Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16.
...Ayaka Ito ...
Langit sore sudah hampir gelap. Di rooftop hotel, angin bertiup cukup kencang, seolah ikut menyaksikan pertarungan yang akan terjadi. Nana berdiri berhadapan dengan Ayaka. Tatapannya tajam, namun Ayaka terlihat santai seolah-olah dia sudah tau hasil akhirnya. Di tengah mereka, Yuna berdiri dengan wajah serius.
"Karena kalian menunjuk gua jadi wasit, gua yang akan menentukan siapa pemenangnya." Yuna menatap keduanya dengan tegas. "Gua gak mau kalian sampai babak belur. Jadi aturannya simpel, siapa yang jatuh lebih dulu, dia yang kalah."
Nana dan Ayaka mengangguk.
"Mulai."
Yuna langsung mundur beberapa langkah. Begitu aba-aba diberikan, Nana langsung melesat ke arah Ayaka dengan kecepatan tinggi!. Tapi Ayaka masih berdiri santai, matanya penuh percaya diri.
Nana melayangkan pukulan keras!
Bugh!
Tapi pukulannya terhalang oleh tangan Ayaka yang menangkis dengan mudah. "Segitu doang?"
Nana mundur selangkah, "banyak bacot lu". lalu menyerang lagi!
Kali ini Ayaka menghindar dengan sedikit miringkan tubuhnya.
Namun Nana sudah mengantisipasi, dia mengincar bagian bawah Ayaka, Kakinya memutar cepat, menekas ke arah kaki!. Namun, Ayaka melompat ke belakang, menghindari serangan dengan ringan.
"Jadi sudah tidak sabar, menikmati tubuh yuki," Ucap ayaka yang terus memprofokasi Nana.
Walaupun tidak ingin mendengar apa yang di katakan Ayaka, tetap saja suara itu sangat jelas. Membuatnya semakin panas. Dalam sekejap, dia melompat tinggi, melayangkan pukulan dari bawah ke atas.
Bumm!
Pukulannya mengenai dagu Ayaka!. Setetes darah keluar dari sudut bibir Ayaka. Tapi Ayaka tetap berdiri kokoh.
"Cepat sekali," gumam Ayaka, mengusap darah di bibirnya.
Nana menyeringai. Tanpa membuang waktu, dia berlari kembali, melepaskan tendangan lurus ke arah dada Ayaka!. Namun, Ayaka tersenyum. Seolah bisa membaca pergerakan Nana. Saat kaki Nana hampir mengenai Ayaka, tangan Ayaka langsung menangkap pergelangan kakinya!. Dengan satu gerakan cepat, Ayaka memutar tubuh Nana ke belakang dan melemparkannya keras ke dinding!
Bugh!
Nana terlempar jauh, punggungnya menghantam beton dengan keras.
"Cukup." Suara Yuna memecah kesunyian.
Nana terengah-engah, tapi ia tidak menerima kekalahan. Dengan mata penuh amarah, ia mencoba bangkit dan kembali menyerang!
"HENTIKAN, NANA! LU UDAH KALAH!". Teriakan Yuna membuat langkah Nana terhenti. Yuna bergegas menghampiri Nana, matanya penuh ketegasan.
"Lu sengaja ngehentikan pertarungan biar gua kalah?" suara Nana bergetar karena emosi dan kelelahan.
Yuna menatapnya dengan ekspresi kecewa. "Lu masih Nana, kan?" Ucapnya tajam, "sejak kapan lu seperti ini?,"
Nana terdiam. Ucapan Yuna menusuk hatinya.
"Dari awal lu udah kalah." lanjut Yuna. "Baru kali ini gua lihat lu berantem kayak gini, biasanya lu tenang saat melawan musuh-musuh lu".
Nana menggigit bibirnya, menahan rasa kesal.
"Dari awal Ayaka sengaja memprovokasi lu." ucap Yuna. "Seharusnya Lu gak ngeremehin dia. Dia lebih berpengalaman soal ini. Sekarang apa lu gak mau nerima kekalahan lu? Apa lu mau jadi pengecut?"
Nana mengepalkan tangannya. Namun setelah beberapa detik, bibirnya bergetar, dan tiba-tiba ia memeluk Yuna erat. "Gua cuma gak terima, kalau harus nyerahin Yuki ke dia." bisiknya pelan.
Yuna menghela napas panjang. "Mau gimana lagi? Lu udah kalah. Harus tepatin janji lu."
Nana semakin mempererat pelukannya, seolah tidak ingin menghadapi kenyataan. Yuna menepuk pelan punggung Nana. "Lu pikir cuma lu doang yang gak sudi nyerahin Yuki? Gua juga sama."
Nana melepas pelukannya, menatap Yuna dalam-dalam. "Maafin gue" katanya, suaranya sedikit bergetar.
Yuna menghela napas panjang, lalu menarik tangan Nana. "Udahlah, ayo samperin Ayaka. Terima kekalahan lu."
Dengan langkah berat, Nana dan Yuna berjalan mendekati Ayaka.Nana menunduk sedikit, lalu berkata dengan suara pelan, "Gua kalah."
Setelah mengucapkannya, Nana langsung berbalik dan pergi, tak ingin melihat ekspresi puas Ayaka. Yuna mengikutinya.
Namun, di belakangnya, Ayaka hanya tersenyum kecil. Tatapan matanya beralih pada Yuna. Dia mengagumi kedewasaan gadis itu.
"Seandainya Nana seperti elu" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. "Mungkin Nana sudah cocok jadi pemimpin Oni-no-ken selanjutnya."
**
Setelah keluar dari hotel, Nana dan Yuna berpisah, masing-masing naik taksi berbeda. Yuna pulang ke kontrakannya, sementara Nana menuju kontrakan Yuki.
Di dalam taksi, Nana hanya diam, menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong. Pakaiannya masih kotor akibat pertarungan dengan Ayaka, dan tubuhnya terasa lelah, tapi yang paling mengganggunya adalah rasa sesak di dadanya, harus rela menyerahkan Yuki pada Ayaka, walaupun hanya semalam, ia tidak bisa membayangkan cowoknya sendiri tidur dengan cewek lain, cewek yang ia benci.
Sementara itu, di kontrakan, Yuki sedang menikmati ketenangan. Hari ini terasa lebih damai tanpa gangguan siapapun. Ia duduk di atas kasur, menikmati rokoknya yang hampir habis. Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap ketika terdengar suara gedoran keras di pintu.
BRAK! BRAK! BRAK!
Yuki mengerutkan dahi, sudah bisa menebak siapa yang datang. "Kenapa dia balik lagi?" gumamnya. Dengan malas, ia bangkit, berjalan ke pintu, lalu membukanya. Di hadapannya, Nana berdiri dengan ekspresi dingin, matanya tidak memancarkan emosi seperti biasanya.
"Ada apa,,,,?" Yuki baru saja membuka mulut namun tiba-tiba Nana menarik kerah bajunya. "Ikut gue," ucap Nana dingin.
Tanpa memberikan kesempatan bagi Yuki untuk bertanya, Nana terus menyeretnya keluar, membuatnya terhuyung-huyung mengikuti langkah cepatnya. Dalam hitungan detik, Yuki sudah masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Nana yang hanya diam sepanjang perjalanan.
Yuki melirik ke arah Nana. Pakaiannya masih kotor, ada sedikit bekas luka di sudut bibirnya. Ada sesuatu yang terasa aneh. "Dia ini kenapa,, ? Kenapa pakaiannya kotor gitu?" pikir Yuki, tapi ia tidak berani bertanya langsung. Namun, ketika mobil berhenti di depan sebuah hotel, Yuki langsung merasa tegang. "Hotel?!". Yuki mengangkat alis, mulai berpikir yang tidak-tidak. "Apa dia ngajak nginep di hotel? Tapi kenapa ekspresinya kayak gitu?"
Nana tidak berbicara sedikit pun, hanya menarik tangan Yuki, membawanya masuk ke dalam hotel, menuju lantai atas. Dan saat mereka berhenti di depan sebuah pintu, Yuki semakin terkejut. Itu kamar yang dulu ia tempati bersama Ayaka. Yuki mengernyit, sebelum bisa bertanya, Nana sudah lebih dulu menggedor pintunya.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Ayaka keluar, masih mengenakan handuk, rambutnya basah habis mandi. Melihat Nana benar-benar menepati janjinya, Ayaka hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
Nana tidak berkata apa pun. Tanpa ragu, ia langsung mendorong Yuki masuk ke kamar Ayaka, lalu berbalik pergi.
"Oi, Nana!" panggil Yuki, berusaha menarik tangannya, tapi Nana tidak berhenti, tidak menoleh,dan bahkan tidak mengatakan apa pun. Langkahnya terus menjauh, sebelum akhirnya menghilang di ujung lorong.
Yuki menggertakkan giginya. "Apa-apaan ini?"
Namun sebelum ia bisa berbuat sesuatu, Ayaka sudah menariknya ke dalam, menutup pintu, lalu menguncinya.
Di dalam kamar, Yuki berbalik menatap Ayaka dengan ekspresi heran. "Lu pake baju dulu sana," ucapnya datar, memalingkan tatapannya seolah ia takut akan tergoda oleh tubuh Ayaka yang hanya mengenakan handuk. Dadanya yang besar, cukup jelas terlihat belahan dada yang tidak tertutup.
Namun, Ayaka hanya tersenyum licik, lalu berjalan mendekat. "Lu kenapa? Gak nyaman?" godanya.
"Ya iyalah, lu gak lihat diri lu sendiri?" balas Yuki, berusaha menghindari tatapannya.
"Jangan sok polos gitu" Ayaka tertawa pelan, lalu menarik dagu Yuki, mencium bibirnya dalam-dalam. Yuki mencoba menghindar, namun hasratnya sudah tidak bisa ia tahan, sejak awal melihat Ayaka yang hanya mengenakan handuk, Yuki Sudah terangsang, sekarang Ayaka menciumnya, tidak ada hal lain yang harus ia lakukan selain membalas ciuman itu. Gerakan Ayaka yang ganas membuat handuk yang menutupi tubuhnya terlepas. Yuki benar-benar tidak sanggup lagi untuk menahannya. Ia membuang jauh-jauh janjinya pada Yuna dan Nana untuk setia. Bagaimanapun juga, Nana lah yang membawanya kesini, ke kamar Ayaka. Karna itu ia hanya pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, Ayaka masih berbaring di kasur, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. memandang Yuki dengan tatapan puas.
Yuki duduk di kursi dekat jendela, menyalakan rokok sambil menatap langit malam. Ia mengingat tadi saat darah menetes di bagian bawah Ayaka, "Ini pertama kalinya?" tanya Yuki tiba-tiba, tanpa melihat ke arahnya.
Ayaka mengangguk pelan. "Iya"
"Bukannya kemarin lu bilang, lu udah sering melakukannya?" Tanya yuki.
Ayaka tertawa kecil, lalu menjawab santai, "waktu itu Gua cuma bohong."
Yuki menatapnya sekilas dengan ekspresi bingung. "Lalu kenapa lu kasih ke gua?"
"Gua udah janji sama diri gua sendiri," jawab Ayaka, "saat melihat kemenangan lu melawan Kai Takashi, gua bilang ke diri gue sendiri, akan memberikan sesuatu yang berharga dari diri gue sebagai hadiah."
Yuki terdiam sesaat, membiarkan asap rokok keluar dari bibirnya perlahan. "Lu gak nyesel?" tanyanya akhirnya.
Ayaka menatapnya tajam, lalu tersenyum. "Ngapain harus nyesel? Lagipula gue suka sama lu." Setelah mengatakan itu, Ayaka bangkit dari kasur, menuju kamar mandi.
Sementara itu, Yuki hanya duduk di kursi, menatap kosong ke arah rokoknya yang perlahan habis terbakar. Memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Nana yang justru membawanya kesini, padahal ia bersi keras agar Yuki setia padanya dan Yuna.
Saat Ayaka selesai mandi dan keluar, Yuki masih memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak tadi. "Apa sebenarnya yang terjadi?" Tanya Yuki. "Kenapa Nana tiba-tiba bawa gua ke sini?"
Ayaka tersenyum penuh arti*l, lalu berjalan mendekatinya. "Nana kalah taruhan," ucapnya santai.
Yuki mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Gua nantang dia duel," lanjut Ayaka, "Kalau dia kalah, dia harus serahin elu ke gua malam ini."
Ekspresi Yuki langsung berubah. "Gua jadi bahan taruhan?" desisnya dengan wajah tidak percaya.
Ayaka hanya mengangkat bahu, lalu menyeringai. "Kenapa? Lu menikmatinya juga, kan?"
Yuki tidak langsung menjawab, hanya membuang napas panjang dan menunduk. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata pelan, "Gua bingung sama tuh orang."
Ayaka menaikkan alis, mendengarkan.
"Kemarin gua dipinjemin ke Yuna, sekarang diserahin ke elu,, "Yuki tertawa kecil, tapi tanpa emosi. "Sebenernya dia cinta enggak sih sama gua?"
Ayaka hanya tertawa kecil, lalu berbisik pelan, "Kadang, orang yang paling cinta justru yang paling susah buat menunjukkannya."
Malam itu, Yuki tidak bisa tidur. Di dalam pikirannya, wajah Nana terus muncul, bersama pertanyaan yang tak bisa ia jawab.
Namun Ayaka tidak mau menyia-nyiakan waktu yang diberikan Nana untuknya, karna mungkin besok dan seterusnya tidak ada lagi kesempatan seperti ini, berdua bersama Yuki di kamar. Ia mencoba mendekat ke Yuki, duduk di lahunannya. "Jangan terus memikirkan Nana, ingat malam ini lu milik gue".
Namanya juga laki-laki, ketika ada gadis di depannya yang penuh godaan, ia juga membuang semua pikiran tentang Nana dan Yuna. "Baiklah, malam ini bukan hanya gue milik lu, tapi lu juga milik gue" ucap Yuki.
Ayaka tersenyum penuh semangat. Malam itu mereka tidak tidur sampai pagi.