menghidupkan layar monitor di dinding.
"Lihatlah di dalam perut Nona sekarang ada makhluk yang sedang berkembang," ujar dokter seraya tersenyum.
Ayang semakin keheranan. Ia bertanya pada dokter dengan menggerakkan bibirnya.
Dokter pun menjelaskan pada Ayang, jika saat ini dirinya tengah hamil 4 minggu.
Tidak, ini tidak mungkin!
Ayang menggeleng tidak percaya, dirinya shock ketika mengetahui tengah berbadan dua. Hamil diluar nikah. Tentunya itu sebuah aib besar baginya, air matanya jatuh begitu saja.
Dokter keheranan, melihat Ayang yang menangis.
Susi kemudian menyuruh Beti agar membawa Ayang keluar dari ruang poli tersebut, menuntunnya berjalan ke parkiran. Sementara Susi masih bicara dengan dokter.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ayang terus saja menangis.
"Jangan lakukan itu Nona." Susi mendekap tubuh Ayang, ketika tangannya memukul perutnya sendiri.
Tangis Ayang semakin pecah dalam pelukan wanita yang hampir menyentuh usia setengah abad itu.
"Janin itu tidak bersalah Nona, jangan hukum dia," ucap Susi sambil mengusap punggung Ayang.
.
.
.
* * *
"Hahaha, Regan kau dengarkan, aku akan punya anak." Daniel tertawa memberikan kertas hasil pemeriksaan Ayang tadi siang pada Regan.
Beberapa menit yang lalu, setelah mendengar kabar dari Susi jika Ayang hamil, ia dan Regan segera menuju tempat kediaman Ayang tinggal.
"Tapi Tuan, Dokter menyarankan agar Nona tidak stress, karna bisa berdampak buruk bagi perkembangan janinnya."
Tawa Daniel seketika lenyap, matanya menatap tajam pada Susi. "Maksud kau apa?"
"Maaf Tuan, sejak dari rumah sakit sampai sekarang Nona terus saja menangis. Dia juga tidak mau makan siang."
"Kenapa bisa begitu?" Rahang Daniel terlihat mengeras.
"Sa-saya tidak tahu, Tuan," ucap Susi mulai ketakutan.
Daniel kemudian masuk kedalam rumah, menuju kamar tempat Ayang berada. Perlahan ia mendekati ranjang tempat Ayang yang tengah berbaring miring menghadap tembok.
"Ekhem!"
Ayang menoleh dan seketika ia duduk memeluk kedua lututnya. Tubuhnya gemetar hebat.
Daniel melangkah mendekat, membuat Ayang semakin beringsut mundur.
"Kenapa kau belum makan?"
Ayang menggeleng, seluruh tubuhnya semakin gemetar.
Daniel menghela nafas. "Aku tidak makan orang, kenapa kau begitu takut padaku?"
Ayang tidak menjawab, tubuhnya semakin bergetar hebat.
"Baiklah, aku akan pergi!" Daniel segera berbalik badan melangkah keluar dari kamar tersebut karna melihat Ayang yang semakin ketakutan.
Di luar kamar, Daniel meraup wajahnya, lalu menatap pada Susi. "Aku tidak mau tahu, kau tanyakan pada dia! Apa yang dia inginkan! Kau paham!"
"Iya Tuan."
"Bagus!"
"Dan satu hal lagi! Aku tidak ingin dia kenapa-napa, apalagi sampai calon anakku tidak berkembang seperti yang kau katakan! Kau pastikan dia makan yang banyak!" tekan Daniel
"Baik Tuan."
Daniel menarik nafas dalam, lalu melangkahkan kakinya menuju mobil terparkir.
Setelah mobil Daniel menghilang, Susi segera masuk ke dalam kamar Ayang, di lihatnya Ayang masih meringkuk ketakutan di sisi ranjang.
"Ya Tuhan, Nona!" Susi bergegas mendekat dan memeluk tubuh Ayang yang masih bergetar hebat.
.
.
.
Sore harinya, Daniel menghubungi Susi, menanyakan keadaan Ayang. Susi menjawab apa adanya, jika Ayang hingga saat ini belum juga mau makan. Susi menyarankan Daniel agar membawa saudara Ayang untuk membujuk.
Lantas Daniel menyuruh Regan membawa Dani ke tempat Ayang tinggal.
Tidak susah menemukan Dani karna orang Regan selalu membuntutinya.
Malam menjelang Dani sudah berada di kediaman tempat Ayang tinggal.
"Ay." Ragu-ragu Dani berjalan mendekati Ayang.
Ayang menoleh, dan seketika bangkit dari tidurnya, berlari memeluk Dani.
"Ay, lu kenapa lagi?" Dani mengurai pelukan, kemudian menangkup kedua pipi Ayang.
Ayang masih sesugukan menangis, hingga pipinya terlihat basah.
"Jangan cengeng, Lu bukan anak-anak lagi," kata Dani seraya menyeka air mata di wajah Ayang.
Ayang masih saja menangis.
"Kalau Lu masih nangis, Gue pergi nih."
Ayang menggeleng, menahan kedua tangan Dani.
"Mangkanya diam."
Kemudian Dani membawanya duduk di tepi ranjang. Dani menatap Susi yang berdiri mematung di samping ranjang.
"Dia robot atau orang sih?" gumamnya membuat sudut bibir Ayang sedikit tersenyum.
Ayang mengambil alat tulisnya, lalu menuliskan sesuatu disana. Bik, bisa keluar dulu gak? Ayang memperlihatkan tulisannya pada Susi.
"Baiklah." Susi pun keluar dari ruangan itu.
"Enak Lu Ay, tinggal perintah aja itu robot lansung menurut."
Ayang menulis lagi di kertasnya. Abang kapan bawa Ayang pergi?
"Ay, gue bukan gak mau bawa Lu pergi. Tapi kita mau pergi kemana, Ay?"
Ayang kembali menulis. Kampung Ayah.
"Emang Lu tau kampung Ayah di mana?"
Ayang menggeleng, wajahnya berubah sedih, karna sejak lahir ia tak pernah berjumpa dengan sosok pria yang selalu di rindukannya itu.
Dani yang menangkap perubahan raut wajah adiknya. Mengalihkan pembicaraan. "Ay, Gue lapar nih, Lu gak niat nawarin Gue makan. Pasti makanan di sini enak-enakkan?"
Ayang lansung memukul lengan Dani. Kemudian menulis lagi. Abang, Ayang gak mau tinggal di sini.
"Lah, kenapa? Kan enak Lu tinggal di sini. Rumah bagus, ada pembantunya, ini ruangan juga sejuk. Enak banget jadi Lu, Ay."
"Iiiih." Ayang mencubit lengan Abangnya yang memang kalau bicara tidak pernah bisa serius.
"Akh.. Sakit, Ay. Tau begini Gue gak mau lagi datang kesini." Dani meringis sambil mengusap bekas cubitan Ayang.
Ayang minta maaf, lalu mengusap bekas cubitannya.
"Ay, Gue benar-benar lapar nih. Ayo kita makan dulu."
Ayang mengangguk dan mengajak Dani keluar.
"Pasti makanan di sini enak-enak kan?"
yg ada ayang tambah stres dan membenci danil
lanjut kak/Drool/
hadirkan kebahagiaan untuk ayang
sudah 3 THN kok masih asih Tor...?
Ayahnya Ayang ada sangkut sama si Daniel?
vote untuk mu thor