Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. SANDIWARA?
...“Setiap pertemuan adalah takdir, katanya...
...Baik hanya sebagai pelajaran hidup...
...Atau untuk menetap permanen...
...Kira-kira kali ini yang mana?...
...Mungkinkah seperti hujan yang menyuburkan...
...Atau hujan yang menghancurkan?"...
Sengatan panas di siang hari, tampaknya tidak terlalu terik hingga aku sanggup berada di bawah naungannya. Udara yang semilir bersamaan suara gemersik dedaunan benar-benar obat paling mujarab untuk melepaskan penatku. Seakan angin membawa rasa lelah menjauh, memberikanku kenyamanan dalam rincingan suara kecilnya.
Langkahku yang terhenti hanya karena ingin bersikap sopan untuk tidak mendengarkan pembicaraan orang lain, sepertinya membawaku masuk ke dalam hal yang tidak bisa kumengerti. Masalah yang seharusnya tidak ada aku untuk andil di dalamnya. Tapi kenapa, aku justru ditarik untuk masuk juga dalam situasi tidak jelas maksudnya apa.
“Kenalin dia Ayuni, calon istriku.”
Ucapan yang terlontar dari atasanku membuatku mengumpati diriku sendiri karena ketidaktahuanku dengan apa yang terjadi. Aku hanya bengong seperti orang bodoh, berusaha mencari tahu situasi saat ini. Dan aku yakin tidak mungkin atasanku yang tanpa belas kasihan ini tiba-tiba mengatakan kalimat itu tanpa alasan yang jelas.
Raut wajah pria yang tangannya melingkar di pundakku itu tampak serius ketika mengatakannya. Senyum kecil yang terpasang berusaha memberitahu kalau apa yang ia katakan benar adanya. Namun, pandangannya tidak sepenuhnya berkata seperti itu, ada hal lain yang tidak kumengerti dalam iris hitamnya. Ada percikan rasa takut dan juga kesal sekaligus berharap ketika mata itu menatapku. Membuatku mengerutkan dahi hingga menggunakan otakku untuk mengerti.
“Heh, jelas banget kalau kamu bohong, Jun. Tuh cewek keliatan kok kalau dia nggak tahu apa-apa, jadi berhenti omong kosong.” Tentu saja wanita itu tidak percaya, toh aku juga tidak akan pernah percaya dengan apa yang kudengar ini. Selain menyebalkan ternyata atasanku sudah tidak waras. Ah, aku lupa, aku bahkan menyebutnya sinting beberapa jam lalu.
“Bohong? Siapa yang bohong, kenyataannya memang kayak gitu kok, Sarah.” Cengkeraman tangannya sedikit mengencang, ada perasaan takut dalam raut wajahnya, perasaan tidak nyaman akan kehadiran wanita bernama Sarah yang berada di hadapanku.
Kurasa aku tahu apa yang terjadi sekarang. Seperti kebanyakan film yang kutonton, Sarah pastilah mantan pacar Bos Juna atau mungkin wanita yang mengejar sang pria. Dan untuk melepaskan diri dari Sarah, Bos Juna berpura-pura menganggapku calon istrinya untuk membuat Sarah pergi dan tak mengganggunya lagi. Dan jika ditanya kenapa harus aku, itu karena kebetulan semata. Aku satu-satunya orang yang ada di lorong ini selain mereka berdua. Dan akan sama posisinya jika orang lain atau wanita lain yang melintas walaupun bukan diriku.
“Cih, kamu itu nggak pinter bohong, Jun. Aku tahu kamu, nggak mungkin orang kayak kamu mau nempel di sembarangan cewek. Itu alasan kamu biar aku pergi, kan?” celetuk Sarah.
Tepat sasaran dugaanku.
Lagi-lagi mataku gatal ingin melihat ekspresi Bos Juna, bagaimana ia akan menanggapi hal ini. Cara ini memang cukup klasik, jadi mudah tertebak.
Akan tetapi, tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Bos Juna. Ia diam dan hanya memandangi Sarah dengan pandangan tak suka, baik karena kehadirannya maupun karena pikiran Bos Juna bisa ditebak. Kurasa dengan menggunakanku sebagai tameng agar perempuan bernama Sarah ini pergi cukup mendadak muncul di otaknya, hingga ia sendiri tidak tahu harus bagaimana melanjutkan sandiwara kecilnya yang menuju jalan buntu.
“Dia siapa, Sayang?” ucapku tanpa sadar.
Oh, apa yang kulakukan sekarang?! Entah kenapa melihat Bos Juna mati kutu seperti itu membuatku berucap tanpa sadar. Setelah ini aku harus meditasi atau apapun itu agar tidak terlalu berbaik hati melihat kesusahan orang lain. Aku dalam masalah sekarang. Tapi apa boleh buat, mulutku sudah mengeluarkan ucapan yang tidak bisa kutarik lagi.
“Kamu nggak aneh-aneh sama cewek lain, kan? Aku marahnya nggak serius kok, masa kamu udah lari ke cewek lain,” ujarku dengan nada dan raut kubuat sesedih mungkin. Kepalang basah, sekalian aja.
Kuharap aktingku tidak terlalu buruk. Ingatkan aku untuk menampar diriku sendiri setelah ini selesai.
Kulihat ada keterkejutan di wajah Bos Juna saat mendapatiku bertingkah tidak masuk akal. Aku hanya memandangnya untuk tidak diam saja, setidaknya jangan buat aku seperti orang bodoh di sini padahal niatku hanya ingin membantu.
Justru sekarang aku yang dibuat terkejut oleh Bos Juna. Bagaimana tidak, ia menarik pelan pipiku. Dan tersenyum seolah itu bukan sandiwara atau senyum palsu. “Nggak mungkinlah aku pindah ke cewek lain kalau aku udah cukup sibuk ngurusin kamu. Lagian ketauan kan kalau kamu marahnya cuma bercanda, kalau gitu jadi dong nanti malem kita makan malam di tempat biasa.”
Oh, senyumnya benar-benar membuatku mereset pikiranku akan sikap menyebalkannya pagi tadi. Bagaimana seorang Bos Juna bisa tersenyum sehangat itu? Sungguh pria di depanku ini tampak seperti orang lain ketika ia melengkungkan senyumnya.
“Ka-kata siapa aku cuma bercanda, aku marah beneran kok." Aku berusaha untuk kembali mengikuti alur sandiwara, menyadarkan diri dari kekaguman melihat senyum pria ini untuk pertama kalinya.
“Eh~padahal barusan tadi bilang marahnya nggak serius. Oh, atau kamu mau nginep aja di rumahku, sekalian pindah juga boleh. Itung-itung belajar hidup bareng,” godanya yang luar biasa berhasil membuatku gugup sendiri, kuyakin kalau wajahku memerah sekarang.
“Ja-jangan bercanda!” seruku tanpa sadar, terlihat seperti mengajak berkelahi.
Wajahku rasanya panas ketika aku mendengarnya tertawa lepas, terlihat seolah ia tidak sedang bersandiwara. Kurasa kepalaku sudah mulai tidak waras karena untuk sesaat aku melihat Bos Juna di sisi yang berbeda. Apakah dia sungguh berakting sekarang?! Kenapa begitu alami?!
“Aku bercanda, aku bercanda.” Ia kembali memelukku seraya mengelus kepalaku untuk meredakan kekesalan yang kubuat. “Entah kenapa aku suka kalau liat kamu malu kayak gitu,” sambungnya.
“Apa kamu udah gila?” ujar Sarah yang sepertinya sudah di ambang batas karena melihat sandiwara kami yang entah kenapa menurutku tidak terlihat seperti sandiwara sama sekali. Sepertinya berhasil.
Bisa kurasakan pelukan Bos Juna mengerat, seolah menamengiku dari hal buruk yang mungkin terjadi. Tapi lirikan tajam tertuju jelas ke arah Sarah, menyuruh wanita itu segera pergi secara tidak langsung.
“Sialan,” decihnya yang kemudian langsung beranjak meninggalkan kami. Bisa kulihat ada raut marah yang terpatri di wajah cantik itu, amat disayangkan jika diperhatikan.
Perlahan Bos Juna melepaskan pelukannya. Akan tetapi pandangannya benar-benar berbeda. Kilatan tidak suka kembali terpancar saat ia memandangku, seolah ia berusaha menilaiku dalam benaknya yang tidak bisa kutembus.
“Ayuni, saya-”
“Ayuni?!”
Ucapan Bos Juna terpotong ketika seseorang memanggil namaku dengan suara melengkingnya—yang sudah bisa kutebak siapa.
Dan benar dugaanku. Andre berjalan mendekat, memasang senyuman lebar dan konyol. Padahal aku baru mengenalnya satu hari, tapi herannya sudah seperti bertahun-tahun. Mungkin karena sikap usil dan cerianya sehingga tidak terasa canggung meskipun ini perkenalan pertama kami.
Kulihat Bos Juna beranjak pergi ketika Andre hanya tinggal beberapa meter saja, tak mengatakan apapun bahkan tidak melanjutkan ucapannya tadi. Apa-apaan dengan sikapnya itu, setidaknya berterima kasihlah karena aku sudah menolongnya.
“Apa lo buat masalah lagi sama Bos?” duga Andre yang tidak masuk akal.
“Tentu aja nggak,” protesku.
Aku melangkah meninggalkan tempatku berdiri, berjalan menuju ruangan yang seharusnya sudah kumasuki sejak tadi. Rasanya wajahku masih terasa panas karena apa yang terjadi, membuatku terus mengumpati diriku sendiri.
Andre mengekor di belakangku, mengatakan hal-hal konyol yang tidak masuk akal. “Oh, jangan-jangan kalian punya hubungan rahasia? Apa lo sama bos pacaran?”
“Mana mungkin?!” seruku dengan suara lantang, terlalu lantang hingga kulihat semua pandangan mengarah padaku.
Kutundukan kepalaku, malu. Andre hanya tertawa melihatku yang sudah mati-matian untuk menjaga harga diri sekarang. Sepertinya ia sengaja mengatakan hal itu untuk menjahiliku. Apakah melakukan hal seperti itu adalah hobinya? Menyebalkan.
Nyawaku rasanya kembali melayang keluar dari tubuh saat kulihat tumpukan kertas bertambah di atas mejaku. Ada sebuah note di atas tumpukan kertas, menyuruhku untuk menyelesaikannya.
Kenapa Bos Juna melakukan hal sekejam ini padaku, padahal aku sudah menolongnya?! Apakah yang kulakukan tadi membuatnya marah? Atau aku mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan? Tahu akan seperti ini aku tidak akan sudi menolongnya.
Berkas-berkas sebelumnya saja belum kusentuh dan sekarang bertambah menjadi tiga kali lipat. Ini sih namanya hukuman mati!
Dengan lemas aku duduk di kursiku, menaruh kepalaku di atas meja dan mengantuk-antukkannya ke meja untuk menjernihkan kepala yang rasanya sudah seperti mesin rusak. Jika jadinya seperti ini aku tidak akan pernah membantunya, kubiarkan saja ia menikmati sindiran wanita bernama Sarah itu. Dasar Bos sialan!
“Wow, Bos kayaknya punya dendam sama lo ya? Selama gue kerja di sini, gue nggak pernah ngerjain kerjaan sampe sebanyak itu.” Andre melihat tumpukan kertas itu dengan pandangan seolah aku menyedihkan hingga membuat atasan memberikan pekerjaan segila ini. “Butuh bantuan?”
“Nggak butuh,” sahutku kesal.
“Kali ini gue nggak bercanda, traktir makanan di kafe depan aja udah cukup kok,” katanya tanpa memasang wajah tanpa dosa.
Jika pandangan bisa membunuh, seperti itulah aku yang sedang memeloti Andre kali ini. Orang macam apa yang menawarkan bantuan dengan bayaran seperti itu, kenapa ia senang sekali menjadikanku bahan usilannya?
“Terserah, kalau lo berubah pikiran tinggal panggil aja, oke. Kalau gitu selamat bekerja.” Jelas sekali kalau Andre memermainkanku.
Ia tersenyum senang melihat wajah kebingunganku, terus bertanya apakah aku membutuhkan bantuannya atau tidak dari meja kerjanya. Padahal baru beberapa jam aku bertemu dengannya tapi ia sudah bersikap seolah kami saling mengenal sejak sangat lama.
Kuabaikan dirinya dan mulai untuk bekerja. Tidak ada gunanya aku mengeluh, pekerjaan itu tidak akan selesai dengan sendirinya jika aku terus saja mengeluh dan mengumpat. Entah apakah aku bisa menyelesaikannya hari ini atau tidak, memikirkannya saja sudah membuat kepalaku sakit.